Lanjutan....
Foto : Pengakuan tentang cinta Ilustrasi Mahasiswa Papua Di Jogja
Yohanes D, Papuansphoto/Photo
|
(Novel)
Oleh: Dogopia Christianus
“Saat-saat tak terelakkan dalam hidup, kondisi
memaksa, melakukan yang sebenarnya ditolak hati”
Pengakuanku “Keterkondisian yang Memaksa”
“Aku terpaksa melakukan hal itu, sebab tidak ada
jalan lain. Aku sadari Ini keterkondisian yang memaksa.”
Gadis itu
menarik nafas, dan melanjutkan kisahnya.
“Memang aku tahu, apa yang aku lakukan adalah
salah, namun keadaan menuntutku untuk melakukannya. Aku dalam keadaan terjepit.
Aku dihadapkan pada pilihan. Antara melakukannya atau tidak. Antara hidup atau
mati. Jika menolaknya, maka aku akan dibunuh. Dan jika melakukannya maka aku
akan dibiarkan tetap hidup.”
Ia diam
sejenak, menahan tangis. Menundukkan kepala. Sepertinya ia takut dan malu,
melanjutkan kisahnya. Dengan wajah pucat, pasih:
“Dan jika melakukannya, aku akan dibiarkan tetap
hidup. Namun keperawananku menjadi taruhannya.”
Aku
binggung mendengar perkataannya. Terlebih ia berkata:
“Keperawananku menjadi taruhannya. Memangnya ada
apa jadi?” Gumamku dalam hati.
Aku
berusaha mendengarkannya secara seksama.
“Aku tahu, engkau akan menolakku. Aku mohon maaf
kepadamu. Aku sadar, aku tak pantas lagi memilikimu. Dan aku pun tak pantas
dimiliki olehmu. Aku hancur, aku ternoda. Seandainya dulu aku menerima
lamaranmu, mungkin keadaan tidak seperti ini.”
Gadis itu
menghela nafas dalam-dalam,
“Aku dikucilkan oleh keluargaku. Aku tidak
diterima lagi. Kedua orang tuaku mengusir aku dari rumah. Kini aku menjadi anak
jalanan. Hari-hari aku lalui dengan penuh penderitaan. Aku kesepian ditengah–tengah
hiruk-pikuknya dunia. Aku mencoba menghibur diriku dengan seruling bambu yang
engkau hadiahkan kepadaku saat aku berulang tahun.
Aku masih ingat saat itu, waktu kita masih di
kampung. Engkau memetik gitar dan aku memainkan seruling bambu diiringi kicauan
burung cenderawasih. Kenangan itu tak kan kulupakan, sampai mati pun tetap
kuingat.”
****
Gadis
malang itu melanjutkan kisahnya:
“Bukan saja
kedua orang tuaku, teman-temanku pun menjauh dariku. Bahkan kekasihku sendiri,
yang pernah bersumpah akan bersamaku sehidup semati menjauh dariku. Ia tidak
menepati janjinya. Namun aku tidak kecewa dengannya. Aku sadar, ia terlahir
bukan untukku, akupun terlahir bukan untuknya. Aku terlahir untuk menjalani
hidupku yang penuh penderitaan ini.”
“Aku merasa
sebagai orang asing di dunia ini. Aku sebagai penonton dari drama kehidupan
ini. Aku melihat sesamaku yang tidak aku kenal. Aku tidak mengerti apa yang
mereka lakukan. Aku tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Aku hanya
mengamati mereka. Aku merasa, diriku bukan bagian dari mereka. Sungguh Aku
kehilangan harapan.”
“Memang
mereka tidak menerimaku, namun aku masih punya dua harapan lagi. Harapanku yang
pertama, kepadamu kekasihku. Aku berharap engkau menerima diriku. Menerima apa
adanya diriku. Aku tahu, aku pernah mengecewakan dirimu. Aku tahu betapa
sakitnya hatimu.
“Aku gadis
yang sangat lancang dan egois bagimu. Namun aku mohon, sekali ini saja, berilah
aku kesempatan.”
“Harapanku
yang kedua pada diriku sendiri. Aku berharap, aku dapat menanggung penderitaan
ini.”
“Walaupun
semua orang tidak menerima diriku, aku tetap menerima diriku.”
