Oleh; Ricky
Tau
Foto; KNPB |
Mentari telah terbit di atas Tanah Tabi, dari jauh sinar keemasan memantul di pulau
Enggros dan Tobati. Riko istirahat sejenak disela-sela olaraga paginya, dan sejenak
memandang jauh Teluk Yotefa. Dalam hati dia berkata, tidak salah dia jauh-jauh
datang dari kota Sorong untuk menempuh pendidikan disini. Keindahan alam Tanah
Tabi selalu berkesan, siapapun yang telah menjamahnya takan pernah melupakan
untuk selamanya.
Setibanya
di kos seusai berolaga pagi, Riko mandi, berpakaian dan menuju ke kampusnya
Uncen di Abepura. Kos-kosan yang
disewanya berada di Kota Raja dalam, sehingga Riko harus bisa menyesuaikan
antara jarak dan waktu ke kampus. Walaupun mengunakan angkutan tetapi
kemungkinan terlambat itu selalu ada. Apalagi Jayapura bukan seperti beberapa
tahun yang lalu. Menurut senior-seniornya yang telah terlebih dahulu datang
kuliah di Jayapura, bahwa Jayapura sekarang jauh lebih padat, macet setiap pagi
dan sore menjadi hal biasa.
Tepat seperti
yang di kuatirkan, angkutannya sudah tidak bisa lagi melaju karena macet di
depan Saga Mall Abepura. Riko terpaksa memutuskan untuk berjalan kaki. Setelah membayar ongkos angkutan kota,
di melangkahkan kaki, berlahan di atas trotoar jalan. Sesampainya di lampu
merah, dia mendapati puluhan polisi bersenjata lengkap dengan mobil dalmas,
hingga water canon, sedang menemani
para demonstran. Riko berjalan di sebelah kiri
jalan.
Sesekali melirikan mata melihat puluhan massa aksi, yang sedang duduk tertip
dibawah panas mentari sambil menjawab seruan seorang orator yang berdiri di atas mobil.
Riko melaju
terus. Walaupun dalam hati dia simpati dengan aksi tersebut tetapi terlebih
dahulu dia harus pergi ke kampus. Karena informasi dari Joni ketua
angkatan bahwa hari ini akan ada kuliah
dengan seorang dosen senior sehingga mewajibkan mereka semua untuk hadir pada
jam kuliah tersebut. Setibanya di kampus FKIP, dia mendapati di ruang kelasnya
hanya ada rekan-rekannya mahasiswa dan mahasiswi. Joni ketua angkatan juga lagi
duduk bersama mereka.
“Pagi Tao, dosen
masuk kah trada ni? Tadi sa buru-buru kesini pikir sudah terlambat!”
“Tao.. pagi
juga. Tadi bapa dosen dia sudah ada di kampus, tapi karena informasi demo
kemarin sudah tersebar dan
heboh, jadi pace dia bilang tidak kuliah. Nanti dia kasi informasi lagi”
“Bagus sudah
kalau begitu, saya balik ke merpati ikut demo dulu!”
“Tao..tra usah
sudah mari kita duduk baru lihat-lihat perkembangan di facebook saja. Nanti Tao pergi baru ada
bentrokan dengan polisi lagi. Tao dapat tangkap nanti bikin rugi.”
“Ha..ha..ha.. bentrok itu
yang bagus. Abepura berdarah terulang kembali to!”
“Hahaha Tao ko stop
sudah. Oke jalan hati-hati!”
“Oke.. Tao. Nanti ko lihat saja
di sa facebook, sa kasi naik trus ko bantu sebarkan saja. Supaya kita pu orang
tua dong di kampung-kampung tau, kalau di kota ini perlawanan Papua Merdeka
masih ada.”
“Oke siap..sa
akan laksanakan Tao.”
Riko bergerak
keluar ruang kelas. Kali ini kakinya melangkah dengan cepat, keluar kelas, jalan
mengikuti koridor antara kelas, melaju menuju gapura Uncen Abe, selanjutnya melangkah
di atas trotoar menuju Merpati.
