“Elang” Potret Buram Indonesia Timur

Handoko F. Zainsam

Tak banyak mengalami kesusahan. Itulah yang pertama kali terbersit dalam pikiran saya saat membaca Novel “Elang” karya Kirana-Kejora. Begitu mengalir, lancar, dan tak tersendat kisahnya. Sepertinya saya dihadapkan kepada seorang penulis sangat piawai dalam merangkai kisah, memainkan alur, dan menyodorkan “robekan” nilai-nilai kemanusiaan.


Saya jadi teringat almarhum begawan penulisan secara populer, Ismail Marahimin. Dalam pengajarannya, ia selalu bilang, “Menulis itu mudah dan menulis itu indah”. Dalam Novel “Elang” ini, nampak sosok Kirana Kejora begitu mudah menyampikan kisah. Ia menampilkan eksistensi dirinya sebagai sosok penutur yang manis dan pencerita yang kuat.

Saat ia memulai kisah dengan perburuan Elang Timur di Hutan Timika, Papua, saya merasa diajak melihat sebuah film petualangan yang cukup seru. Kalimat-kalimatnya begitu tangkas. Sepertinya tak ada permasalahan yang serius bagi penulis untuk merangkai kisah hinga pada tahap akhir ketika Elang Laut melihat dari kejauhan keluarga bahagia dari saudara kembarnya, Elang Timur, Kejora, dan anak biologisnya, Kemilau Rinjani.

Membaca “Elang” di Ranah Pembangunan Kisah
Dalam membangun sebuah cerita ada beberapa unsur yang harus dipahami secara cermat. Unsur-unsur tersebut yakni tokoh dan penokohan, cerita dan plot (alur cerita), setting (latar cerita), sudut pandang (point of view), bahasa, dan tema (makna cerita/pesan cerita). Unsur-unsur tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling mengikat diri dan sinergi. Antar unsur satu dengan unsur lain saling terlibat pada hubungan sabab akibat.

Dalam menentukan tokoh dan penokohan banyak cara yang bisa ditempuh, salah satu diantaranya dengan mendiskripsikan, menggambarkan, dan menjelaskan tokoh secara gamblang (internal). Di sisi lain, pola pembangunan tokoh dan penokohan bisa dibangun melalui dialog tokoh, perenungan tokoh, dramatik, dan lain sebagainya. Yang istilah saya, pembangunan secara (eksternal).

Dalam novel “Elang”, ada beberapa tokoh yang disampaikan secara jelas dan deskripstif. Tengok bagaian sub judul “Pertarungan Dimulai”, pada halaman 16.

“Meski prestisius jabatan telah dia dapat sebagai satu-satunya ilmuwan dari Indonesia yang bisa menjabat sebagai Executive Enginering, jabatan mewah yang selama ini diincar para ilmuwan bule di perusahaan megah itu.”

Lihat juga pada kalimat selanjutnya, “Kali ini aku harus menang. Heh, kamu hanya seniman. Penyair idealis yang tak punya apa-apa kecuali mimpi dan kata. ”

Karakter koloh Elang Timur yang cerdas, jabatan tinggi, keras, tak mudah menyerah dan terkesan bisa menempuh berbagai cara terlihat dari kalimat tersebut. Di sinilah, penulis memiliki kemampuan yang baik dalam membangun tokoh dan penokohannya. Hal ini muncul di berbagai peristiwa yang akhirnya mampu memberikan gambaran perwatakan tokoh secara utuh.

Dalam pembentukan setting atau latarnya, selain latar deskriptif, banyak pula latar-latar spiritual yang disampaikan dalam novel ini. Penulis sepertinya lebih nyaman bermain-main dalam latar spiritual. Penulis tidak menjelaskan secara gamblang tentang suatu lokasi atau latar dari cerita. Penulis cenderung banyak bermain-main di ranah imaji. Keunggulan dalam pola ini yakni pada kemampuan daya imajinasi serta pengetahuan pembaca. Di sini pembaca diberikan keleluasaan penuh untuk melengkapi gambaran-gambaran lokasi dari latar cerita. Pun termasuk latar sosio kulturalnya. Meskipun banyak permasalahan dalam metode ini lantaran daya pengetahuan pembaca yang akan membedakan hasil pembangunan latarnya. Namun, Kirana mampu memberikan sisi lain yang tak kalah menariknya.

