(Untuk
Saudaraku di PAPUA)
Oleh:
Fitri Dahlia
Suasana cukup ramai di Ball Room
salah satu hotel berbintang di bilangan Sudirman-Jakarta. Saat itu ada seminar
“PEREMPUAN PAPUA MEMBANGUN DENGAN DAMAI” yang dihadiri oleh perwakilan berbagai
organisasi masyarakat Papua yang berdomisili di beberapa tempat di luar
Papua, seperti dari Jawa, Bali, Lombok dan mahasiswa pascasarjana yang mendapat
bea siswa di luar negeri. Mereka mewakili berbagai lapisan sosial
perempuan Papua yang juga dihadiri oleh peserta pria, termasuk Ketua Adat salah
satu suku di Papua.
Beberapa aparat kepolisian
berpakaian preman nampak mondar-mandir mengawasi peserta satu per satu walau
tidak melakukan interogasi. Agaknya mereka ditugaskan untuk menepis
kekhawatiran agar acara seminar tidak berubah menjadi ajang mencuatnya
keinginan masyarakat Papua untuk merdeka atau ada penyusup dari
perwakilan Papua Merdeka dengan bendera Bintang Kejora-nya.
Peserta Seminar Perempuan Papua
tampil penuh percaya diri, berbusana tak jauh beda perempuan metropolitan
dengan mode pakaian masa kini; bahkan mereka berani memakai baju ketat berwarna
cerah, kontras dengan warna kulit mereka yang rata-rata gelap. Warna
baju cerah yang ditakuti perempuan berkulit sawo matang di ibukota
justru menjadi warna favorit perempuan Papua yang berkulit gelap.
Ada yang mengecat rambutnya
warna-warni trend masa kini, walau tetap mempertahankan keriting asli yang
kruwil-kruwil. Make-up yang sepadan serta sepatu hak tinggi dan tas
keluaran model terbaru. Panitia perempuan berkebaya dengan paduan kain
batik sehingga tampak feminim. Di antara peserta perempuan tampil
berbusana stelan blazer dengan modisnya. Beberapa di antaranya tampil bak
pragawati. Aku teringat model berkulit hitam Naomi Campbell dan Iman. Mirip
sekali. Hanya saja posturnya yang kurang tinggi.
Peserta pria pun demikian, berbusana
elegan, berjas dan berdasi, ada pula yang berkemeja batik dengan corak
batik khas suku Asmat. Mengunakan bahasa Indonesia dengan Tata Bahasa
Indonesia Ejaan Yang Disempurnakan sesuai dengan Kamus Poerwadarminta bahkan
diselingi bahasa Inggris dan Belanda…cas…cis…cus…dengan sangat lancarnya.
Beberapa peserta berkulit sawo matang bahkan putih seperti WNI keturunan. Aku
rasa mereka peninjau dari daerah lain.
Aku terpana melihat penampilan
mereka. Kucoba perhatikan satu per satu penampilan mereka yang jauh dari kesan
terbelakang–citra yang sering ditampilkan di layar televisi maupun media cetak.
Hilang kesan terbelakang dari penampilan mereka, terutama kaum
perempuan. Kesan koteka berbaju jerami dan kulit pohon terhapus. Mereka
begitu terpelajar, penuh tata krama dan sopan santun. Ternyata saudara-saudara
kita dari Papua itu tidak seperti yang pernah aku bayangkan. Timbul pertanyaan
di hati, kenapa sosok masyarakat Papua yang sudah maju di bidang
pendidikan dan ekonomi termasuk jenjang karier di pemerintahan maupun swasta
jarang dipublikasikan, oleh media cetak dan elektronik sehingga membuta-tulikan
pandangan masyarakat di luar provinsi Papua terhadap kemajuan saudara-saudara
di Papua itu.
Selama ini pandangan masyarakat
Indonesia terhadap Provinsi Papua, tak lebih dari sekedar infomasi yang
selalu ditayangkan media cetak dan elektronik. Suasana kehidupan dan
perkampungan suku-suku pedalaman di pegunungan yang dililit kemiskinan,
kebodohan, kesehatan yang minim, alam yang keras, adat istiadat yang mengekang
dan menindas kaum perempuan, kepala suku yang beristri puluhan, pelanggaran
HAM, Daerah Operasi Militer yang menelan korban sipil, berbagai pemberontakan,
dampak pengerukan kekayaan alam oleh perusahaan pertambangan asing,
penebangan hutan secara illegal dan bencana alam, menambah-nambah lagi
kemiskinan masyarakat Papua.