Riko melihat, polisi semakin
banyak. Ditambah lagi kepadatan kendaraan memenuhi sepanjang perjalanannya itu.
Sesampainya disana, Riko menyaksikan puluhan mahasiswa dan masyarakat itu tidak
bertambah secara jumlah, tetapi sebaliknya polisi maupun inlejen yang terlihat
sangat banyak. Para pedagang yang berada di Merpati terlihat menikmati
orasi-orasi dari massa aksi, tidak ada sindiran, dan diskriminasi terhadap para
pedagang yang non Papua. Walaupun Isu dan tuntutan demonstrasi adalah “penentuan
nasib sendiri.” Satu mekanisme hukum internasional di dalam perundang-undang hak
asasi manusia internasioanal.
Riko yang
memakai kemeja batik coklat dan celana kain hitam sepatu hitam, berlahan-lahan
masuk dalam tali komando dan duduk di deretan belakang massa aksi. Matahari
pagi menjelang siang itu cukup membakar kulit. Tetapi semangat Riko mengalahkan
teriknya mentari di hari Jumat 7 April
2017. Sebagai mahasiswa yang baru menginjak semester empat di FKIP Uncen, Jurusan
Sastra Ingris, Riko begitu kritis sejak awal kuliah, sehingga ketika mendapati
selebaran informasi demonstrasi, Riko selalu menyempatkan diri.
Entah apa yang
menndorongnya tetapi Riko merasa tuntutan pada selebaran itu sangat masuk akal
dengan kondisi Papua hari ini. Apalagi di pertegas dengan orasi-orasi politik
ini, walaupun dengan kritis dan tajam kepada pemerintah, tetap Riko tidak takut
berada di kerumunan tersebut. Polisi terlihat datang bernegosiasi dengan para
pemimpin demonstrasi. Moment tersebut diabadikan oleh Riko dengan Hanphone kameranya, lalu di unggah ke halaman
facebooknya. Riko memberikan keterangan di foto tersebut.
“Hari ini kalian
boleh tutupi kebenaran, tetapi ketika saatnya tiba, kalian tidak akan
membendung kekuatan rakyat, karena mereka telah sadar untuk melawan.”
“Selanjutnya dia
menjelaskan bahwa aksi demonstrasi ini, mendesak penentuan nasib sendiri di
Merpati Abepura dihadang polisi.”
Kawannya Joni,
yang lagi online membagikan foto tersebut ke halaman facebooknya, dengan
memberikan keterangannya sendiri.
“Orang Papua
telah cape di tindas oleh negara, orang Papua sudah saatnya merdeka”. Beberapa saat banyak
teman-teman facebooknya mulai mebagikan, banyaknya juga yang like dan memberikan keterangan sendiri.
Dalam kolom komentar banyak kawannya memberikan dukungan. Hampir semua adalah
kawan-kawannya yang tadi sedang duduk dalam ruang kelas.
”Berjuanglah
kawan”, ”Usir penjajah”, “Pulangkan
amber”, “Lawan” dan lain sebagainya.
Riko yang berada
ditengah massa aksi, tidak lagi fokus dengan suara orator-orator aksi
demonstrasi. Dia justru sibuk membaca setiap komentar pada statusnya. Di
berkesimpulan bahwa ternyata banyak teman-temannya mendukung “penentuan nasib
sendiri” tetapi tidak berani mengambil sikap politik terbuka seperti dia.
Buktinya statusnya telah dibagikan oleh kawan-kawanya. Riko sebagai mahasiswa
baru, sekaligus pendatang di kota Jayapura, merasa apa yang dia lakukan, hanya
sebagai simpatisan dalam demonstrasi, adalah hal kecil. Dia sadar bahwa
komentar kawan-kawannya untuk menjadi “pejuang”, atau berkomentar semangat
berjuang adalah satu pernyataan yang belum tepat untuk dirinya.
