Judul : Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digoel
Penulis : Pandir Kelana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1992
Nasib memang bisa pasang surut. Suatu saat bisa melambung tinggi dan
semua cita cita seolah tergapai mudah, namun suatu saat bisa terjadi
kemalangan yang berturut-turut. Yang menjadi pertanyaan, apakah
seseorang yang berada di titik terendahnya bisa bangkit dan berada di
kesempatan yang sama seperti sebelum ia terjatuh? Suro Pranoto,
laki-laki asal Jawa Timur ini membuktikannya. Meskipun ia telah
mencicipi kerasnya penjara Tanah Merah Digoel, Papua, dan Nusakambangan
selama satu dasawarsa, ia mampu bangkit meskipun semuanya tak lagi sama.
Suro Buldog adalah nama julukan yang diterima Suro Pranoto karena
perawakan dan wajahnya yang diolok-olok mirip jenis hewan tertentu.
Dengan badan yang tidak terlalu tinggi, kekar, dan lumayan berisi serta
wajah pas-pasan, Suro Pranoto hanya tertawa saja menanggapi julukannya
itu. Karena meski jauh dari kriteria pria tampan, Suro Pranoto bersyukur
ia dianugerahi kecerdasan dan kemampuan menguasai aneka bela diri. Ia
selalu meraih nilai tinggi di ujian sekolah, juga berhasil lulus dari
sekolah teknik pertukangan (Europese Ambacht School) dengan nilai
memuaskan. Kelulusannya ini menguatkan harapan Suro Buldog untuk
menggapai cita-citanya menjadi seorang masinis.
Sayang harapannya belum terkabul, bukan jabatan masinis yang
diperoleh, melainkan montir bengkel lokomotif Tasikmalaya. Meskipun
sempat kesal, namun ia menjalankan tugasnya dengan baik sehingga
atasannya yang Belanda totok, Hans Hilkema, sering memujinya di depan
rekan-rekan seniornya yang kebanyakan Belanda totok dan Indo. Banyak
yang kemudian iri dan membencinya. Namun, Pranoto pandai mengatasinya
dan mereka kemudian menjadi sahabat.
Perkenalannya dengan kepala sekolah partikelir, Sudibyo,
mengantarkannya untuk mengetahui perjuangan kemerdekaan para pemuda. Ia
berkenalan dengan mahasiswa teknik bernama Kusno, yang bermimpi
Indonesia dipimpin oleh rakyatnya sendiri dalam waktu dekat. Kusno
inilah yang kemudian menjelma menjadi tokoh proklamator yang dikenal
dengan nama Soekarno.
Suatu kali terjadi krisis sehingga banyak pegawai dirumahkan dan
hanya mendapat gaji sepertiganya. Oleh rekan-rekannya, Suro Buldog
diminta untuk memperjuangkan mereka agar bisa bekerja kembali. Sayangnya
Suro emosinya kerap menguasainya. Tanpa sadar, ia telah menyerang
atasannya, Ten Kate, hingga tak berdaya dan dinyatakan lumpuh. Atas
perbuatannya itu, ia pun dijebloskan ke penjara darurat Tanah Merah,
Digoel, yang jauh di Papua. Istrinya, Hartini, yang hamil terisak-isak
sedih melepasnya. Begitu juga kakak iparnya, Sudibyo, yang dimintanya
berjanji untuk mengabarkan berita bohong kematiannya dua tahun kemudian,
agar istrinya berhenti mengharapkannya.
Lembaga permasyarakatan Digoel merupakan penjara yang paling
ditakuti. Tidak ada napipun yang bisa melarikan diri dengan mudah. Dan
di sinilah Suro harus menghabiskan waktunya sebagai kuli angkut barang
dan tukang kebun bersama narapidana lainnya yang sebagian penjahat kelas
kakap dan selebihnya orang buangan yang menyerang atasan mereka yang
berdarah Belanda.
Karena budi pekertinya yang baik dan rupanya Ten Kate sembuh dan
tidak lumpuh, hukumannya diperingan lima tahun dan dipindahkan ke Nusa
Kambangan. Di penjara Jawa Tengah ini ia menjadi pimpinan para napi
setelah mengalahkan dedengkot napi di sini. Ia lantas mengajarkan bela
diri dan menanamkan nasionalisme ke teman-temannya. Dan alangkah
senangnya ia hukumannya kembali diperingan menjadi 10 tahun. Ia
memandang masa depannya itu dengan gembira namun juga nelangsa.