Itu sebabnya kehadiranku di acara
ini hendak melakukan beberapa wawancara pendahuluan dengan beberapa peserta
menjelang keberangkatanku ke Papua untuk menulis tentang perjuangan perempuan
Papua.
Aku duduk di samping salah seorang
perempuan Papua berwajah manis. Penampilannya cukup terpelajar. Kami pun
berbasa-basi dan berkenalan, Christina namanya, dia dosen sekaligus
Mahasiswi Pascasarjana di salah satu Universitas Negeri terkenal di Jawa
Tengah. Dia bercerita kakak lelakinya salah seorang Purek di
universitas tersebut.
Menurut Christina sebagian
besar peserta seminar berlatar belakang sarjana, bahkan di
antaranya mendapat bea siswa studi di beberapa provinsi Indonesia,
termasuk ke Australia, Amerika juga Eropa maupun beberapa Negara Asia. Sungguh
aku malu mendengar dia bercerita, tata bahasa Indonesia yang dimilikinya
terlalu sempurna bagiku yang terbiasa dengan gaya bahasa Indonesia bercampur
Betawi. Maklum anak Jakarte…biasa ber-lu-lu gue-gue. Tak sekali dua aku
keceplosan menjawab menimpali pembicaraannya dengan gaye bahase anak
Jakarte.
***
Moderator mengawali seminar dengan
menceritakan berbagai permasalahan Perempuan Papua dari berbagai aspek,
khususnya menyangkut bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, HAM dan
adat-istiadat.
“Mohon kepada para narasumber maju
ke depan untuk menyampaikan makalahnya,” pinta moderator.
Tak lama kemudian Christina berdiri
dan maju ke depan lalu duduk di salah satu kursi yang diperuntukkan bagi nara
sumber. Astagaa…pantas saja dia begitu mahir bicara, ternyata dia salah seorang
narasumber utama pada seminar ini. Awalnya aku mengira dia berdiri hendak
bertanya pada moderator. Dia duduk dengan anggun didampingi narasumber dari
LSM-HAM dan beberapa LSM maupun aktivis Perempuan dari Papua dan
Ibukota.
Berbagai masalah dikemukakan
narasumber. Dewi, narasumber dari salah satu LSM-HAM menyampaikan apa
saja yang mereka lakukan selama berkunjung ke Papua. Dengan rasa empati yang
dalam, Dewi mengungkapkan panjang lebar, “Saya bersama rekan-rekan sudah
mengunjungi sebagian Wilayah Papua, melihat dan merasakan penderitaan perempuan
Papua, mereka yang menderita karena adat isitiadat yang terlalu menekan dan
mengekang hak-hak perempuan, korban perkosaan aparat pemerintah
sehingga hamil, penganiayaan sadis mengakibatkan banyak perempuan
Papua menderita cacat phisik dan mental, bahkan pembunuhan beruntun. Ketakutan
demi ketakutan menghantui kehidupan perempuan Papua, terutama di wilayah
Darurat Militer. Data-data yang lengkap sudah saya miliki, saya bersama rekan-rekan
sudah membuat laporan ke Pemerintah Pusat dan menindaklanjutinya dengan
penyelidikan terhadap mereka yang terlibat dalam kasus berbagai penganiayaan,
pemerkosaan juga pembunuhan.”
Dewi begitu hafal wilayah per
wilayah mulai dari tingkat provinsi, kotamadya, kabupaten hingga kecamatan
Papua yang begitu luas. Aku kagum membayangkan betapa melelahkan
perjalanan panjang sejauh ribuan kilometer, naik turun gunung keluar masuk
hutan melakukan penelitian pelanggaran HAM Perempuan Papua selama bertahun-tahun.
Seorang mahasiswi Papua yang
merupakan perwakilan generasi muda perempuan Papua berdiri dan bertanya,
“Saya kagum sekali dengan kelengkapan data yang saudara Dewi miliki, mau
bersusah payah memperjuangkan nasib kami perempuan Papua yang menderita selama
puluhan tahun. Sejak Indonesia Merdeka tahun 45, pada kenyataannya kami
Perempuan Papua, belum merasakan apa arti kemerdekaan itu. Dulu kami dijajah
oleh bangsa asing sekarang kami justru dijajah oleh bangsa sendiri. Selaku
Aktivis LSM-HAM Perempuan, apa yang bisa saudara lakukan dengan data yang
lengkap itu? Apakah tidak berarti menabur garam di laut. Kami lelah dengan
semuanya ini. Tidak ada perubahan berarti yang kami rasakan, situasi semakin
memburuk. Jangankan untuk berkembang dan maju sejajar dengan saudara-saudara
kami di provinsi lain. Di rumah kami sendiri pun rasa ketakutan terus mencekam,
jangankan menuntut ilmu, untuk mencari makan pun kami tak berani, bahkan harus
mengungsi dari kampung halaman sendiri. Tidak tahu siapa lawan siapa kawan.
