Ada Tawa dari Papua

INDONESIA tanpa wilayah timur ibarat tubuh yang tidak sempurna. Alam Papua memberikan keelokan tak terperi. Papua juga menyimpan kekayaan budaya. Namun, dunia luar lebih sering mendengar kabar suram tentang Papua, antara lain konflik berkepanjangan masyarakat adat dengan perusahaan tambang emas Freeport asal Amerika Serikat.

Sebersit kabar cerah tentang Papua disajikan di Taman Ismail Marzuki Jakarta 2-3 Mei lalu. Komunitas Papua Arts Centre Entertainments (PACE) menggelar cerita rakyat Nug Nug Wan. Pentas Nug Nug Wan yang merupakan adaptasi dari sastra lisan itu mengabarkan bahwa masyarakat Papua cukup jenaka dan suka melucu. Pentas gabungan unsur tari, musik, dan teater itu menghadirkan ironi dan menimbulkan tanya mengapa tanah indah dan warga yang polos itu didera konflik berkepanjangan.

"Papua memang identik dengan hal-hal yang sifatnya komedi. Memang saya melihat itu sebagai kekuatan. Sebagai tingkat dramatik itu memang penting sekali. Kekuatan itu saya gali dari pemain. Pemain asal dari Papua yang komedian itu ada. Jadi, mudah saja. Dengan ekspresi mereka yang serius saja bisa bikin ketawa, apa lagi (bila melontarkan lelucon) direncanakan," tutur Jefrie Zeth Nendissa, sutradara Nug Nug Wan.

Adegan demi adegan sepanjang pertunjukan memang membuat penonton yang sebagian besar asal Papua terpingkal-pingkal. Dialog yang sebagian besar diucapkan dalam bahasa Papua menghadirkan kesan gurau bagi yang mengerti bahasa itu. Bahkan, dalam beberapa dialog, irama ucap mampu memberikan kelucuan bagi penonton yang tak mengerti bahasa Papua.

Penyanyi Edo Kondologit yang ditunjuk sebagai pencerita bersama Anna Rettob menyebut kelucuan itu sebagai sikap spontan masyarakat Papua. "Orang Papua itu spontan. Mereka melakukan sesuatu dengan mood. Ada hal-hal dari spontanitas itu yang memang lucu," kata Edo.

Nug Nug Wan berarti Cerita dari Kampung. Berkisah tentang legenda terbentuknya lembah indah Yotefa, Tobatti Enggros, Jayapura. Dikisahkan, suami-istri Haro dan Aihoi, diperankan Michael (Indonesian Idol) dan Putri Nere (putri Rully Nere, pesebak bola andalan Indoesia tahun 1980-an) menikmati ikan dari sebuah kolam tanpa mau berbagi dengan warga lain. Beberapa penduduk dari Kampung Besar kerap singgah ke rumah Haro dan Aihoi untuk meminta tabako atau subahay alias rokok. Haro dan Aihoi menjamu mereka dengan bête (ubi) berkuah ikan. Suatu hari dua tamu Haro dan Aihoi penasaran dan mencari tahu mengenai kelezatan kuah ikan yang dihidangkan.

Nasib buruk bertandang. Tamu Haro dan Aihoi menemukan tulang ikan yang dibungkus kulit kayu. Temuan itu dijadikan bukti keserakahan pasangan itu kepada tetua adat. Kabar itu sampai pada Dua Tuan Tanah (setan) yang muncul dari Danau Sentani. Dua Tuan Tanah pun murka dan menghancurkan kolam ikan milik Haro dan Aihoi. Rumah mereka juga diobrak-abrik. Ikan-ikan berhamburan sehingga bisa ditangkap, dipelihara, dan dimakan siapa saja. Aihoi menangis sejadi-jadinya mendapati kolamnya berantakan. Aihoi sangat berduka. Air matanya tumpah di dada Haro yang tak bisa berbuat apa-apa. Penyesalan tiada guna. Sungai yang dihancurkan Dua Tuan Tanah kemudian dipercaya menjelma menjadi Teluk Yoseta di antara Pulau Enggros dan Tobati.

Adegan itu merupakan klimaks Nug Nug Wan. Pesannya jelas: jangan serakah. Ikan dan sungai anugerah Sang Pencipta yang diturunkan sebagai bagian dari alam. Dan alam adalah ihwal kehidupan utama masyarakat Papua. "Itu menunjukkan betapa dekat orang Papua dengan alam," ujar Edo.

