A Confession (Sebuah Pengakuan) Bagian 2


Lanjutan....

Foto : Pengakuan tentang cinta Ilustrasi Mahasiswa Papua Di Jogja

Yohanes D, Papuansphoto/Photo

(Novel)
 
Oleh: Dogopia Christianus
 “Saat-saat tak terelakkan dalam hidup, kondisi memaksa, melakukan yang sebenarnya ditolak hati”

Pengakuanku  “Keterkondisian yang Memaksa”

“Aku terpaksa melakukan hal itu, sebab tidak ada jalan lain. Aku sadari Ini keterkondisian yang memaksa.”

Gadis itu menarik nafas, dan melanjutkan kisahnya.

“Memang aku tahu, apa yang aku lakukan adalah salah, namun keadaan menuntutku untuk melakukannya. Aku dalam keadaan terjepit. Aku dihadapkan pada pilihan. Antara melakukannya atau tidak. Antara hidup atau mati. Jika menolaknya, maka aku akan dibunuh. Dan jika melakukannya maka aku akan dibiarkan tetap hidup.”

Ia diam sejenak, menahan tangis. Menundukkan kepala. Sepertinya ia takut dan malu, melanjutkan kisahnya. Dengan wajah pucat, pasih:

“Dan jika melakukannya, aku akan dibiarkan tetap hidup. Namun keperawananku menjadi taruhannya.”

Aku binggung mendengar perkataannya. Terlebih ia berkata:

“Keperawananku menjadi taruhannya. Memangnya ada apa jadi?” Gumamku dalam hati.
Aku berusaha mendengarkannya secara seksama.

“Aku tahu, engkau akan menolakku. Aku mohon maaf kepadamu. Aku sadar, aku tak pantas lagi memilikimu. Dan aku pun tak pantas dimiliki olehmu. Aku hancur, aku ternoda. Seandainya dulu aku menerima lamaranmu, mungkin keadaan tidak seperti ini.”

Gadis itu menghela nafas dalam-dalam, 

“Aku dikucilkan oleh keluargaku. Aku tidak diterima lagi. Kedua orang tuaku mengusir aku dari rumah. Kini aku menjadi anak jalanan. Hari-hari aku lalui dengan penuh penderitaan. Aku kesepian ditengah–tengah hiruk-pikuknya dunia. Aku mencoba menghibur diriku dengan seruling bambu yang engkau hadiahkan kepadaku saat aku berulang tahun.

Aku masih ingat saat itu, waktu kita masih di kampung. Engkau memetik gitar dan aku memainkan seruling bambu diiringi kicauan burung cenderawasih. Kenangan itu tak kan kulupakan, sampai mati pun tetap kuingat.”
****

Gadis malang itu melanjutkan kisahnya: 

“Bukan saja kedua orang tuaku, teman-temanku pun menjauh dariku. Bahkan kekasihku sendiri, yang pernah bersumpah akan bersamaku sehidup semati menjauh dariku. Ia tidak menepati janjinya. Namun aku tidak kecewa dengannya. Aku sadar, ia terlahir bukan untukku, akupun terlahir bukan untuknya. Aku terlahir untuk menjalani hidupku yang penuh penderitaan ini.”

“Aku merasa sebagai orang asing di dunia ini. Aku sebagai penonton dari drama kehidupan ini. Aku melihat sesamaku yang tidak aku kenal. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Aku tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Aku hanya mengamati mereka. Aku merasa, diriku bukan bagian dari mereka. Sungguh Aku kehilangan harapan.”

“Memang mereka tidak menerimaku, namun aku masih punya dua harapan lagi. Harapanku yang pertama, kepadamu kekasihku. Aku berharap engkau menerima diriku. Menerima apa adanya diriku. Aku tahu, aku pernah mengecewakan dirimu. Aku tahu betapa sakitnya hatimu.

“Aku gadis yang sangat lancang dan egois bagimu. Namun aku mohon, sekali ini saja, berilah aku kesempatan.” 

“Harapanku yang kedua pada diriku sendiri. Aku berharap, aku dapat menanggung penderitaan ini.”
“Walaupun semua orang tidak menerima diriku, aku tetap menerima diriku.”