Musuh kami yang sebenarnya tidak nampak. Sebab pada kenyataannya tak sedikit
pula saudara kami masyarakat Papua turut terlibat dalam berbagai kasus
pelanggaran HAM Perempuan di Papua,” katanya penuh rasa terluka.
Dewi terdiam tak tahu harus bicara
apa.
Rasa haru mencekam seluruh peserta
dengan kelancaran dan kelantangan mahasiswi tersebut berbicara. Bagaikan api
dalam sekam kini berkobar, semua peserta satu per satu mengungkapkan
permasalahan yang mereka hadapi.
***
Giliran Christina menyampaikan
makalahnya. “Kekayaan alam kami dikeruk habis, terutama pertambangan dan
perkebunan. Dampak paling buruk dirasakan oleh perempuan Papua, khususnya
perempuan petani. Tanah mereka yang sebelumnya subur kini menjadi kering
kerontang karena penggerusan eksploirasi pertambangan dengan limbah yang
dibuang tanpa penyulingan, sehingga limbah itu mencemari dan mematikan
humus tanah. Sungai dan mata air untuk kebutuhan sehari ikut pula tercemar.
Petani tanaman lunak, sering mengalami gagal panen untuk kebutuhan sendiri sehari-hari
maupun untuk dijual. Terpaksalah berpindah ladang akibat pencemaran
limbah perusahaan pertambangan. Tapi petani yang berpindah ladang malah
ditangkapi, dianggap telah melakukan penggundulan hutan. Sementara penggundulan
hutan oleh perusahaan perkebunan/kayu legal atau illegal tak ada yang berani
menindak.”
“Apa yang kami dapatkan dari hasil
pengerukan kekayaan bumi Papua? Hampir tidak ada. Kalaupun ada, jumlahnya tak
lebih ibarat setetes air di padang pasir yang maha luas tak bertepi. Kami kaum
perempuan Papua hanya menjadi obyek pelengkap penderita dan proyek percobaan
berbagai instansi pemerintahan maupun swasta bahkan LSM. Maaf…sekali lagi
maaf…. Mereka yang mengaku Aktivis LSM yang ingin membantu
perjuangan kaum perempuan Papua yang tertindas, tak lebih sekedar mencari nama
dan keuntungan pribadi secara finansial. Bukan hanya aktivis LSM dan HAM
dari luar negeri, tapi juga saudara kami sebangsa bahkan saudara kami
dari Papua, semuanya berselimut LSM-HAM. Ratusan pakar dari berbagai
perguruan tinggi penjuru dunia melakukan penelitian terhadap kehidupan suku
pedalaman Papua yang masih amat terbelakang hanya untuk meraih gelar
kesarjanaan maupun posisi di universitas mereka, semua hanya demi prestasi dan
prestise.”
Christina menumpahkan seluruh perasaannya
tentang nasib saudara-saudara perempuannya di Papua yang sangat
tertindas. Kekecewaannya terhadap aktivis LSM yang mondar-mandir ke Papua
menurutnya tak lebih dari sekedar mencari sensasi bagai turis yang
plesiran. Wawancara kiri-kanan. Potret sana-sini dengan bangga bergaya di
samping manusia suku pedalaman yang masih berkoteka, seolah-olah mereka obyek
wisata yang luar biasa mempesona.
“Begitu mudahnya
perusahaan-perusahaan pertambangan yang dikelola oleh negara asing mendapat
izin mengeruk kekayaan kami. Perusahaan ini memberikan dana yang cukup
besar dan fasilitas mewah kepada para pejabat, anggota DPR juga
LSM-HAM dari dalam dan luar negeri, mau pun dengan berbagai alasan lain
untuk berkunjung ke Papua.”
