Melayu Papua: Siapa Pu Identitas? (Bagian I)

Oleh: Chrisma Fernando Saragih* 
 
Anak sekolah di Akimuga, Foto; Onny Wiranda
Pengantar
Tahun 2011 ketika saya berada di Jakarta dalam rangka mengikuti kegiatan English for Academic Purpose (EAP) selama kurang lebih 4 (empat) bulan, saya yang datang dari bagian timur Indonesia menjadi seorang peserta yang dianggap unik oleh teman-teman saya yang berasal dari bagian barat Indonesia. Keunikan yang saya miliki sebenarnya bukan karena kemampuan saya yang melebihi mereka tetapi aksen ketimuran dan variasi Bahasa Melayu yang saya miliki. Pada beberapa kesempatan, ketika berbicara dengan saya, teman-teman saya selalu mencoba untuk meniru aksen atau pun kosakata dari Bahasa Melayu yang saya miliki. Meskipun tampak jelas dari nama keluarga saya yang menunjuk nama keluarga yang berasal dari Etnik non-Papua karena aksen dan variasi Bahasa Melayu yang saya tersebut, saya tetap dianggap sebagai seseorang yang berasal dari Papua.
Masih dalam periode EAP itu, suatu ketika saya memeriksakan diri di salah rumah sakit swasta terkenal di kawasan Jakarta Selatan untuk mendapatkan keterangan kesehatan sebagai salah satu syarat untuk melanjutkan studi magister saya, seorang suster yang melayani saya pada waktu itu merasa aneh dan penasaran dengan logat/aksen yang saya pakai, meskipun saya merasa bahwa, pada saat itu, saya telah menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Rasa penasaran itu terlihat jelas dari senyum tipis si suster dan sebuah pertanyaan dengan penuh keingin-tahuan yakni “bapak berasal dari mana, gaya bicara bapak lain?” Sebelumnya saya telah memberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saya dan si suster tampaknya telah mencoba mengidentifikasi daerah asal saya melalui nama keluarga saya, tetapi kemudian upaya identifikasi yang dilakukannya menjadi buyar ketika saya mulai berbicara dengan aksen yang kemungkinan belum diketahui asal persebaran regionalnya oleh si suster tersebut.
Dalam kesempatan lain, ketika saya sedang mengikuti Konferensi Linguistik di salah satu Universitas ternama di Jakarta, seorang peserta menghampiri saya setelah presentasi yang saya sajikan dan berkata “bapak ini marganya Batak, tapi gaya bicaranya benar-benar seperti orang Papua. Sudah berapa lama di Papua?” Tampaknya peserta ini awalnya telah memiliki asumsi yang sama dengan suster di atas tentang identitas keetnisan saya (kemungkinan asumsi ini muncul saat nama saya diperkenalkan pembawa acara), tetapi kemudian asumsi tentang identitas saya itu berubah seiring dengan logat/aksen yang saya gunakan ketika berbicara Bahasa Indonesia.
Tentunya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang mungkin dialami orang lain. Salah satunya adalah ketika Novela Nawipa, saksi Prabowo-Hatta dari Papua, memaparkan kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi terkait dengan pelanggaran kode etik Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden beberapa waktu lalu. Penggunaan aksen Papua dalam berbicara Bahasa Indonesia kurang lebihnya telah menjadi sebuah “hiburan” tersendiri bagi para hakim dan hadirin peserta persidangan. “Hiburan” yang muncul  sebenarnya berasal dari logat/aksen yang digunakan oleh Novela saat berbahasa Indonesia karena aksen yang digunakan menunjukan identitas, tepatnya identitas regional, yang dimiliki oleh Novela.
Beberapa kejadian di atas sengaja saya berikan untuk mengarahkan pemikiran kita dalam memahami betapa eratnya hubungan tali-temali antara identitas dan bahasa (termasuk variasi bahasa seperti dialek dan aksen/logat). Bahasa pada dasarnya bukan hanya digunakan sebagai sebuah alat komunikasi utama yang terstruktur dan bersifat konvensional antara penuturnya, tetapi bahasa juga merupakan label dalam memberikan nilai (pandangan) sosial berdasarkan berbagai variabel sosial dari penuturnya, salah satunya variabel sosialnya adalah identitas. Identitas pun masih dapat dibagi lagi kedalam berbagai identitas (lihat, Crystal, 2010 misalnya).
Tulisan ini akan membahas bagaimana sebuah bahasa yang awalnya merupakan sebuah pijin (pidgin) yang digunakan sebagai bahasa kontak dalam hubungan perdagangan antara pedagang dari wilayah barat dan pedagang dari wilayah timur di kawasan Pantai Barat dan Utara, juga di Bagian Selatan dari Pulau Papua menjelma melalui proses kreolisasi menjadi sebuah kode yang merepresentasikan identitas dari berbagai kelompok etnik yang berada di satu wilayah pulau yang dikenal dengan nama pulau Papua. Dengan adanya identitas baru melalui kode (bahasa) ini, kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai etnik ini terlebur menjadi satu komunitas besar yang tersusun dari struktur sosial masyarakat yang bersifat majemuk. Kelompok ini secara sosial berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi kemudian bersatu dengan berbicara sebuah kode yang sama ketika menetap di Papua. Dapatkah kita menyebut kelompok ini sebagai sebuah kelompok baru karena mereka menggunakan kode berbeda dari kode pemersatu bangsa Indonesia, yakni bahasa Indonesia? Hal inilah yang ingin dibahas dalam tulisan ini. Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah terlebih dahulu saya gambarkan situasi kemajemukan masyarakat di Tanah Papua secara khusus dalam hal kemajemukan bahasa dan sosial-budaya.

