Sebuah Kisah Cinta Seorang Maha Guru


Di Kemas Oleh: Awikaituma JR



Ade wae..
Ade nonaaa...besok pagi jam 06.00 subuh, kaka akan berangkat ke maikai (kota),
Kaka berangkat ke pesisir pantai yang jauh di sana....,
Jauh dari sini, di belakang gunung-gunung sana....!
Kaka berat hati tinggalkan ade, rindu orang tua dan juga handaitaulan tapi pastor belanda itu suruh harus berangkat!
Kaka bersama teman-teman mo pi sekolah. Sekolah jauh dibalik gunung-gunung sana. Kami akan berjalan kaki tujuh hari dari sini ke kokonao trus dengan perahu ke afdeling Fak-Fak. 

Tidak tau, entah kapan kaka akan kembali ke kampung ini lagi. Yang pasti puluhan tahun kaka di sana. Puluhan tahun pula kaka akan belajar di sana. Disana kaka berjibaku dengan sang waktu ini demi masa depan kita dua, demi masa depan kitorang pu kampung ini.
Kaka akan pulang kalau sudah jadi Ogai (terpelajar),
Kaka akan balik kesini kalau sudah bisa baca dan tulis, seperti guru Ambon yang di pastoran sana itu.
Itupun kalau kaka masih hidup....,
Itupun kalau kaka tidak ditelang si jahat madou (tuan tanah) atau buaya selama berhari-hari ke Kokonao....,
Itupun kalau kaka tidak diterjang gelombang laut di pantai selatan dan
Itupun kalau kaka tidak mati kelaparan di negeri orang sana...

Adeee...jangan ingat-ingat kaka lagi karena itu bisa jadi penghalang cita-citaku, cita-cita kita dua, cita-cita kampung kita dan cita-cita negeri kita Meeuwo ini,
Kaka bisa gagal jadi Ogai (terpelajar), kaka ingin mo pake baju guru, kaka ingin injakkan kakiku ini di rumah-rumah pastor yang bagus itu, bertugas seperti guru Ambon yang sana itu!
Ade ikhlaskan kaka pergi, hapuslah semua air matamu ini, jangan tangisi kaka, jangan rindu kaka lagi. 

Tetapi bilamana ade rindu kaka, simpanlah perasaanmu itu baik di rumahmu kewita (rumah perempuan) sana, dan bilamana suatu waktu di malam hari ada bulan purnama, keluarlah dari rumah kewita dan pandangilah bulan terang itu dengan seksama, amati dan resapilah bahwa kaka juga di maikai (kota) sana, di saat yang bersamaan juga sedang memandang ke angkasa melihat bulan itu.
Anggap saja kita dua sedang bertemu di bulan yang terang itu,
Anggap saja kita dua sedang saling melepas rindu sesaat di rembulan itu dan anggap sinar cahaya bulan purnama yang menerangi kampung ini adalah kabar berita dariku untukmu.
Berita bahwa kaka masih hidup di sana,
kabar bahwa kaka masih baik-baik saja di negeri orang dan bahwa kaka akan pulang ke kampung halaman kita ini setelah berhasil pake baju guru. 

Adee...sekali lagi, hapuslah air matamu ini
Jangan biarkan deraian air mata membasahi seluruh pipimu..
Biarkanlah kaka berangkat...!
Ade wae...mat tinggal,
Jaga cinta kita baik-baik
Mohon doa restu.
Ade, sampai jumpa.

=====================

Itulah cuplikan kata-kata terakhir dari Paulus Ukago pada tahun 1957, salah satu Guru pertama Meepago kepada pacarnya yang berat hati melepas pergi ke Afdeling Fak-Fak untuk sekolah guru. Kata-kata perpisahan ini terjadi di kampung Dadeekogo, Tigi barat Deiyai, ketika saat itu Paulus yang muda ini baru saja tamat sekolah rakyat kelas 2 SD dan tiba-tiba mengdengar berita dari pastor setempat kalau besok pagi harus berangkat ke Fak-Fak untuk melanjutkan pendidikan guru ke sekolah VVS. Di jaman itu, tidak ada bandara (Airport) satupun di pedalaman. Paulus dan 10 orang teman lainnya yang rata-rata umur belasan tahun itu harus jalan kaki selama 7 hari dari Waghete ke Fak-Fak via Kokonao. 

Wanita muda, pacarnya Paulus ini tra sanggup hadapi perpisahan ini. Ia harus berlinang air mata saat detik-detik perpisahaan yang mengejutkan bagi si gadis itu.
Tiap saat ia dengan deraian air mata selalu berdoa untuk keberhasilan Sang kekasihnya; Paulus yang jauh di sana. Namun pada akhirnya, dikemudian hari gadis ini tidak jadi kawin dengan pak guru Paulus, karena sudah terlanjur di kawinkan orang tuanya sama pemuda lain.
Tapi air mata wanita muda itu telah menjadi mata air bagi orang Mee dan telah berubah menjadi mata air bagi orang gunung mulai dari kampung Sukikai di Nabire sampai Oksibil di pegunungan Bintang. Karena hampir 90 % guru-guru di wilayah pegunungan adalah guru-guru asal suku Mee yang bertugas sejak tahun 1960an sampai dengan tahun 2000an.

Kita ketahui, sejak tahun 1960, guru-guru dari suku Mee ada di semua SD mulai dari Bilogai, Ilaga, Ilu, Karubaga, Mulia, Tiom, Wamena, Yahukimo sampai Oksibil.
Khusus untuk kalangan katholik, guru pertama orang gunung adalah, Paulus ukago, David Pekei dan Willem Songgonao. Konon mereka di kirim misionaris katholik akhir tahun 1950an dan menjadi guru tahun 1960. Banyak juga guru dari Zending Kingmi.
Paulus Ukago, sejak tahun 2011 sudah jadi almarhum, setelah mengabdi hampir 40 tahun sebagai Guru. Pahlawan tanpa tanda jasa di Meepago, kini di makamkan di kompleks misi samping Gereja Paroki Diyai, Tigi Barat, Deiyai. 

Kata-kata perpisahan di atas di kutip sebagaimana yang di ceritakan oleh pak guru Paulus Ukago semasa hidupnya kepada Awikaituma Jr tahun 1986 saat itu masih SMP YPPK Waghete.
Akhir dari cerita itu, beliau berkata bahwa, demi meraih masa depan seperti yang sekarang ini jangankan merindukan orang tua atau rindu kampung halaman, cintapun harus kami rela korbankan demi anak cucu dan demi masa depan Meuwoo untuk membuka gelap gulita menjadi terang.


Selesai

Posting Komentar

0 Komentar