“Aku menyesal telah memilih dia. Aku pikir, dia lelaki yang terbaik bagiku. Ternyata ia lelaki terburuk yang pernah kukenal, kusanyangi dan kucintai. Ia hanya menginginkan kemolekan tubuh, kecantikan wajahku dan terutama ia menginginkan keperawananku. Kalau saja aku mengetahui maksud hatinya dari awal, aku tidak akan memilih dia melainkan memilihmu sebagai gepetanku.”

“Aku akui, ia lelaki yang tampan, punya banyak uang, punyai mobil, dan beberapa motor keluaran terbaru. Gadis manakah yang tidak suka padanya? Semua gadis di kampusku tertarik padanya, termasuk aku. Ia sering mentraktir gadis-gadis makan bakso, membelikan kalung, dan bahkan membayar uang perkuliahan, berjalan-jalan dengan motor atau mobilnya.”

“Waktu itu banyak gadis di kampus “menembaknya”. Ada banyak gadis-gadis kampus, tapi ternyata ia memilihku sebagai gepetannya.”

“Awalnya aku sedikit keberatan karena aku “sudah ada yang punya.” Namun karena ia begitu mendesakku, apalagi teman-temanku, mereka terus membujukku dengan berkata “Ross jangan sia-siakan kesempatan, dia itu banyak duitnya, kuransin kantongnya. Ini kesempatan buatmu memperoleh duit. Dari pada merepotkan orang tua.” Atas bujukan itu terpaksa aku menerima dia sebagai pacarku dan memutuskan hubungan dengan engkau.”

Aku dan dia berpacaran setengah tahun lamanya. Selama berpacaran ia memperlakukan aku layaknya istrinya. Ia melakukan yang tidak senonoh terhadap diriku. Aku berusaha menghindar darinya, namun aku tidak dapat, aku tidak berdaya.

“Ada beban moral terhadapnya. Pasalnya segala kesusahanku dalam kuliah, ditanggungnya. Biaya pengobatan orang tuaku ditanggungnya. Biaya pendidikan kedua adikku ditanggungnya. Aku merasa, ia meletakkan beban moral di pundakku.”

“Pernah aku memutuskan hubungan cintaku dengannya, tapi ia berkata: “Jika engkau putus denganku, gantilah dahulu segala kerugianku, gantilah uang-uangku.” Aku binggung apa yang dapat aku lakukan. 

“Hingga suatu hari ia mengajakku berkencan di hotel Kenangan. Aku menerima ajakkannya tanpa menaruh prasangkah buruk sedikitpun terhadapnya.”

“Di hotel Kenangan, kamar nomor 111 ia melakukan hal yang tidak aku duga. Ia mengancam akan membunuhku jika tidak menuruti kemauannya. Terpaksa aku menuruti segala kemauannya.”

“Tidak kusangka ia menjadikan aku sebagai pemeran gadis dalam film BF (Blue Film) yang disutradarai oleh dirinya sendiri. Secara berganti-gantian aku diperkosa oleh 2 anak buahnya.”
 
***

Sementara gadis itu mengungkapkan pengakuannya, Aku dalam diriku mengalami kegetiran hati. Sebagai kaum Adam, aku tertunduk malu dihadapannya. Dalam diri ada pergolakkan, hendak lari darinya. Aku tidak berdaya.

Berusaha membela diri, mengeluarkan Mekanisme Defendku, dalam hati aku bergumam: “Aku tidak bersalah. Bukankah bukan aku yang melakukan. Melainkan lelaki lain. Lagi pula, aku bukan siapa-siapanya.”

***

“Setelah aku diperlakukan demikian…” Gadis itu melanjutkan kisahnya “Ia menyuruhku pulang dengan tangan hampa dan memperingatkan aku supaya tidak melaporkan dirinya ke polisi atau kepada kedua orangtuaku.”

“Setelah kejadian itu, ia tidak menunjukkan “batang hidungnya” lagi di kampus. Ia hilang, lenyap begitu saja, bagaikan dimakan sang waktu.”

“Waktu terus berputar, selang setahun kemudian, teman-temanku mulai menjauh dariku. Teman-temanku melihat aku layaknya sampah busuk. Aku binggung atas ulah mereka yang tadinya akrap denganku, kini menghindar dariku.”

“Aku penasaran, apa gerangan penyebab teman-temanku menjauh dariku? Aku mencari tahu, namun tidak aku temukan. Rupanya mereka sepakat, tidak memberitahukan kepadaku.”

Bersambung…….

Posting Komentar

0 Komentar