Situasi Bahasa Dan Sosial-Budaya Di Tanah Papua
Pembahasan tentang situasi bahasa dan sosial-budaya di Tanah Papua ini sebagian besar ulasan saya ambil dari tulisan saya “Paradigma Linguistik Antropologis untuk Papua” yang dipublikasikan di Jurnal Noken: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra dan Sosial Budaya Vol. 2 No. 2 (Saragih, 2014a).
Meskipun sering bervariasi ukuran luasnya, dari beberapa referensi yang saya baca, salah satunya Muller (2008), mengatakan bahwa Papua yang merupakan pulau paling timur dari Indonesia, memiliki luas daratan yang mencapai 421.981 km2. Bila luasan daratan ini digabungkan dengan luas daratan di bagian timur pulau, yakni Papua New Guinea, secara keseluruhan Pulau Papua memiliki luas 792.540 km2. Pembahasan saya tentunya hanya berfokus pada masyarakat di bagian Pulau Papua yang masuk dalam kerangka wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di atas pulau besar yang dalam berbagai literatur sering dipersonifikasikan dengan burung raksasa atau dinosaurus[1] ini terdapat kurang lebih dari 271 bahasa daerah (dengan berbagai variasi dialeknya) yang berasal dari dua proto bahasa berbeda: Austronesia dan Non–Austronesia (Papuan). Secara umum, jumlah bahasa lokal ini mengimplikasikan jumlah suku-suku lokal yang terdapat di Papua. Suku-suku lokal itu kemudian dikelompokan kedalam 7 (tujuh) wilayah kesatuan budaya yang secara geografis[2], meskipun pembagian bukan berdasarkan keseluruhan unsur-unsur budaya melainkan hanya berdasarkan sistim kesenian. Hal ini menjadikan masyarakat Papua sebagai masyarakat majemuk dengan ladang keberagaman hidup yang  memiliki variasi yang sangat kompleks. Suku–suku yang hidup di Tanah Papua memiliki perbedaan pandangan yang sangat mencolok.
Dalam pandangan teori Relativitas Linguistik (Linguistic Relativism) dan Determinasi Linguistik (Linguistic Determinism), juga dikenal sebagai Sapir–Whoft Hyphotesis, dikemukakan bahwa bahasa dan pikiran (language and thought) memiliki interdependensi dan interrelasi. Secara singkat, Linguistik Relativitas berkaitan dengan pernyataan tentang kenyataan bahwa bahasa yang berbeda menghasilkan pola pikir yang berbeda pula dan Determinasi Linguistik mengacu pada bukti empiris bahwa bahasa ikut secara aktif menentukan pola pikir (cognition). Jika teori–teori ini dihubungkan dengan kenyataan riil lapangan di Papua, maka dapat dipastikan betapa beranekaragamnya pola pikir Orang Papua itu sendiri. Pola pikir sendiri diyakini oleh kaum Antropologi Kognitif (Cognitive Anthropologist) sebagai dasar dari manisfestasi fenomena–fenomena materi kebudayaan (kebudayaan fisik). Keberanekaragaman bahasa dan pikiran ini terwujud dalam keberanekaragaman budaya yang dinyatakan dalam variasi adat–istiadat masyarakat Papua. Selain keberagaman pola pikir, perbedaan ekologi yang meliputi keadaan alam yang berpulau-pulau, pesisir pantai, berawa-rawa, sungai-sungai, lembah-lembah, bukit-bukit dan gunung-gunung menjadikan masyarakat Papua suatu masyarakat dengan tingkat perbedaan yang sangat tinggi.