Dia sadar bahwa,
dia hanya seorang simpatisan. Dia tidak tau bagaimana berjuang itu sebenarnya.
Dia hanya menyempatkan waktu kosong untuk mengikuti demosntrasi. Bagi Riko, jelas-jelas demosntrasi yang dia
ikuti hanyalah demonstrasi bukan berjuang seperti komentar kawan-kawannya. Riko
merasa, demonstrasi itu sebenarnya adalah akumulasi berbagai usaha sistematis
organisasi-organisasi perlawanan. Riko berfikir, ada yang salah dengan kata
berjuang ini. Menurutnya kalau berjuang ada upaya sitematis yang telah
dilakukan. Baik mulai dari tingkat diskusi ide-ide, membaca perkembangan sosial
kemasyarakat, membaca perkembangan politik papua di dalam dan luar negri,
bersolidaritas atau berorganisasi, mengorbankan berbagai kepentingan diri,
mengorbankan harapan keluarga, kebahagian diri, tidak punya gaji, selalu ada
kemungkinan ditangkap dan dipenjarah, dan berbagai upaya lainnya. Itulah makna
perjuangan yang dia dapati dari seorang Filep Karma, oleh Riko.
Bagi Riko dia
bukan sedang berjuang dia hanya mendapat undangan dalam selebaran itu. Sebagai
seorang anak Papua yang lahir dari kandungan perempuan Papua, dan di besarkan
di kampung kecil. Riko sadar bahwa selebaran itu adalah undangan untuk dia
pribadi. Kalau tidak ikut maka dia akan mendustai kebenaran tentang realita
dirinya dan masyarakatnya. Sehingga selain kuliah sebagai hal utamanya untuk
keluarganya, dia menyempatkan diri terlibat dalam aktifitas-akstifas demonstrasi.
Baginya itu baik untuk mengasah keberanian dia sekaligus kepekaannya terhadap
realita rakyat Papua hari ini. Supaya kelak ketika bekerja, dia bisa lebih
berpihak.
Dalam hati riko
berfikir untuk menjelaskan makna perjuangan ini kepada kawan-kawannya. Tetap
riko bukan seorang yang vokal berbicara. Riko tergolong sebagai seorang pemuda
yang pendiam. Untuk berargumen tentang persoalan-persoalan tertentu, Riko
memilih untuk hanya sebagai pendengar setia. Menurutnya, sudahlah, biarkan
mungkin mereka hanya memberi semangat kepadanya. Untuk menghormati
kawan-kawannya itu Riko membalas kometar kawan-kawannya itu dengan kata.
“Terimakasih
kawan-kawan ku, putra-putri terbaik Papua, mari kita berjuang bersama-sama.
Terimakasih untuk perjuangan kawan-kawan telah membantu bagikan foto demonstrasi
hari ini. Hidup mahasiswa. Hidup rakyat Papua.”
Riko berkomentar
polos kepada mereka. Karena dia sadar bahwa apa yang mereka lakukan, sebenarnya
hal yang biasa mereka lakukan. Yaitu memilih untuk tidak terlibat secara aktif
sebagai aktivis gerakan di kota Jayapura. Mereka tau bahwa tugas mereka adalah
apa yang telah di amanatkan orang tua yaitu kuliah, setelahnya, kerja dan
membantu ekonomi keluarga. Sehingga subangsi mereka yang paling besar dalam
perjuangan self determination hanya di dunia maya. Sebab di dunia maya itu
segalanya lebih mudah dan gampang, yaitu hanya membagikan informasi. Walaupun
Merdeka itu penting tetapi sebaiknya hanya di dunia maya saja. Di alam nyata
kita tetap terjajah. Sebab untuk merdeka telah ada yang berjuang.
Walau hanya
mengikuti demonstrasi di waktu tidak ada jam kuliah. Riko merasa masih lebih
baik dari sikap kawan sekelasnya itu.
***
05.48 WIT, 11 Juni 2017
0 Komentar