Guyub Tutur Melayu Papua
Oleh: Chrisma Fernando Saragih*
Bahasa
pada dasarnya selalu dipakai dalam suatu komunitas berbahasa (speech community) atau guyub tutur
tertentu. Persoalannya adalah pengelompokan seorang individu ke dalam guyub
tutur tertentu berdasarkan bahasa yang digunakannya masih menjadi sebuah
perdebatan. Istilah guyub tutur telah mendapat banyak tantangan dari banyak
ahli bahasa (secara khusus sosiolinguis) karena pada dasarnya upaya
pengklasifikasian seorang individu atau kelompok ke dalam suatu guyub tutur
bukanlah hal yang mudah. Wardaugh (2006) telah panjang lebar membahas
permasalahan ini dan menyimpulkan bahwa pengklasifikasian posisi seseorang ke
dalam satu guyub tutur tertentu akan menemukan kondisi multi-keanggotaan guyub
tutur. Misalnya, seseorang yang dapat berbicara Bahasa Yaur di Kabupaten Nabire
dapat disebut sebagai anggota dari guyub tutur bahasa Yaur, tetapi karena orang
tersebut dapat berbahasa Melayu Papua, secara otomatis orang tersebut juga
merupakan anggota guyub tutur Bahasa Melayu Papua. Dan, dalam situasi lain,
orang tersebut juga dapat berbicara Bahasa Indonesia, maka ia dapat digolongkan
juga sebagai anggota guyub tutur Bahasa Indonesia.
Melayu
Papua, pada masa kini, bila dilihat dari keberadaan penuturnya secara
sosiolinguistis, bukanlah bahasa yang digunakan oleh Orang Asli Papua (OAP)
saja, tetapi juga digunakan oleh suku-suku pendatang lain atau lebih tepatnya
keturunan-keturunan suku-suku pendatang lainnya yang telah lahir-besar dan
menetap bahkan menurunkan generasi-generasi baru mereka (yang juga berbahasa
Melayu Papua) di Tanah Papua. Dengan demikian dapat ditekankan bahwa setiap
orang, siapa saja, yang menggunakan Melayu Papua sebagai bahasa pertamanya
merupakan guyub tutur dari Bahasa Melayu Papua.
Melayu Papua: Tong
Pu Identitas
Jadi,
bila saya harus menjawab pertanyaan judul tulisan ini “Melayu Papua: Siapa pu Identitas?”, saya dengan tegas
harus mengatakan Melayu Papua itu tong pu
identitas. Permasalahannya siapa saja yang harus dikategorikan ke dalam tong “kita” ini. Tong tentunya merujuk pada setiap orang yang menggunakan Bahasa
Melayu Papua sebagai bahasa pertamanya, bukan bahasa kedua. Hal ini perlu
ditegaskan karena, saat ini, banyak orang berdatangan ke Papua dan terlibat
dalam peristiwa komunikasi verbal sehari-hari dengan mencoba untuk menggunakan
bahasa Melayu Papua, tetapi bahasa Melayu Papua dalam konteks ini bukanlah
bahasa pertama mereka. Untuk lebih jelas,
saya berikan definisi bahasa pertama. Bahasa pertama adalah bahasa yang
diperoleh seseorang sebelum orang tersebut memiliki bahasa yang lain atau dalam
definisi yang lebih ringan bahasa pertama adalah bahasa yang dipakai oleh
seseorang sejak masa kanak-kanak.
Dengan demikian, bila saya merujuk pada
hubungan bahasa dan identitas yang diberikan oleh Crystal (2010), saat ini
paling tidak Melayu Papua telah menjadi identitas geografis atau kedaerahan
bagi mereka yang lahir-besar dan menetap di Papua dan menggunakannya. Ketika
kita berbahasa Melayu Papua sudah tentu daerah asal kita atau tempat
lahir-besar dan menetap kita dapat diketahui yaitu dari Papua. Contoh untuk
situasi ini dapat dilihat pada pengalaman saya di pengantar dari tulisan ini di
mana karena saya menggunakan Melayu Papua saya dianggap sebagai seseorang yang
datang dari Papua.
