TPNPB (Foto: Ist). |
(Sebuah
karya fiksi yang selesai pada penghujung tahun 2013)
Penulis: Sanimala
B.
Maret 1980. Pagi itu kabut tebal menutupi lembah
kecil di daerah Puncak Jaya: Lembah Kemabu. Berlahan, sang surya mulai
menampakkan diri, melalui celah tebing batu gunung Gergaji. Kabut pun mulai
menjauh. Terlihat pepohonan yang sangat rindang. Itulah belantara Kemabu, belantara Papua.
Burung-burung berkicau merdu. Cendrawasih pun
bertengger di dahan cemara kering, dan mulai menari indah. Satwa hutan lainnya
pun tak ketinggalan menyumbangkan suaranya. Orkestra yang menarik.
Di tengah lembah tersebut mengalir sungai Kemabu.
Sangat deras sungainya, Jernih. Di pinggir sungai Kemabu, terlihat beberapa
ekor babi hutan sedang
berjemur diri. Tidak jauh di sebelah
kanannya, beberapa ekor burung kasuari pun mengibaskan sayapnya yang
kecil, sambil membiarkan tubuh mereka dihangati sinar matahari pagi. Di sebelah
atasnya, terlihat beberapa ekor burung Cendawasih, bersiul dan menari,
menyambut indahnya suasana pagi itu dari atas ranting pohon Cemara yang kering.
Tiba-tiba, kawanan burung cendrawasih pun terbang
dan menghilang di balik pepohonan. Begitu pula dengan kawanan babi hutan dan
kasuari tersebut.
Dari jalan setapak, muncullah tiga orang pemuda setengah baya mendekati
sungai Kemabu. Di belakangnya ada beberapa orang lagi. Ya, tampaknya mereka menuju
sungai Kemabu untuk
membersihkan diri. Diantara mereka ada yang membawa senjata, ada yang bawa
pistol.
Yang lain membawa busur dan anak panah.
Mereka adalah anggota Tentara Nasional Papua yang
bergerilya. Sebuah perjuangan bersenjata mengembalikan kejayaan dan kemerdekaan
yang telah dicapai bangsa Papua, tanggal 1 Desember 1961.
Papua pernah menjadi negara yang merdeka, bebas
dari belenggu penjajahan. Sayang, aroma
kebebasan tersebut mereka hirup hanya dalam 19 hari. Tepatnya tanggal 19
Desember 1961, Ir. Soekarno, presiden Indonesia saat itu mengeluarkan Trikora,
untuk mencaplok wilayah Papua yang telah menentukan nasibnya sendiri yakni
merdeka bebas dari belenggu penjajahan, menjadi bagian dari NKRI. Sungguh
keterlaluan... tetapi itulah yang terjadi.
“Ah, dingin sekali ale... “ kata Yohanes, yang
oleh teman-temannya dipanggil
Jhon.
“Saya tidak ingin mandi. Lebih baik saya berburu
rusa atau babi hutan daripada mandi
pagi-pagi begini,” kata Jhon melanjutkan, sambil terus masuk ke hutan mengikuti
jalan setapak di sebelah kanan tempatnya berdiri.
“Kaka, saya ikut,” kata seorang yang usianya
lebih muda dari Jhon. Dialah Yosua,
prajurit termuda diantara mereka. Mereka berdua hilang lenyap ditelan belantara
Kemabu.
Tidak lama kemudian, John dan Yosua kembali
dengan memikul seekor babi hutan.
“Ayo kita pulang, terlalu lama kita di sungai.
Ingat, pukul 10.00 nanti kan ada upacara bendera.”
Tidak susah mengambil beberapa bahan makan untuk
hidup di tengah hutan pusaka miliknya. Supermarket alami. Semua telah tersedia.
“Benar... kitong jalan sudah, sudah jam 09.00 ini,”
Yosua menambahkan, tangannya terus mengusap-usap jam tangan hasil rampasan
ketika berperang beberapa bulan yang lalu.