“Mereka menikmati berbagai fasilitas
mewah, naik turun pesawat, menginap di hotel berbintang, di antar ke sana ke
mari dan dilayani bagai tamu negara oleh pejabat instansi pemerintahan mau pun
bos-bos perusahaan pertambangan. Padahal–ini rahasia di antara kita saja
ya–kedatangan mereka dibiayai oleh perusahaan pertambangan yang mengeruk
kekayaan bumi Papua. Pekerja-pekerja pendatang hidup mewah di kompleks
perumahan dengan sarana dan prasarana serba canggih, bergaji sebulan bisa
menghidupi 100 orang Papua. Sementara kami rakyat Papua, sebagian besar hidup
di bawah garis kemiskinan, sulit meminta dana untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Padahal bumi kami memiliki kekayaan alam berlimpah. Kami
harus mengemis meminta sedikit kekayaan kami sendiri.”
“Gubernur, Bupati, Walikota maupun
pejabat lainnya, juga bos-bos perusahaan pertambangan dan perkebunan di Papua
selalu merendahkan badan bila menyambut kedatangan pejabat dari pusat maupun
LSM dan organisasi HAM. Namun bila kami yang menghadap, jangan harap dilayani
dengan ramah, hanyalah kesinisan bahkan kekerasan yang kami terima.
Keinginan kami selalu diidentikkan dengan pemberontakan.”
Christina menyampaikan makalah
dengan bahasa yang halus serta nada suara yang juga lembut tapi penuh perasaan
luka yang dalam. Beberapa di antara peserta mengeluarkan air mata. Di sisi lain
sindirannya yang cukup tajam terhadap aktivis LSM Perempuan maupun LSM-HAM
membuat mereka yang hadir nampak tersipu-sipu, bahkan beberapa di
antaranya diam-diam meninggalkan ruangan.
“Begitu panjang rentang waktu perjuangan
kami selama puluhan tahun, begitu melelahkan. Walau lelah dan tak berdaya, kami
kaum perempuan Papua tetap akan berjuang sampai kami mendapatkan apa yang
seharusnya menjadi hak kami,” tutur salah seorang aktivis Perempuan Papua
menyambung pembicaraan Christina.
“Banyak pula putra-putri dari daerah
Papua yang kuliah di berbagai provinsi di Indonesia dan luar negeri. Mereka
kembali ke Papua dengan 1001 program yang katanya untuk kemajuan Papua. Tapi,
tak sedikit di antara mereka itu ternyata malah menipu sesama saudara Papua.
Biarlah kami punya putra dan putri tidak sarjana, tapi punya adat dan
tidak menipu daripada sarjana yang tidak tahu adat dan penipu,” tambah lagi
keluhan salah satu Kepala Suku di Papua yang turut hadir.
***
Di saat jeda makan siang, di
sampingku duduk seorang peserta perempuan yang masih muda, kutaksir usianya
sekitar 25 tahun. Kami pun berkenalan, Lona namanya, dia seorang dosen bahasa
Inggris yang mendapat bea Siswa di Universitas Oxford, London.
Melihat penampilan yang sangat
sederhana, nyaris aku tak percaya.
“Saya bekerja sukarela untuk
anak-anak murid SD suku pedalaman yang dibiayai missionaris dari Eropa,
kalaupun diberi honor jumlahnya tak seberapa. Bisa saja saya mengajar di
kampus, tapi panggilan nurani saya jatuh pada pandangan mata anak-anak di
pedalaman yang haus ilmu pengetahuan,” tuturnya.
Aku manggut-manggut penuh rasa
simpati.
“Ha…jadi Anda juga mau ke Papua?”
tanya dia sewaktu aku mengungkapkan hasrat hendak berkunjung ke Papua.
Aku hanya mengangguk tersipu, walau hati agak ragu: tepatkah keinginan ini,
justru di saat aktivis LSM-HAM dan orang-orang dari Jakarta disindir hanya
raun-raun ke Papua.
“Siapa yang mensponsori Anda? Pasti
dari perusahaan pertambangan dan Pemda Papua kan? Atau dari organisasi PBB? Aaah…mungkin
melalui berbagai kedutaan…? Enak yaa…, jalan-jalan ke Papua menonton
kemiskinan, keterbelakangan dan penderitaan kami dengan harta kekayaan kami
sendiri. Kami sudah jenuh dengan berbagai kehadiran LSM dari perbagai penjuru
Indonesia maupun luar negeri?” katanya ketus.
“Ah…eh…maksud Anda?” aku balik tanya
agak tergagap, tak menduga akan mendapat pertanyaan skak-ster begini bagai main
catur.