Masuknya migran atau pendatang dari luar Pulau Papua (sebut saja orang Sanger, Ambon, Manado, Makassar, Bugis, Buton, Jawa, Toraja, Batak, Dayak, Bali, d.l.l[3].) dengan berbagai sistem kebudayaan mereka, termasuk di dalamnya bahasa daerah mereka untuk menetap di Tanah Papua telah lebih lagi meningkatkan keadaan Pulau Papua ke level kemajemukan yang sangat kompleks.
Berbagai kelompok etnis ini telah membentuk sebuah kelompok besar di Tanah Papua. Saya menyebutnya “sebuah kelompok” karena dalam pandangan saya berbagai suku ini, meskipun secara etnis berasal dari tempat yang berbeda-beda tetapi secara linguistis dipersatukan dengan sebuah kode yang berfungsi sebagai mesin homogenitas. Jika berbagai suku asli di Tanah Papua disatukan, kelompok ini, dalam definisi saya, dapat disebut sebagai “Orang Papua”. Tetapi, di sisi lain, jika semua suku baik asli maupun pendatang di Papua disatukan, dengan nama apakah kelompok sosial ini disebut? Mereka, dalam konteks tertentu, (mungkin) kurang tepat disebut masyarakat Indonesia karena dalam berkomunikasi mereka menggunakan kode yang berbeda dari bahasa Indonesia (meskipun bahasa Indonesia juga merupakan bahasa formal yang digunakan dalam situasi-situasi resmi dalam berbagai aspek kehidupan mereka). Mereka merupakan satu kelompok sosial tersendiri karena mereka memiliki identitas sendiri, yakni sebuah identitas yang berasal dari penggunaan sebuah kode yang berfungsi sebagai lingua franca dalam mempersatukan mereka. Untuk kepentingan tulisan ini saya menamakan kelompok ini sebagai Kelompok Nusantara Papua, yaitu berbagai suku dari Papua maupun daerah lain Indonesia yang menetap di Tanah Papua dan berbicara sebuah kode pemersatu, yakni Bahasa Melayu Papua. Bahasa atau kode ini yang akan menjadi inti pembahasan dari tulisan ini. Saya akan berargumen dalam bagian-bagian berikut dari tulisan ini bahwa kode yang digunakan ini telah melahirkan sebuah identitas baru bagi sebuah kelompok yang berasal dari gabungan orang Papua dan non-Papua (secara khusus mereka yang lahir dan besar di Tanah Papua) yang menetap di Papua. Sebelum lebih jauh membahas topik ini, baiklah saya terlebih dahulu akan memaparkan secara singkat tentang Bahasa atau kode yang saya maksud mencakup nama, sejarah maupun karakteristik linguistiknya.



[1] Lihat Boelars (1986)
[2] Saireri, Domberai, Bomberai, Mee – Paqo, Lani – Paqo, Tabi, dan Anim–Ha.
[3] Kelompok  “Orang Luar” ini bahkan telah menurunkan generasi-generasi baru mereka yang lahir dan besar di Tanah Papua.

*Dosen Linguistik pada Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua




Posting Komentar

0 Komentar