Di sisi
lain, Melayu Papua juga merupakan identitas kelompok. Kelompok yang dimaksud di
sini bukanlah kelompok yang homogen tetapi sebuah kelompok multi-etnik yang
dibentuk dari kelompok-kelompok homogen. Memang sejauh ini tidak ada satu
kelompok pun yang menamakan dirinya atau disebut oleh orang lain sebagai
orang/suku Melayu Papua. Akan tetapi, secara sosiolinguitis terdapat satu guyub
tutur yang menggunakan bahasa Melayu Papua dan guyub tutur ini merupakan
kelompok guyub tutur yang berasal dari multietnik tetapi disatukan oleh satu
kode, Melayu Papua. Dengan demikian, guyub tutur ini dapat dijadikan satu kelompok
dan, dalam artian yang lebih jauh, dapat disebut sebagai sebuah etnis, karena
kelompok ini memenuhi salah satu syarat menjadi sebuah etnis yaitu memiliki
bahasa sendiri (lihat definisi etnik pada Setiawan, 2010). Dalam tulisan ini
saya istilahkan kelompok ini sebagai Kelompok Nusantara Papua dan bahasa Melayu
Papua telah menjadi identitas kelompok bagi kelompok majemuk ini. Sebagai
contoh, jika saya yang adalah keturunan suku non-Papua dan lahir-besar dan
menetap di Papua, dalam suatu kesempatan bertemu dengan seseorang dari suku
asli di Papua, yang juga lahir-besar dan menetap di Papua, di Jakarta dalam
suatu pertemuan tertentu, biasanya komunikasi verbal yang terjadi antara saya
dan orang tersebut akan dilakukan dengan menggunakan kode Melayu Papua. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat kesadaran akan kesamaan identitas di antara kami
berdua baik identitas yang muncul karena faktor kesamaan daerah tempat tinggal
tetapi juga karena berasal dari satu kelompok, meskipun nama dari kelompok yang
kami berdua pahami belum ada. Oleh karena itu, istilah Kelompok Nusantara Papua
itu saya gunakan untuk merujuk kepada kelompok ini.
Identitas Futuristis Melayu Papua
Identitas
dari bahasa Melayu Papua yang akan saya bahas pada bagian ini lebih mengarah
kepada imajinasi saya dalam membayangkan keadaan yang dapat terjadi di masa
depan. Kita telah melihat bersama bahwa Melayu Papua, saat ini, telah menjadi
identitas kedaerahan dan identitas kelompok bagi penuturnya, tetapi dalam
perkembangan ke depan Melayu Papua dapat juga menjadi identitas bagi sebuah
komunitas terbayang.
Saat ini,
penutur-penutur Melayu Papua yang menetap di kota-kota besar di Tanah Papua
adalah penutur-penutur yang datang dari latarbelakang etnik yang berbeda-beda.
Masing-masing etnik ini memiliki perjalanan sejarah yang berbeda-beda tetapi
kemudian bersatu atas nama kepentingan hidup bersama. Hal ini menyebabkan
terjadi sebuah pergeseran status dari masing-masing etnik sebagai komunitas Gemeinschaft yang didasarkan pada
keturunan, kekerabatan dan lokalitas menjadi sebuah komunitas besar yang
bersifat Gesellschaft atau
asosiasitif yang didasarkan pada kesamaan ideologi dan kehendak untuk hidup
bersama di dalam kontrak asosiasi tersebut (Tönnies, 1955 dalam Foley 1997). Kondisi ini tentunya
telah menjadi cikal-bakal berdirinya sebuah negara-kebangsaan moderen.
Dengan
terbentuknya komunitas Gesellschaft di
atas, upaya untuk membentuk sebuah negara baru di Papua bukanlah sebuah hal
yang tidak mungkin. Kemampuan Melayu Papua sebagai lingua franca dalam menyatukan berbagai kelompok multi-etnik di
Papua menjadi sebuah kelompok heterogen, dapat dijadikan sebagai mesin
pemersatu dalam membangkitkan semangat ideologi bersama (misalnya rasa
nasionalisme) dari komunitas Gesellschaft
tersebut untuk membentuk sebuah negara atau dalam istilah Anderson (1983)
“komunitas terbayang”.
Dengan
demikian, Melayu Papua, dalam pandangan futuristis ini, memiliki kemungkinan
untuk menjadi identitas bagi sebuah negara baru yang akan lahir. Melayu Papua
dapat dijadikan bahasa nasional dari negara baru itu dan tentunya menjadi
identitas nasional bagi warga negara dari komunitas terbayang tersebut,
selayaknya bahasa Indonesia menjadi sebuah identitas nasional bagi warga sebuah
komunitas terbayang yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
DAFTAR PUSTAKA
Adelaar,
K. A., and Prentice, D. J. 1996. Malay: Its history, role and spread. In Atlas
of languages of intercultural communication in the Pacific, Asia, and the
Americas, ed. by S. A. Wurm, Peter Mühlhäusler, and Darrell T. Tryon, 673–93.