“Apa Anda tak menyimak penuturan
narasumber tadi? Jangan lagi kami diperbodoh. Masyarakat Papua bukan hanya
mereka yang berkoteka atau berpakaian jerami belaka. Kami pun memiliki
banyak putra-putra daerah yang berprestasi. Sudah banyak yang sarjana, dokter,
pengacara, profesor, pejabat, anggota DPR, pakar ilmu alam, matematika dan
lain-lain. Mereka mendapat bea siswa dan bekerja di Eropa dan Amerika. Wartawan
pun tak sedikit dari masyarakat Papua. Buku-buku, juga film-film tentang
Papua sudah cukup banyak dan berlimpah. Jangan tambah lagi beban kami dengan
mengorek luka lama. Selalu saja ada kunjungan dari pejabat, anggota DPR, LSM,
wartawan apalagi namanya…entahlah…bolak-balik ke Papua melakukan
pekerjaan yang sama dengan mereka yang datang sebelumnya. Kami sudah muak.
Biarkan kami berjuang dengan cara kami sendiri. Kami bukan orang bodoh dan
jangan diperbodoh,” ujarnya makin sinis. Ada rasa getir di sana.
“Berapa Anda mendapat dana? Lebih
baik pergunakan dana itu untuk membeli seragam dan buku-buku anak sekolah
Papua. Kami kekurangan seragam buku-buku, bahkan beras sangat mahal di Papua.
Kalau ada pakaian bekas yang bisa disumbangkan kami pun menerimanya
dengan senang hati,” katanya dengan nada suara merendah. “Anda tahu, baju mahal
sekali di Papua. Semuanya berasal dari luar Papua. Bayangkan harganya
bisa naik 3 kali lipat.”
Kuperhatikan bahan bajunya yang memang
berkualitas rendah. Gajinya sebagai guru Bahasa Inggris tak mampu membeli bahan
baju kwalitas sedang, sekalipun dia lulusan Oxford London, jurusan Sastra
Inggris. Padahal di Jakarta, seorang guru Bahasa Inggris yang bergelar sarjana
dari luar negeri bisa membeli rumah di kawasan Real Estate.
***
Niatku semakin kendur, semangat
untuk berkunjung ke Papua terpuruk dan hilang entah ke mana. Aku tidak tahu
apakah aku harus menangis meraung-raung atau bagaimana? Benar juga, dia!,
kenapa aku pergi ke Papua justru dengan menggunakan uang mereka melalui sponsor
perusahaan pertambangan yang mengeruk harta kekayaaan alam mereka, sementara
mereka sendiri begitu sulitnya mencari uang untuk diri mereka sendiri.
“Seminar ini tertunda beberapa
tahun karena kami sulit mencari dana,” aku ingat sambutan Ketua Panitia
waktu pembukaan seminar.
***
Yaa…Tuhan…betapa buta dan tulinya
aku selama ini!?
Aku teringat wawancaraku
dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), budayawan dan sastrawan terkemuka bangsa
ini beberapa tahun lampau, sebelum beliau wafat.
“Bayangkan, kita begitu bangga
mempertontonkan keterbelakangan saudara-saudara di Irian Jaya, hidup berkoteka
dan mengenakan jerami, makan sagu dan hidup serumah dengan binatang
peliharaannya. Tinggal di pedalaman. Turis menyaksikan semua itu
seolah menonton pertunjukan di kebun binatang!! Apa kita tidak malu, bangsa
macam apa yang membanggakan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan bangsanya
sendiri. Sementara di sisi lain kita begitu membangga-banggakan dan mempromosikan
betapa beradab dan berbudayanya bangsa Indonesia,” ujar Sutan Takdir
Alisjahbana penuh emosi di hadapan wartawan ibukota ketika diminta tanggapannya
terhadap Pameran dan Pertunjukan SUKU ASMAT di Balai Sidang yang diprakarsai
oleh salah satu yayasan di bawah pimpinan putri pejabat Orde Baru.
Aku pun masih terbayang, betapa
terkaget-kaget pengunjung Balai Sidang-Senayan yang menyaksikan Pameran
tersebut. Bukan melihat hasil karya seni mereka yang tinggi mempesona,
tapi penampilan mereka yang nyaris telanjang hanya berkoteka bagi kaum pria dan
berpakaian jerami menutup dada serta pinggul bagi kaum perempuan. Mereka menari
tarian khas Papua yang lebih banyak bertumpu pada gerak kelincahan kaki. Banyak
pengunjung yang merasa risih sekaligus iba bahkan ada yang tertawa
terbahak-bahak seolah-olah menonton pertunjukan sirkus.
