Realitas Penderitaan Mama-Mama Pedagang Asli Papua

Oleh : Ernest Pugiye

Foto : Ko' Sapa, doc.


Ko'Sapa - Setelah mama-mama pedagang asli Papua telah melewati sejarah penderitaan yang paling panjang, realitas penderitaan mereka (mama-mama Papua) dalam konteks ekonomi pasar masih semakin memprihatinkan. Meskipun pembangunan pasar mama-mama asli Papua kini sudah dibangun di  lokasi Damri, di jalan Percetakan, Kota Jayapura, 2016, mereka ternyata masih juga mau dibiarkan hidup dalam kondisi yang semakin parah. Memang, adanya gedung pasar ini dinilai symbol kehadiran Papua. Tapi ada pula sejumlah realitas masalah mendasar yang terus-menerus melilit mereka di tanahnya sendiri. 

Kesemua masalah itu di antaranya yakni proses penyelesaian pembangunan pasar tradisional yang masih harus diperjuangkan ke depan, belum adanya pemodalan dan proteksi serta persoalan hak milik tanah adat yang masih belum dituntaskan secara menyeluruh sampai sekarang. 

Sementara mama-mama pedagang asli Papua di Kabupaten Nabire masih sedang memperjuangkan adanya pasar tradisional yang layak difungsikan bagi mereka di tanah Leluhur. Tanpa henti-hentinya, mereka (mama-mama pedagang asli Papua) berjuang agenda pasar demi terciptanya kesejahteraan dan kemadirian di negerinya sendiri karena melihat ada banyak masalah ekonomi yang dihadapi mereka yang bermuara pada kehilangan masa depan Papua. 

Salah satunya, yakni masih tetap belum adanya pasar tradisional yang layak digunakan bagi mereka. Mereka masih mempertanyakan tentang seluruh diri, hidup mereka, kapan dan sejauh mana keseriusan pemerintah bagi pembangunan pasar tradisional mama-mama pedagang asli Papua di Nabire. 

Dipahami secara sejati bahwa kebangkitan, kemandirian dan kesejahteraan adalah harapan bersama yang sudah sebenarnya diwujudnyatakan oleh pemerintah bagi mereka (mama-mama pedagang asli Papua) melalui kebijakan pembangunan pasar tradisional tersebut. Kesejahteraan dan kemandirian bagi rakyat asli Papua di daerah merupakan juga tolak ukur utama kemandirian dan kesejahteraan semua orang Papua secara umum (bdk.Papuapos-Nabire, edisi, Selasa, 28/03/2017). 

Selain itu, pemerintah juga masih tetap terus membiarkan dan menolak mereka (rakyat) dalam berbagai aspek termasuk aspek perjuangan pembangunan pasar tradisional mereka yang hingga kini masih belum terealisasi di Kalibobo Kabupaten Nabire itu. Mereka dalam sejarah penderitaan yang paling panjang sudah akan menjual di pinggir jalan Kalibobo-Nabire dengan beralaskan tanah yang penuh penderitaan, dibungkus dengan lumuran keringat dan air mata yang tidak terselami dan dibiarkan dalam suasana debu yang diterbarkan dari injakan kaki kekuasaan pemerintah serta dengan beralaskan matahari di negeri Leluhurnya sendiri. 

Dari pergantian pemimpin demi pemimpin daerah, kita masih menyaksikan tentang tidak adanya keadilan dan ketidakpedulian pemerintah terhadap kehidupan ekonomi pasar mama-mama pedagang asli Papua di Nabire. 

Atas kondisi mereka yang semakin parah ini, pemerintah daerah masih tetap tidak memberikan perhatian secara serius dalam bentuk pengertiannya dan tindakan yang semakin mendalam. Pemerintah biasanya melihat mama-mama pedagang asli Papua hanya sebagai manusia sampah, tidak berguna sebagai manusia dan menghancurkan kedaulatan martabat kemanusiaan rakyat dalam sejarah yang paling panjang. 

Itu berarti mereka selalu saja tidak diakui dan dipandang sebagai warga asli Papua dan sekaligus tidak memandang mereka sebagai warga Negara Indonesia dalam membangun Papua. Juga mereka dianggap tidak memiliki hak atas hidup yang sewajarnya sebagai manusia di negerinya sendiri. Rasa kedamaiannya tidak dijamin dan diarahkan dengan menciptakan budaya bisu dan tuli oleh pemerintah Indonesia bagi Papua dalam Negera RI yang menganut filosofi demokrasi ini. 

Bahkan hak-hak mereka dalam berbagai aspek termasuk dalam mendapatkan hak mereka atas nilai kesejahteraan, kemandirian dan nilai kebangkitan rakyat seturut keberadaan budaya Papua pun tetap terus dibungkam, diasingkan dan dieksploitasi oleh pemerintah melalui adanya berbagai proses kebijakan pemerintah dan masih belum adanya pelaksanan substansi  UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi propinsi Papua dan daerah di Papua. Jadi, kondisi rakyat seperti ini membawa mereka secara otomatis pada kehilangan akan masa depan Papua yang penuh damai dan sejahtera. Itulah realitas penderitaan Papua secara umum.

Terpenuhinya nilai keadilan

Menyimak kondisi ekonomi Papua di atas ini, saya patut menggaris bawahi. Realitas penderitaan mama-mama Papua seperti ini sungguh-sungguh memperlihatkan tidak terpenuhinya nilai keadilan bagi Papua secara umum. Kondisi mama Papua itu salah satu akibat dari tidak adanya rasa hidup keadilan bagi manusia asli dan alam Papua selama ini. 