Banyak adegan karikatural Nug Nug Wan diwarnai tarian nan lincah dan enerjik. Rentak tari yang bergairah semakin menegaskan rakyat Papua menjalani kehidupan yang riang di tengah dan bersama alam. "Konsep dasarnya tari pergaulan Papua. Namanya tari Yosim Pancar. Kami kemas dengan lagu Pangkur Sagu jadilah tarian Pangkur Sagu. Beberapa dicampur dengan gerak-gerak (tarian) dari pinggir pantai. Walaupun jauh sekali ke gunung, ada sedikit pengaruh antara pegunungan dan pantai," kata Jefrie, sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta yang besar di Jayapura.

Dalam suatu bagian ditampilkan gerakan tari yang menggambarkan aktivitas keseharian masyarakat Papua. Beberapa pemburu tradisional dengan panah di tangan mengintai mangsa. Untuk menambah kesan alam Papua, panggung dihiasi pohon-pohon hutan.

Unsur lain yang mengentalkan suasana Papua dalam pertunjukan ini musik arahan Fahmi Alatas yang selaras dengan gerak tari, adegan, dan suasana panggung. Sejak awal, kegembiraan ala hutan dihidupkan dengan musik akustik yang riang. Ketukan perkusi warna Papua dan alat musik tiup tradisional mengiringi gerak para penari.

Peran musik terasa dominan dalam pertunjukan ini. Secara keseluruhan pementasan folklore ini bisa disebut sebagai drama musikal. Untuk mengiringi tarian, Edo Kondologit yang mengenakan pakaian tradisional pun menyanyikan beberapa lagu Papua dengan aransemen modern dan tradisional.

Pengalaman Kultural

Magdalena Kondologit tersenyum menyaksikan remaja setingkat SMA berlatih tari tradisional Papua. Seusai pertunjukan, para remaja itu mengikuti work shop tari Papua di atas pentas. Tentu senyum kakak Edo Kondologit itu bukan karena sekadar terhibur. Pentas Nug Nug Wan membawa ingatan Magdalena melayang jauh ke kampung halamannya di Sorong. "Di rantau, kegiatan ini membuat kita ingat kampung. Satu tahun lebih lebih saya tidak pulang. Acara ini bisa membuat kita ingat orang-orang tua di kampung," katanya.

Di sebuah gedung pertunjukan di Jakarta yang sesak, Magdalena mengalami ketegangan identitas. Menyelami kembali pengalaman kulturalnya. "Aslinya lebih seru, tradisional. Sering kali kita cerita ke anak-anak mengenai adat papua, biar anak-anak sekarang tahu adat-istiadat Papua," ujar Magdalena dalam bahasa Indonesia berlogat Papua.

Pengalaman kultural Edo Kondologit mungkin lebih sensasional, karena langsung berperan dalam pertunjukan. Nug Nug Wan adalah pengalaman pertama Edo di teater. Juara Voice of Asia Song Festival 1999 itu mengaku kecanduan untuk terlibat lagi dalam pertunjukan serupa. "Ini baru bagi saya. Dulu saya tidak pernah tertarik dunia teater. Saya mau banget untuk ikut lagi. Sangat menantang," katanya.

Nug Nug Wan membuat Edo sangat terkesan pada sastra lisan asal kampung halamannya itu. Dari sekadar menjadi pemain, dia tergerak untuk melestarikan kekayaan budaya Papua. Dia sadar kebudayaan rakyat itu menyimpan kebijaksanaan hidup. "Sudah saatnya kita kembali ke akar budaya masing-masing. Perlu orang yang memiliki wawasan dan kebijaksanaan untuk mengolah pertunjukan (dari sastra lisan). Saya kira ada bagusnya sekolah seni. Di sana orang bisa belajar dan menggali budayanya. Saya berharap di Papua nanti ada sekolah seni," ujarnya.

Edo Kondologit memang bukan orang pertama yang menyuarakan untuk kembali ke akar budaya. Namun, posisinya sebagai penyanyi yang cukup dikenal membuat pernyataan itu mungkin akan lebih mengena dan bergema. (E4)

Sumber: www.vhrmedia.com

Posting Komentar

0 Komentar