“Budaya suku Asmat memang luar biasa
dari segi karya ukir maupun handicraft lainnya. Tapi mereka masih berkoteka;
itu bukanlah budaya yang patut dipertahankan apalagi dipertontonkan untuk
mengeruk kocek turis asing. Kalau memang hasil karya mereka mau dipromosikan ke
luar Irian Jaya, apa salahnya mereka diberi pakaian yang layak. Seandainya
nanti kembali ke Irian Jaya, biarlah mereka memakai pakaian khas di
kesehariannya,” tukas Sutan Takdir Alisjahbana dengan nada makin
meninggi.
[Kata-kata STA, sastrawan besar ini,
masih tertanam di benakku walau telah bertahun-tahun kemudian.*)]
***
Seorang peserta pria bermata sipit
berkulit putih menurutku pasti dari luar Papua mengacungkan tangan.
“Walau saya berkulit putih bermata
sipit dan berambut lurus, tapi saya asli putra daerah Papua, ibu saya
orang Jepang dan ayah saya dari suku Dani. Saya lahir dan dibesarkan di
Papua. Saya merasa diri saya asli putra daerah Papua. Saya bangga dengan
kampung saya Papua.”
“Terus terang, selama mengikuti
Seminar ini dari awal, saya merasa jengkel…! Kenapa kita putra-putri
Papua hanya berbicara melulu yang jelek-jelek tentang Papua. Kenapa kita tidak
bicara yang bagus-bagus dari Papua. Masih banyak yang bisa kita banggakan dari
Papua. Lihat saja Lisa Rumbewaas, dia mewakili 200 juta lebih penduduk
Indonesia menjadi juara peraih medali emas di Kejuaraan Angkat Besi
se-Dunia. Siapa yang tak kenal mutiara hitam kita yang lain si
lincah kaki kijang Ruly Nere, bintang sepakbola Indonesia di PSSI. Juga
petinju-petinju yang meraih kejuaraan internasional di Sea Games dan Asian
Games. Christ John, petinju kelahiran Papua yang juara tinju kelas bulu versi
WBA. Belum lagi atlet-atlet yang jago lari, maupun cabang olah raga lainnya.
Dengarlah merdunya suara emas Edo Kondologit yang berjuang dari nol, bermodal
baju di badan, sekarang dia salah satu penyanyi papan atas Indonesia yang
menjuarai beberapa event Nasional dan Internasional. Bahkan kinipun sudah ada
pula yang meraih Juara Olimpiade Fisika.”
“Cobalah kita berpikir jernih, bila
kita kurang dari satu sisi, coba tampilkan sisi lain yang lebih. Saya jenuh
dengan 1001 keluhan. Ayoo…sama-sama kita berjuang dengan damai, dengan cara
kita masing-masing. Kita pakai otak bukan otot. Kalau mau pakai otot
berprestasilah di bidang olah raga. Kita pakai ilmu bukan senjata.
Ayooo…berpacu meraih prestasi…!!” ujarnya berapi-api, sehingga mendapat tepukan
riuh dari peserta yang sebelumnya nampak apatis dengan tema seminar serta hanyut
dalam keluh kesah narasumber maupun peserta.
Ternyata di antara peserta yang
berkulit sawo matang dan berkulit putih pun, ada yang asli putra
daerah Papua, terlahir dari orang tua perkawinan campur antar provinsi dan
antar bangsa.
Aku sempat berbincang dengan pria
ini.
“Sebenarnya masih ada beberapa LSM
yang tulus dan ikhlas membantu saudara-saudara kami di Papua, bahkan mereka
mengeluarkan dana sendiri. Hanya ketulusan dan keihklasan LSM ini dinodai oleh
LSM yang hanya cari keuntungan pribadi,” ujarnya menanggapi pertanyaanku
mengenai kebenaran LSM yang wira-wiri ke Papua yang sekedar raun-raun
saja.
Usai mengikuti seminar aku
putuskan membatalkan semua rencana raun-raun ke Papua.
***
Saudara-saudaraku di Papua memang
bukan berlian atau mutiara putih yang hanya berkilau di malam hari dan hanya
berani berkilau di cahaya rembulan, tapi mereka adalah Mutiara Hitam yang
justru berkilau di terik matahari. Hanya Mutiara Hitam yang berani menantang
matahari. Yaaa…mereka punya cara sendiri untuk berjuang dan dunia harus dan
pasti mengakuinya.
Mengenang Alm. Sutan Takdir
Alisjahbana.
*) Tulisan wawancara dengan
STA karya penulis pernah dimuat di harian Pelita, tahun 1987
0 Komentar