Penceritaan yang mapan menjadikan karya ini mengalir. Peristiwa, konflik, klimat disampaikan secara manis. Pun kaidah pemplotan seperti plausibilitas (logika cerita), suspense, surprise, dan kesatupaduannya.

Sudutpandang (point of view) orang ketiga (Dia-an) menjadi pilihan penulis dalam memandang dan mendeskripsikan peristiwa antara tiap persona, yang akhirnya melahirkan seorang yang berada di luar cerita untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita, yakni narator. Sudut pandang bahasa dalam karya ini saat perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Pasalnya, penulis memasukkan berbagai unsur-unsur estetika puitika dalam beberapa peristiwa. Hal ini yang menyebabkan pembaca tidak bisa menangkap secara mudah maksud ceritanya. Perlu ada kesepakatan terhadap simbol-simbol tertentu dan pengetahuan lain.

“Lupakan aku dan kupu-kupu saljuku! Karena aku hanya setetes embun di lelah persinggahan hausmu sesaat!”

Ada pula pada bagian ini:

“Apa artinya, Dad?”

“I’m immature.”

“Mean?”

“Infertile!”

Dalam tulisan tersebut pembaca harus menguraikan simbol-simbol yang ada dalam kalimat-kalimat tersebut untuk memberikan makna tertentu pada kisah yang sedang diuraikan. Hal ini yang menyebabkan banyak penafsiran yang berbeda-beda yang mengakibatkan pembentukan karakter yang berbeda pula. Pun pada nulikan selanjutnya tentang istilah-istilah (penting) klinis tersebut.
Banyak lagi istilah-istilah yang harus dipahami oleh pembaca untuk mengungkap maksud yang sebenarnya dalam memberikan penjabaran tentang jalannya kisah.

Logika Versus Rasa (Membongkar Sisi-Sisi Keburaman).
Mungkin inilah kekuatan dari Novel “Elang” karya Kirana Kejora. Pembaca seakan dihadapkan pada sebuah pilihan yang sangat menguras pikiran dengan alasan-alasannya. Sosok Elang Timur yang digambarkan sebagai sosok “idola” kaum perempuan yang cukup memikat dengan materi, kedudukan, dan segala macam kebutuhan hidup yang mewah. Namun, kemunculan karakter tokoh tersebut tidak langsung bisa dijatuhkan pada sebuah pilihan. Hal ini lantaran tokoh “Elang Timur” harus membayar mahal dengan waktu yang hilang dan berbagai masalah biologis lainnya (cacat fisik, tidak mungkin memiliki keturunan, dll). Sementara, tokoh Elang Laut yang digambarkan sangat romatis, penuh “kata indah” yang menghayutkan, dan segala macam toleransi rasa cukup menggoda dan penuh kejutan.

Di sinilah penulis diuji. Namun, dengan piawai penulis memberikan penawaran dengan menggiring pada satu pilihan untuk menikah dengan Elang Timur dan memiliki benih keturunan dari Elang Laut. Hal ini cukup mengejutkan. Di sini diperlukan satu rentetan peristiwa logis yang rapih, lantaran konflik ini akan bisa menghasilkan permasalahan yang cukup berlarut-larut. Kejelian penulis terhadap masalah terbukti cukup menawan dengan menghindarkan diri dari keterjebakkan “larutnya” atau “konflik” dari masalah ini. Penulis menawarkan hubungan persaudaraan (Elang Timur dan Elang Laut yang ternyata Kembar patrenal) sebagai solusi logis penyelesaiannya.