Istrinya sudah menikah lagi. Nama baiknya sudah hancur dan predikat
mantan narapidana akan terus membayang-bayanginya. Kepercayaan dirinya
mulai pudar menghadapi masyarakat di luar penjara yang telah
ditinggalkannya satu dasawarsa. Di satu sisi ia masih teringat oleh
semangat Kusno yang membakar hatinya. Jalan hidup mana yang akan dipilih
Suro Buldog?
Setelah membaca Ibu Sinder, saya tergelitik untuk membaca karya
Pandir Kelana lainnya, salah satunya Suro Buldog. Apalagi dalam lembar
penutupnya disebutkan cerita-cerita karya Pandir Kelana saling berkaitan
dan tokoh utamanya bisa jadi saling bertemu di novel berikutnya,
meskipun novel-novel ini bisa dibaca lepas dan tidak berurutan.
Dalam Ibu Sinder, tokoh Suro Buldog tampil dalam sosok mandor Darmin,
orang kepercayaan suaminya, Sinder Suprapto. Setelah Ibu Sinder
berpindah ke Yogya setelah kematian suaminya, tidak ada lagi kisah
pertemuan keduanya. Sedangkan di cerita Suro Buldog, Ibu Sinder muncul
beberapa kali. Terutama ketika Suro Buldog memilih untuk mengganti
namanya agar terbebas dari masa lalunya. Ide cerita yang saling
berkaitan ini menurut saya menarik dan juga cerdik. Pandir Kelana tidak
akan kehabisan cerita dengan membuat sekuel khusus untuk para tokoh
utama dan pendamping dalam cerita.
Dari karya Pandir Kelana tersebut, saya bisa merasakan bagaimana
kondisi Jawa dan Papua masa lampau. Memang benar dalam sejarah jika
setelah abad 20, perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda tidak
begitu terlihat. Apalagi setelah perang Aceh berhasil dipadamkan. Jika
ada perjuangan, sifatnya hanya kedaerahan dan sporadis. Dan hal ini
mudah dipadamkan karena Belanda sangat ahli dalam menerapkan strategi divide et impera,
mengadu domba sesama Indonesia. Hal inilah yang dikeluhkan Kusno. Ia
menerbitkan semangat Suro Buldog dengan kisah-kisah kejayaan nusantara
masa lalu dan kegundahannya perjuangannya belum berhasil karena rekan
seperjuangannya mudah diadu domba. Di Jawa masa itu juga tidak nampak
perjuangan besar melawan Belanda, setelah perang Diponegoro yang membuat
Belanda babak belur.
Saya menduga-duga apakah Pandir Kelana yang merupakan perwira pernah
mendapat tugas di Papua dan mengunjungi Tanah Merah, Digoel. Ia berhasil
mendeskripsikan Papua masa itu dengan baik, dimana alamnya masih liar,
banyak buaya, ancaman malaria, dan suku-suku Papua yang nomaden. Sangat
tragis mengetahui burung cendrawasih sudah diburu untuk diambil bulunya
masa itu. Namun di bagian kisah Papua ini ada catatan menarik tentang
petugas Belanda. Rupanya masih ada kalangan Belanda di bumi pertiwi yang
baik dan menjalankan tugasnya dengan adil. Misionaris, Van den Broecke,
berkata ia merasa damai dan bahagia di Papua meskipun upayanya bisa
disebut tidak berhasil karena masyarakat Papua masih memegang teguh
kepercayaan lama meskipun sudah beralih ke agama baru. Sedangkan Kopral
Van Dorp sangat berdedikasi dan sangat keras kepada tahanan karena
memang ingin tampil jahat agar para narapidana membencinya dan tidak
saling berkelahi atau melakukan tindakan tak berguna karena bosan
tinggal di Papua. Dan menariknya setelah beberapa waktu Suro Buldog dan
Van Dorp saling membenci mereka kemudian berteman dan saling
menghormati.
Beberapa napi juga digambarkan abu-abu, bukan sosok yang benar-benar
jahat dan masih memiliki kebaikan, meskipun ada pula yang setelah
hukumannya selesai sulit berbaur dengan masyarakat karena predikat
mantan napinya. Seperti Dahlan Bandot yang sukses menjalankan bisnis
dokar namun selalu dicurigai masyarakat dan akhirnya memilih menyingkir
jauh.
Dua buku dari Pandir Kelana ini benar-benar menarik. Tema perjuangan
meskipun sudah lewat masanya, tetap menarik disimak. Mengingatkan saya
agar selalu menghargai jasa pejuang karena perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan itu banyak mengorbankan jiwa raga.
0 Komentar