“Aku
menyesal telah memilih dia. Aku pikir, dia lelaki yang terbaik bagiku. Ternyata
ia lelaki terburuk yang pernah kukenal, kusanyangi dan kucintai. Ia hanya
menginginkan kemolekan tubuh, kecantikan wajahku dan terutama ia menginginkan
keperawananku. Kalau saja aku mengetahui maksud hatinya dari awal, aku tidak
akan memilih dia melainkan memilihmu sebagai gepetanku.”
“Aku akui,
ia lelaki yang tampan, punya banyak uang, punyai mobil, dan beberapa motor
keluaran terbaru. Gadis manakah yang tidak suka padanya? Semua gadis di
kampusku tertarik padanya, termasuk aku. Ia sering mentraktir gadis-gadis makan
bakso, membelikan kalung, dan bahkan membayar uang perkuliahan, berjalan-jalan
dengan motor atau mobilnya.”
“Waktu itu
banyak gadis di kampus “menembaknya”. Ada banyak gadis-gadis kampus, tapi
ternyata ia memilihku sebagai gepetannya.”
“Awalnya
aku sedikit keberatan karena aku “sudah ada yang punya.” Namun karena ia begitu
mendesakku, apalagi teman-temanku, mereka terus membujukku dengan berkata “Ross
jangan sia-siakan kesempatan, dia itu banyak duitnya, kuransin kantongnya. Ini
kesempatan buatmu memperoleh duit. Dari pada merepotkan orang tua.” Atas
bujukan itu terpaksa aku menerima dia sebagai pacarku dan memutuskan hubungan
dengan engkau.”
Aku dan dia
berpacaran setengah tahun lamanya. Selama berpacaran ia memperlakukan aku
layaknya istrinya. Ia melakukan yang tidak senonoh terhadap diriku. Aku
berusaha menghindar darinya, namun aku tidak dapat, aku tidak berdaya.
“Ada beban moral
terhadapnya. Pasalnya segala kesusahanku dalam kuliah, ditanggungnya. Biaya
pengobatan orang tuaku ditanggungnya. Biaya pendidikan kedua adikku
ditanggungnya. Aku merasa, ia meletakkan beban moral di pundakku.”
“Pernah aku
memutuskan hubungan cintaku dengannya, tapi ia berkata: “Jika engkau putus
denganku, gantilah dahulu segala kerugianku, gantilah uang-uangku.” Aku
binggung apa yang dapat aku lakukan.
“Hingga
suatu hari ia mengajakku berkencan di hotel Kenangan. Aku menerima ajakkannya
tanpa menaruh prasangkah buruk sedikitpun terhadapnya.”
“Di hotel
Kenangan, kamar nomor 111 ia melakukan hal yang tidak aku duga. Ia mengancam
akan membunuhku jika tidak menuruti kemauannya. Terpaksa aku menuruti segala
kemauannya.”
“Tidak
kusangka ia menjadikan aku sebagai pemeran gadis dalam film BF (Blue Film) yang
disutradarai oleh dirinya sendiri. Secara berganti-gantian aku diperkosa oleh 2
anak buahnya.”
***
Sementara gadis
itu mengungkapkan pengakuannya, Aku dalam diriku mengalami kegetiran hati. Sebagai
kaum Adam, aku tertunduk malu dihadapannya. Dalam diri ada pergolakkan, hendak
lari darinya. Aku tidak berdaya.
Berusaha
membela diri, mengeluarkan Mekanisme
Defendku, dalam hati aku bergumam: “Aku
tidak bersalah. Bukankah bukan aku yang melakukan. Melainkan lelaki lain. Lagi
pula, aku bukan siapa-siapanya.”
***
“Setelah
aku diperlakukan demikian…” Gadis itu melanjutkan kisahnya “Ia menyuruhku
pulang dengan tangan hampa dan memperingatkan aku supaya tidak melaporkan
dirinya ke polisi atau kepada kedua orangtuaku.”
“Setelah
kejadian itu, ia tidak menunjukkan “batang hidungnya” lagi di kampus. Ia
hilang, lenyap begitu saja, bagaikan dimakan sang waktu.”
“Waktu
terus berputar, selang setahun kemudian, teman-temanku mulai menjauh dariku. Teman-temanku
melihat aku layaknya sampah busuk. Aku binggung atas ulah mereka yang tadinya
akrap denganku, kini menghindar dariku.”
“Aku penasaran,
apa gerangan penyebab teman-temanku menjauh dariku? Aku mencari tahu, namun
tidak aku temukan. Rupanya mereka sepakat, tidak memberitahukan kepadaku.”
Bersambung…….
0 Komentar