Nilai-nilai humanis juga banyak muncul dari tokoh Elang Timur. Sosok ilmuwan ini memiliki kepekaan terhadap permasalahan sosial di tempat ia berada. Ini sebuah tawaran yang cukup memikat. Tokoh (manusia) yang diperlakukan secara manusiawi—bukan sebuah robot bernyawa. Seperti halnya pekerjaan atau profesi yang digeluti. Satu diantaranya, ia menjadi bapak asuh dari anak-anak papua yang sangat merindukan asuhannya.

Peristiwa-peristiwa lain yang memiliki fokus yang serupa dapat di simak dalam sub judul “Gelisah Ke Kota Agats.” (tentang Papua) dan “Pertarungan Sejati” (tentang daratan Lombok).
Dalam peristiwa “Gelisah Ke Kota Agats”, muncul kalimat yang di sampaikan oleh pejuang Papua, almarhum John S. Mambo. “Banggalah kalian sebagai orang Papua yang tidaka pernah mengemis di atas tanah yang kaya-raya”. Hal ini cukup “menggelitik”.

Benturan-benturan nilai kemanusiaan ini dikemas dengan berbagai konflik negeri ini dengan munculnya ‘simbol’ pertanyaan seorang anak bernama Simon pada Elang Timur. “Daddy sudah bilang ke bapak Presiden, tentang keinginan Simon, andai Dufan bisa pindah ke sini.”
Dalam pembangunan kisah ini, penulis haruslah peka dan membutuhkan data yang sangat kuat dan akurat terhadap apa yang dikemukakan dalam peristiwanya. Terlebih pada sub judul “Gelisah Ke Kota Agats” dan “Pertarungan Sejati”. Dalam “Pertarungan Sejati” kenyataan sosial tentang kaum miskin yang “dipertahankan” menjadi obyek pariwisata harus ditunjang dengan data-data yang kuat. Apakah benar seperti itu? Memang, hal ini akan melahirkan kontroversi yang tak berkesudahan. Antara pemertahanan budaya dan kepentingan kapitalis. Belum lagi keterjebakannya pada ranah politik dan hegemoni kekuasaan.

Harus diakui, di sini Kirana Kejora tidak mau terjebak pada perdebatan yang tak berkesudahan itu. Bahkan, ia tidak memberikan sebuah solusi terhadap permasalahan ini. Ia hanya menyajikan sebuah potret sosial di suatu tempat yang cukup membuat kita menganga. Hal ini cukup memberikan masukan bagi pembaca untuk menengok dan menyimak realita yang ada.

Nilai-nilai romatis juga menjadi hiasan yang cukup menarik dalam novel ini. Pertarungan dua saudara kembar patrenal untuk mendapatkan hati Kejora cukup mampu menyihir dan menghiasi perjalanan kisahnya hingga jatuhnya sebuah pilihan. Masih banyak lagi permasalah-permasalahan kecil yang cukup menggugah rasa, seperti wacana poligami yang akhirnya tak terlaksana lantaran tokoh Kejora memilih bercerai, ekplorasi dan eksploitasi nusa Papua yang cukup menyedihkan, hilangnya hak-hak seseorang lantaran suatu kepentingan tertentu, dan lain sebagainya.

Membaca “Elang” adalah membaca sudut kecil peta Indonesia yang penuh tanda dan warna. Pola fikir yang berubah menjadi lakuan, menciptakan kebiasaan, dan berkembang menjadi adat ketika terasuki sebuah nilai dan pranata cukup menggoda. Apa yang mau kita berikan tergantung pada apa isi kepala kita. Semoga, Novel “Elang” karya Kirana Kejora ini mampu memberikan keragaman khasasanah Sastra Indonesia. Sukses buat Kirana Kejora! Semoga kau tetap “Kejora”.

Salam
Ciputat, 27 Juli 2009

Sumber; http://oase.kompas.com