Berlin: Mouton de Gruyter
Anderson,
B. 1983. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. London: Verso
Boelaars, J. 1986. Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta:
Gramedia.
Burung,
W. 2008. Melayu Papua: A Hidden Treasure. International Conference on Language
Development, Language Revitalization and Multilingual Education in
Ethnolinguistic Communities, 1-3 July 2008, Bangkok, Thailand.
Clouse, D. 2000. Papuan Malay: What is it? Paper presented at
Seminar on the regional Malays of Indonesia. SIL Indonesia: 2001, Yogyakarta,
8-10 January.
Crystal,
D. 2010. The Cambrige Encyclopedia of Language 3th Edition. UK:
Cambridge University Press
Donohue,
M. and Sawaki, Y. 2007. Papuan Malay
Pronominals: Forms and Functions. Oceanic Linguistics, Volume 46, Number
1, June 2007, pp. 253-276.
Drooglever,
P. J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Yogyakarta: Kanisius
Foley,
W. A. (1997). Anthropological Linguistics: An Introduction. Blackwell
Publishing: Oxford.
Kluge,
A. 2014. A Grammar of Papuan Malay. Netherlands: LOT
Lapian,
A. B. 1984. Masalah Perbudakan dalam Sejarah Indonesia: Hubungan antara Maluku
dan Irian Jaya. Dalam E. K. M. Masinambow (editor), Maluku dan Irian Jaya Vol.
III, No. 1, Buletin LEKNAS, hal. 17-34. Jakarta: LEKNAS-LIPI
Meyerhoff,
M. 2006. Introducing Sociolinguistics. London and New York: Routledge
Muller, K. 2008. Introducing Papua. Indonesia: Daisy
World Books.
Roosman,
R. S. 1982. Pidgin Malay as spoken in Irian Jaya. The Indonesian Quarterly 10(2):
95.104.
Saragih,
C. F. 2009. Makna “Pace dan Mace” dalam
Komunikasi Verbal Bahasa Melayu Papua :Kajian Socio–Pragmatik). Noken Bahasa: Prosiding Seminar Ilmiah Masyarakat
Linguistik Cabang UNIPA, Manokwari, (1) 52-56. Manokwari: Fakultas Sastra
UNIPA.
Saragih,
C. F. 2013a. Personal Pronoun Usage in
Papuan Malay (An Anthropological Linguistic Study). Dalam Noken Jurnal Ilmiah
Bahasa, Sastra, dan Sosial Budaya, Vol 01, No. 01 (hal. 39–59). Manokwari:
Fakultas Sastra dan Pusbadaya UNIPA.
Saragih,
C. F. 2013b. Passive Construction in
Papuan Malay. Dalam Prosiding Seminar Nasional: Bahasa dalam Kemasyarakatan
dan Kebudayaan (hal. 85 – 102). Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan, LIPI.
Saragih,
C. F. 2013c. Meaning Variation of
“Tindis” in Papuan Malay. Dalam Langua Jurnal Penelitian Linguistik Vol. 3,
No. 3 (hal. 13–26). Medan: Lembaga Kajian Ekolinguistik
Saragih,
C. F. 2014a. Paradigma Linguistik
Antropologis untuk Papua. dalam Noken Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan
Sosial Budaya, Vol 02, No. 02. Manokwari: Fakultas Sastra dan Pusbadaya UNIPA.
Saragih,
C. F. 2014b. Syntactical Phenomena
controlled by Animacy in Papuan Malay. Prosiding Konferensi Linguistik
Tahunan Atma Jaya (KOLITA) 12. Jakarta: UKI Atma Jaya.
Sawaki, Y. W.
2004. Some morpho-syntax notes on Melayu Papua. Manokwari: Universitas Negeri
Papua.
Setiawan, E.
2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia offline, versi 1.1. Pusat Bahasa:
http:/pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
Sinaga,
R. 2013. Masa Kuasa Belanda di Papua 1898 - 1962. Jakarta: Komunitas Bambu.
Suharno, I. 1979. Some notes on the teaching of Standard
Indonesian to speakers of Irianese Indonesian. Irian: bulletin of Irian Jaya 8
(1): 3-32.
Tönnies, F. 1955. Community and Association. London: Routledge and Kegan Paul
Warami,
H. 2005. Bentuk partikel bahasa Melayu Papua. Linguistika 6(1): 87–112.
Wardhaugh,
R. 2006. An Introduction to Sociolinguistics, Ed. 5. Australia: Blackwell
Publising
*Dosen Linguistik pada Fakultas Sastra
dan Budaya, Universitas Papua
0 Komentar