Merekapun segera menyimpan bawaan mereka, dan segera pergi meninggalkan sungai Kemabu. Keadaan menjadi sepi kembali. Kelompok
prajurit OPM tersebut menelusuri jalan setapak itu, dan akhirnya sampailah
mereka.
Di tempat yang agak tinggi, di bawah kaki gunung
Gergaji, terlihat beberaapa gubuk berdiri kokoh. Ada 5 gubuk. Dua yang lainnya
berukuran lebih kecil dari tiga yang lainnya.
Di depannya terbentang halaman yang tidak begitu luas, dengan tiang benderanya yang menjulang tinggi. Di pos
penjagaan di pintu masuk
terlihat beberapa oarang. Di halaman tersebut, terlihat beberapa orang sedang
berlatih mengerek bendera.
Mereka sedang berlatih upacara bendera. Rombongan tersebut langsung menuju biliknya masing-masing untuk
mempersipkan diri guna mengikuti upacara bendera.
***
Waktu menunjukkan pukul 10.00 WP(Waktu Papua).
Lonceng pun berbunyi memecah kesunyian pagi. Segera semua penghuni markas
Tentara Nasional Papua, wilayah IV, Puncak Jaya, sektor kiri membentuk barisannya. Dari bilik luar, keluarlah seorang pemuda
setengah baya. Langkahnya tegak. Matanya merah bagai rajawali. Sorot matanya
menakutkan. Berpakaian lengkap, bak seorang komandan. Dialah Pieter Sanggamuni,
pimpinan Markas OPM wilayah IV, Puncak Jaya.
“Siap...Grak!” Pieter menyiapkan anak buahnya
setelah memasuki lapangan upacara.
Rangkaian upacara bendera pun berlangsung.
Barisan penggerek bendera masuk ke dalam
lapangan. Lagu kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua pun bergemalah. Berlahan...
Sang Bintang Kejora pun berkibar, melambai-lambai ditiup angin pagi. Upacara
berlangsung hikmad. Beberapa diantara mereka menitikkan air mata.
Tibalah saatnya sang pembina upacara, Pieter
Sanggamuni memberikan pesan singkatnya.
“Merdeka!... “ teriaknya mengaawali sambutannya.
Dan spontan teriakannya disambut balik dengan teriakan yang sama dari semua
peserta upacara.\
“Merdeka!”
“Saaudara- saudara, kita semua tahu, bagaimana
dahulu, kita telah menjadi sebuah negara yang merdeka."
Dan dengan singkat, Sanggamuni pidato dengan berapi-api.
"Maka daripada itu saudaraa-saudaraku... pagi ini
ingin saya tegaskan lagi dasar perjuangan kita. Bahwa dasar perjuangan kita
adalah untuk mengembalikan kemerdekaan yang dulu sudah ada. Boleh kita membenci
bangsa Indonesia, tetapi bencilah mereka karena tindakannya, karena struktur dan sistemnya yang menjajah, bukan karena
mereka berbeda ras dengan kita.
“Sekali lagi saudara-saudara, bencilah Indonesia,
karena sistem dan strukturnya yang menjajah dan menghancurkan harapan akan
kehidupan kita ke depan. Semua itu berdampak pada tindakan-tindakan rakusnya
atas tanah air pusaka kita tanpa memedulikan orang Papua di atas sejarah, ratap
dan tangis derita, itulah yang kita benci, bukan orang-orang Indonesianya.
Semoga perjuangan kita berhasil. Kobarkan semangat juangmu. Tunjukanlah
keparkasaanmu. Merdeka!”, teriaknya mengakhiri pidatonya pagi itu.
Spontan semua hadirin menyambutnya dengan
meneriakkan kata merdeka. Upacara ditutup dengan doa dan berakhirlah sudah
upacara bendera pagi itu.
(bersambung...)
0 Komentar