Oleh; Hilmar Farid
SEJARAH adalah unsur penting dalam konflik di Papua. Di satu pihak ada
klaim bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia karena pengalaman
sejarahnya sama sekali berbeda. Apalagi selama puluhan tahun di masa
Orde Baru, orang Papua mengalami penindasan politik dan pengucilan
sosial yang membentuk ”memoria passionis” atau kenangan akan penderitaan
yang mendalam.
Buku Jejak Kebangsaan yang disunting oleh
Soewarsono dan Thung Ju Lan punya misi menyediakan basis historis bagi
klaim bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Tapi berbeda dengan
ideologi ”NKRI harga mati”, buku ini melacak akar sosial dan historis
dari kehadiran Indonesia di Papua dalam sejarah modern. Fokusnya ada
pada pergerakan orang dari Jawa dan Sumatera yang dibuang ke Manokwari
dan Boven Digoel pada 1920-an oleh penguasa kolonial. Orang buangan
pertama dari Jawa adalah Haji Misbach, tokoh Sarekat Rakyat yang dituduh
melancarkan aksi teror serta sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Ia
dibuang ke Manokwari pada Juli 1924 dan kemudian meninggal di pembuangan
pada akhir Mei 1926.
Pada awal 1927 lebih dari 1.300 orang
pergerakan radikal dibuang ke Boven Digoel menyusul pemberontakan di
Jawa pada November 1926 dan Sumatera Barat pada Januari 1927. Pada awal
1930-an tokoh dan aktivis organisasi politik lain seperti PNI-Baroe dan
PARI juga dibuang ke sana. Sebagian dari mereka dipulangkan ke tempat
asalnya secara bertahap, tapi ratusan di antaranya kemudian dievakuasi
ke Australia pada Maret 1943 ketika Jepang menyerbu Indonesia.
Buku
ini bertolak dari asumsi bahwa kehadiran orang buangan dari Jawa dan
Sumatera berpengaruh memperkenalkan kebangsaan Indonesia di tanah Papua.
Resonansi kebangsaan ini bisa timbul karena baik orang buangan maupun
orang Papua sama-sama dijajah dan menjadi colonial subject yang
berhadapan dengan penguasa kolonial.
Dalam kasus Haji Misbach
asumsi ini tidak terbukti. Tiga tulisan oleh Herman Hidayat, Ana
Windarsih, dan Thung Ju Lan, mengakui bahwa ingatan kolektif mengenai
Haji Misbach di Manokwari sudah lama pudar. Makamnya ditemukan oleh para
peneliti dalam keadaan tidak terurus serta masyarakat yang diwawancarai
pun mengaku tidak mengenal sosok dan sepak terjangnya dalam pergerakan.
Hanya ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Haji Misbach pernah
menghimpun sekitar 20 orang setempat untuk bergabung dalam Sarekat
Rakyat di Manokwari, tapi keterangan mengenai siapa mereka dan apa yang
dikerjakan praktis tidak tersedia.
Jejak perlawanan
Dalam konteks ini para penulis
Jejak Kebangsaan sepertinya mengikuti jejak yang keliru. Pembuangan Haji
Misbach di Manokwari lebih besar pengaruhnya bagi orang Jawa daripada
orang Papua. Semestinya yang ditelusuri bukan hanya seberapa jauh orang
Papua mengenal Haji Misbach dan apa yang diperjuangkannya, tapi seberapa
jauh orang Indonesia pada umumnya mengenal Haji Misbach dan Manokwari.
Dalam narasi dominan, sejarah kebangsaan itu adalah sejarahnya kaum
elite terpelajar yang ada di kota. Tapi jika dilihat dari perspektif
Haji Misbach menjadi jauh berbeda. Dalam seri tulisan yang diterbitkan
di Medan Moeslimin, Haji Misbach bercerita tentang kota dan pelabuhan
yang dikunjunginya dalam perjalanan ke Manokwari, yang jika dibaca
sebagai kesatuan, akan membentuk geografi perlawanan terhadap
kolonialisme di masa itu. Manokwari menjadi ”kota kebangsaan” bukan bagi
orang Papua, tapi bagi para pembaca Medan Moeslimin. Seperti Boven
Digoel bagi pembaca Persatoean Indonesia.
Dalam kasus Boven Digoel
situasinya agak berbeda. Jumlah tahanan di sana yang paling besar dalam
sejarah kolonialisme Belanda. Sebelumnya tidak pernah ada pemindahan
penduduk yang begitu masif karena alasan politik. Tapi berbeda dengan
Haji Misbach yang dibuang ke sebuah kota yang sudah ada sebelumnya, para
tahanan di Boven Digoel menempati sebuah kamp yang dibangun khusus
untuk pembuangan. Di Manokwari, pengaruh Haji Misbach terbatas karena ia
bekerja sendirian. Di Boven Digoel, pengaruh para tahanan terbatas
karena penduduk setempat tersebar di hutan sekitar. Tidak ada pemusatan
yang membuat para tahanan dapat berinteraksi dengan penduduk setempat
untuk membentuk sebuah entitas politik seperti bangsa. Interaksi antara
para tahanan dan penduduk setempat sangat terbatas seperti terlihat dari
tulisan Langgeng Sulistyo Budi (hal 188-192). Sebagian penduduk di
sekitar kamp bekerja sebagai pembantu para tahanan dengan upah tertentu,
sementara lainnya bersikap tidak bersahabat. Para tahanan yang berusaha
melarikan diri berulangkali ditangkap oleh orang Papua untuk
selanjutnya dikembalikan kepada penguasa kolonial.
Interaksi yang
menarik terjadi bukan antara para tahanan dan orang Papua di sekitar
kamp, tapi justru dengan para penjaga kamp asal Papua. Rosmaida Sinaga
dalam tulisannya (hal 140-153) mengangkat profil Marthen Indey, wakil
komandan polisi jaga di Boven Digoel, yang bersimpati pada perjuangan
para tahanan. Ia bahkan sempat merencanakan pemberontakan terhadap
penguasa kamp, tapi gagal. Bersama tokoh Papua seperti Marthen Indey,
Corinus Krey, Silas Papare, dan Lukas Rumkorem, mereka membentuk gerakan
bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan. Inilah ”jejak kebangsaan”
yang paling konkret dari kehadiran orang buangan di tanah Papua.
Gerakan bawah tanah itu kemudian muncul ke permukaan dalam bentuk Komite
Indonesia Merdeka (KIM) pada Oktober 1946 dan berperan penting dalam
konflik di Papua selanjutnya.
Jejak kebangsaan juga ada di Merauke
pada Desember 1944, saat ada mobilisasi pendukung SIBAR (Serikat
Indonesia Baru) yang dibentuk di Australia. Juga pengerahan orang
buangan oleh Pemerintah Belanda untuk melancarkan kampanye anti fasisme
Jepang di Papua. Juga aksi propaganda serupa di Morotai, yang dilakukan
Sardjono, pimpinan PKI saat pemberontakan 1926-1927 yang berkerja sama
dengan pihak Belanda. Sayangnya ”jejak kebangsaan” ini tidak ditelusuri
lebih lanjut oleh para penulis. Padahal rangkaian perlawanan tentara dan
polisi asal Papua terhadap Belanda pada 1945-1946 tidak terlepas dari
hubungan tersebut.
Hilmar Farid, Sejarahwan
Sumber; http://wartakota.tribunnews.com
0 Komentar