Menyadari atas kondisi ini, pemerintah sebenarnya mesti perlu melihat, merefleksikan dan membicarakan secara serius tentang bagaimana merubah wajah Papua dari berbagai realitas kekerasan ekonomi Papua menjadi tanah yang penuh damai dan sejahtera melalui jalan keadilan. 

Hal ini penting dan baik, karena menurut saya, rakyat Papua punya hak muthlak untuk menikmati pembangunan Papua yang adil dan berpihak kepada mereka yang minoritas dan lemah itu. Wajah Papua yang paling buruk inilah yang sudah semestinya dirubah melalui jalan keadilan. Jalan ini mesti perlu dipilih bersama. Ini tindakan kebebasan yang harus perlu dilaksanakan bersama sambil memikul berbagai konsekuwensi logis. 

Tanpa memilih jalan keadilan yang harus dilewati bersama, kemandirian dan kesejahteraan Papua tidak akan tercipta dengan sendirinya. Maka itu, jalan keadilan mestinya perlu juga direfleksikan, dirumuskan dan dilaksanakan serta ditempatkan pada posisi yang benar agar rakyat dapat mengalami kesejahteraan bersama dan memeliharanya atas realitas kesejahteraan rakyat yang memang telah diciptakan secara menyeluruh melalui jalan keadilan dalam berbagai aspek di Papua. 

Sambil mengarahkan rakyat Papua ke jalan keadilan dan kebebasan, pemerintah perlu menghindari bahkan tidak boleh menerapkan lagi berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat Papua. Dalam menyatakan nilai keadilan bagi Papua, pemerintah mesti hendak memberdayakan dan memenuhi permintaan rakyat akan adanya pasar tradisional secara menyeluruh. Pasar tradisional ini mesti segera dibangun bersama secara kontekstual dan bermotif Papua karena sudah merupakan bagian utama dari kebutuhan mendasar. 

Dari perspektif keadialan sosial dan kesejahteraan rakyat, pemerintah mesti memberikan sesuatu menurut kebutuhan dan harapan rakyat asli Papua. Ini profesi rakyat yang harus perlu dihargai, diangkat dan dibangkitkan dengan segera memperbaiki dan membangun pasar tradisional tersebut. Guna menciptakan kebangkitan, kemandirian dan kesejahteraan Papua, maka pemerintah sudah semestinya mengangkat, memproteksi dan memelihara potensi dan profesi rakyat asli Papua. 

Sementara agenda pembangunan pasar tradisional Papua adalah tempat di mana rakyat asli Papua berjuang mempertahankan nilai hidup mereka dalam suasana kebangkitan, dijiwai oleh nilai kemandirian dan dilaksanakan dalam nilai kesejahteraan dan kebahagiaan dari hasil bumi Papua. 

Ini menjadi suatu agenda prioritas dari pemerintah dalam membangun kesejahteraan dan kemandirian Papua. Intinya, bagaimana Papua ini bisa mandiri dan sejahtera jika pemerintah secara baik dan efektif tidak lagi mau mengatur potensi-potensi lokal yang dimiliki rakyat itu. Jadi, agenda kesejahteraan rakyat Papua ini sungguh dibutuhkan keseriusan dan kesetiaan yang terus-menerus dari pemerintah. 

 Bapa yang baik bagi rakyat Papua

Jika direfleksikan lebih jauh tentang arti nilai keadilan bagi Papua, saya pikir, perhatian pemerintah itu tidak hanya sebatas agenda pembangunan pasar tradisional bagi mama-mama pedang asli Papua. Juga tidak hanya cukup dengan menjadi konsumen bagi mama-mama pedagang asli Papua sebagai produsen. Tetapi lebih-lebih, pemerintah harus menjadi bapa dan pelayan yang baik bagi rakyat di tanah Leluhur. 

Bapa dan pelayan yang selalu siap mempersembahkan seluruh diri dari dan hidup karyanya hanya untuk HIDUP bersama rakyat guna kesejahteraan Papua. Situasi keterpurukan dan kemerosotan ekonomi Papua mesti didongkrak dengan partisipasi aktif dari semua pihak yakni pemerintah, Gereja dan pihak pers serta pihak masyarakat adat untuk selalu bekerja hanya bagi terciptanya kesejahteraan rakyat asli Papua yang semakin minoritas dan lemah di tanah Leluhurnya. 

Visi Papua bangkit, mandiri dan sejahtera dapat terwujudkan secara menyeluruh hanya jika keadilan pembangunan ini dimulai, didasarkan, dikerjakan dan diarahkan pada rakyat asli Papua. Jadi, nilai keadilan ini selalu memanggil setiap orang terutama pemerintah dan Gereja untuk secara rendah hati melayani rakyat dengan segenap hati, akal budi dan segenap jiwa serta dengan segenap seluruh kekuatan tubuh dalam membangun kesejahteraan rakyat Papua. 

Oleh karena itu pemerintah stop memelihara sekat-sekat kemiskinan Papua karena nilai keadilan lebih tinggi daripada uang, harta dan jabatan yang notabenenya hanya membawa rakyat menuju pada kematian Papua.


Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura Jayapura-Papua

Posting Komentar

0 Komentar