oleh: Angela Flassy
foto; http://kebudayaan.kemdikbud.go.id |
FESTIVAL Teluk Humboldt (FTH) ke IX akan diselenggarakan 2 sampai 7 Agustus nanti. Festival yang diselenggarakan sesuai dengan agenda Dinas Pariwisata Provinsi Papua ini sudah berlangsung sejak tahun 2008. Tema tahun ini adalah ‘Warna-Warni Pesona Wisata Port Numbay’.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Bernard Fingkreuw mengatakan festival ini merupakan pasar pariwisata, untuk mempromosikan potensi pariwisata Port Numbay.
Festival yang diselenggaran di pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan itu, setiap tahunnya menampilkan atraksi wisata budaya, keindahan alam, tari, pentas-pentas seni asli Teluk Humbolt.
Memasuki tahun kesembilan penyelenggaraannya, seharusnya FTH sudah menjadi pasar pariwisata dan bukan lagi sebagai ajang promosi.
Namun hingga saat ini FTH masih bergelut dengan tantangan menjawab berbagai keluhan pengunjung (belum bisa dikatakan wisatawan) yang mayoritas lokal yang datang ke festival tersebut. Misalnya tempat yang sempit, molornya jadwal pementasan, jadwal pementasan seni yang tak jelas, penyelenggara yang tampak asal menyelenggarakan festival sehingga mengakibatkan FTH sepi pengunjung. Bagaimana bisa menjadi ajang promosi jika sepi pengunjung. Bagaimana menjadi pasar, jika barang yang dijual tak konsisten?
Padahal dari materi, FTH tidak kalah dengan festival-festival lain di tanah Papua seperti Festival Danau Sentani (FDS), Festival Munara Wampasi di Biak, Festival Budaya Lembah Baliem, Festival Budaya Asmat dan Festival Raja Ampat. Tapi mengapa sepi?
Wisata Swafoto (Selfie)
Promosi yang minim selalu menjadi kambing hitam. Penyelenggara lupa bahwa paradigma pariwisata kini berubah. Bagi generasi milenia, wisata tidak dinilai dari berapa unik acara tersebut disajikan, tetapi bagaimana tempat wisata tersebut indah dalam sebuah bingkai foto di media sosial (medsos). Wisatawan tidak peduli betapa jauh dan sulit tempat tersebut. Yang terpenting situs wisata tersebut menarik saat disajikan di medsos. Entah foto atau video, yang terpenting mereka mendapatkan banyak follower. Contohnya wisata “Danau Love.” Tidak ada apa-apa di sana selain bentuk danau yang unik. Keunikan bentuk danau tersebut dijadikan tempat selfie yang indah saat tayang di medsos. Hal tersebut membuat ribuan pengunjung datang ke sana setiap bulannya hanya untuk berfoto dan menampilkannya di medsos.
Bagaimana dengan Festival Teluk Humboldt? Soal materi, FTH memiliki materi yang unik yang hanya ada di sini, di Kota Jayapura. Sebelas kampung asli menyimpan potensi pariwisata yang luar biasa. Mengapa kita mengecilkan potensi 11 kampung yang luar biasa ini dengan menggelar festival di tepi pantai Hamadi yang lokasinya sangat terbatas?
Mengapa tidak membawa wisatawan mengunjungi kampung-kampung yang indah itu? “Open House” Lah. Setiap kampung mempersiapkan spot-spot foto yang menjadi keunggulan kampung mereka. Mereka juga menyiapkan makanan dan minuman yang khas dari setiap kampung. Berbagai atraksi seni mulai dari tari-tarian, kerajinan tangan hingga simulasi acara perkawinan dapat disajikan kepada wisatawan.Tak perlu berlama-lama. Dalam satu hari, dua kampung “Open House.” Wisatawan dapat memilih akan kemana. Lima hari selesai.
Soal panitia pelaksana, tak perlu khawatir. Setiap kampung memiliki struktur adat yang jelas, sehingga soal materi hingga keamanan bisa diserahkan langsung ke masyarakat kampung. Bagi masyarakat asli Port Numbay melakukan pesta adat secara swadaya adalah hal yang biasa.
Dilain sisi, tidak banyak warga Kota Jayapura yang pernah mengunjungi kampung-kampung asli itu. Keindahan kampung-kampung asli itupun jauh dari medsos. Padahal spot-spot indah untuk berfoto tersedia tanpa batas.
Lima kampung di dalam teluk seperti Kayu Batu, Kayu Pulau, Enggros, Tobati, dan Nafri dapat dijangkau dengan kapal wisata Pemkot Jayapura yang baru dibeli itu. Tiga kampung di luar teluk, seperti Skouw Mabo, Skouw Sae, Skouw Yambe, ditambah Holtekam dan dua kampung asli yang berapa di tepi Danau Sentani, Waena dan Yoka dapat ditempuh dengan jalur darat.
Soal biaya, pemerintah dapat memberikan sedikit stimulan untuk penyelenggaraan acara di setiap kampung. Jumlahnya bisa saja setara dengan biaya yang dianggarkan untuk mendatangkan mereka ke Pantai Hamadi. Walaupun sejujurnya itu tak perlu karena masyarakat kampung di Port Numbay terbiasa berswadaya untuk acara adat. Tapi jika pemerintah mau lebih berhemat, FTH dijadikan ajang kompetisi wisata antar kampung. Dijamin masyarakat lebih berswadaya untuk berlomba dan pemkot tak bakalan mengeluarkan biaya sama sekali untuk FTH di masa-masa yang akan datang, kecuali untuk operasional kapal wisata.
Dengan begitu, dunia akan mengetahui dan mengenal ramahnya masyarakat Port Numbay. Indahnya Tanjung Swaja. Teluk Kayu Batu yang luar biasa indah. Tenangnya Kampung Kayu Pulau yang selama ini hanya bisa dilihat dari Pantai Dok II. Masyarakat dapat berlomba mancing di Tobati dan Enggros. Atau berselfie di jembatan panjang atau tugu masuknya injil Kampung Nafri. Melihat beningnya pantai Skouw sambil menikmati kelapa muda. Atau menikmati sepiring ikan gabus yang lezat ditepi danau sambil berfoto di Kampung Yoka, adalah hal yang sangat mungkin. Sehingga tujuan menjadikan FTH sebagai pasar pariwisata, untuk mempromosikan potensi pariwisata Port Numbay terwujud. Promosi gratis akan dilakukan oleh wisatawan sendiri di medsos.
Faktor resiko yang perlu diperhitungkan adalah jumlah pengunjung. Panitia harus memperhitungkan jumlah pengunjung yang masuk ke dalam sebuah kampung. Terutama kampung yang memiliki dermaga. Pengunjung yang berlebihan akan merusak dermaga atau spot foto yang jadi unggulan. Pengunjung juga membawa sampah. Panitia harus menyediakan tempat dan petugas sampah agar kampung tak kotor pasca ferstival. Jika kedua hal tersebut diperhitungkan dengan baik, maka tak ada masalah.
Pada akhirnya, selepas FTH masyarakat kampung merasakan manfaat langsung festival bagi mereka. Mereka bukan lagi menjadi objek, tetapi menjadi subjek festival. Kemudian masyarakat kampung berbenah, menjaga keamanan kampung agar wisatawan konsisten datang. Wisatawan pun mendapat kepercayaan, dan rutin mengunjungi kampung meskipun FTH tidak berlangsung.(*)
* Penulis, Jurnalis di Papua
0 Komentar