Kehadiran Perusahan Kelapa Sawit Menjadi Ancaman Bagi Masyarakat Nabire

(Sebuah Potret Perusahaan Sawit di Kampung Wami Distrik Yaur dan Yaro Kabupaten Nabire)

Oleh: Santon Tekege

Tampak Rumahdi areal perusahaan kelapa sawit yang terendam air- Doc. Tino Hanebora

Kehadiran perusahan kelapa sawit merupakan suatu sistim ekonomi yang menerapkan prinsip kebebasan dalam memajukan di bidang ekonomi. Artinya, dengan bebas ia memilih dan mengembangkan modalnya, baik modal finansial, modal fisik maupun modal manusiawi demi keutungan yang besar untuk pengembangan perusahannya, dan kesejahteraan yang dinikmati bagi sebanyak mungkin orang tetapi juga segelintir orang.

Dengan perkataan lain bahwa perusahan kelapa sawit merupakan bagian dari kapitalisme yang mengedepankan keuntungan di bidang ekonomi. Kehadiran Perusahan ini memiliki dampak positif juga untuk pemberdayaan ekonomi rakyat di Kabupaten Nabire.

Tentunya Pembukaan lahan kelapa sawit ini dibangun untuk membangun kesejahteraan umum dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat. Dengan kehadiran perusahan ini rencananya akan memproduksi minyak goreng untuk dikonsumsi banyak orang.

Perusahan kelapa sawit kampung ini, rencananya akan beroperasi sebagian tanah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Nabire. Dengan demikian kesejahteraannya dapat dirasakan untuk masyarakat kecil di Kabupaten Nabire, termasuk masyarakat setempat. Maka itu kita perlu mengakui atas kehadiran Perusahan Kelapa Sawit di Kabupaten Nabire Papua.

Kehadiran perusahan Kelapa Sawit Nabire memiliki dampat negatif. Masyarakat setempat merasa kehilangan pohon dan lahannya untuk pembangunan PT. Perusahan Sawit di Nabire. Perusahan Kelapa Sawit ini sedang dan telah digunakan 2 hektar hutan untuk pembibitan pohon kelapa sawit dan yang sudah dikoker berjumlah 2 juta pohon kelapa sawit di Kampung Wami Distrik Yaro Kabupaten Nabire. Selanjutnya PT. Perusahan Kelapa Sawit akan membuka lahan sekitar 32 hektar untuk penanaman 2 juta Pohon kelapa sawit ini.

Potret Realitas

Wilayah Distrik Yaro dan Distrik Yaur memiliki 40 ribu hektar hutan yang sangat luas. Menurut Pastor Dekan Dekenat Teluk Cenderawasih Nabire, bahwa kedua distrik ini akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dengan luasnya 17.000 hektar hutan, sehingga perlu dikritisi akan perusahanan ini walaupun tujuannya baik. Tetapi menurut Kepala Suku (NN) di Kampung Ororodo Yaro I bahwa perusahan akan menggunakan 32 ribu hektar hutan untuk Perusahan Kelapa Sawit di Wami hingga Yaro.

Sementara masyarakat setempat menggantungkan hidupnya dari pengelolahan kebun dan hasil berburu binatang di hutan, namun kini perusahaan itu masuk, seluruh hutan akan ditebang; rawa sagu pun digusur dan diganti dengan pohon kelapa sawit. Berbagai jenis binatang yang hidup di hutan seperti babi, kasuari, berbagai jenis burung lain, ular, tikus tanah, kuskus pohon telah dan akan hilang dimusnahkan semua oleh Perusahan.

Keadaan ini terus akan terjadi secara perlahan dan meluas ke seluruh wilayah Distrik Yaro dan Distrik Yaur Kabupaten Nabire. Di wilayah itu, masih ada sebagian rawa sagu dan kebun yang dimiliki oleh masyarakat Wami dan Yaro masih luas namun akan digusur untuk penanaman kelapa sawit.

Masyarakat asli setempat dicoba berdagang sebagai sumber hidup, dan sebagai pengganti ketergantungan dari alam dan hasil hutan melalui membuka lahan dan hasilnya di jual di Pasar Kota Nabire.

Kata seorang bapak (NN), kami peroleh hasilnya tidak melebihi harga perdagangan pasar. Kami tidak dapat keuntungan yang besar untuk kebutuhan ekonomi keluarga dan pendidikan anak kami. Walau hasil jualan sedikit tetapi kami mampu bertahan hidup dan bisa membiayai anak sekolah dalam keluarga kami masing-masing di Kampung Wami Distrik Yaro.

Namun kini hutan kami akan digunakan oleh PT. Perusahan Sawit di Wami Distrik Yaro dan apakah PT. Perusahan Kelapa Sawit akan memberdayakan ekonomi kami di sini? Apakah PT. Perusahan kelapa Sawit itu, dapat membiayai anak-anak sekolah dalam setiap keluarga untuk beberapa generasi ke depan? Itulah pertanyaan yang datang dari seorang bapak, belum lama ini. Walaupun ada uang, tapi tidak bisa tahan lama.

Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terbiasa dengan hasil berdagang. Sekarang ini susah untuk menggantungkan hidup dari hasil berdagang. Pemerintah Kabupaten Nabire tidak punya peraturan daerah tentang tanah dan pengelolahan sumber daya alam. Sehingga orang kelola sumber daya alam dengan sesuka hati, tanpa ada penjelasan dari pihak pemerintah. 

Selama ini pemerintah juga bersikap diskriminatif, bahwa semua lahan yang jadi areal permukiman transmigrasi yang dihuni warga Suku Jawa dll. semuanya memiliki sertifikat, sementara orang asli Papua tidak ada sertifikat. Pertanyaannya, mengapa demikian?

Masyarakat juga tolak Dinas Kehutanan masuk ke kampung-kampung untuk keperluan apapun. Karena pihak kehutanan masuk pasti saja kemudian perusahaan masuk beroperasi. Dengan situasi demikian, diperkirakan bahwa kedepan akan terjadi konflik kepemilikan tanah antara warga asli setempat dengan: warga pendatang, perusahaan, pemerintah dan warga transmigrasi. Semua lahan yang akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan permukiman transmigrasi tidak pernah dibayar hingga pada Desember 2011.

Ancaman bagi Orang Asli Setempat di Kabupaten Nabire

Pertama, aspek Sosial-Budaya.

Sejak dahulu orang setempat hidupnya sangat tergantung dari kabaikan alam. Mental masyarakat Yaro dan Wami di Nabire adalah Peramu dan Petani berkebun. Mereka bukanlah masyarakat berladang atau bercocok tanam. Mereka menjadikan alam sebagai ‘mama’ yang memberikan kehidupan.

Alam Yaro dan Wami yang terkandung Pohon-pohon, sagu, burung, kuskus, babi hutan, ikan di kali dan lain-lain adalah sumber kehidupan bagi mereka. Lagi pula mereka membangun relasi dengan alam melalui ritus-ritus dalam budaya mereka.

Mereka juga mengalami dan merasakan bahwa dirinya berasal dari budaya (alam). Relasi manusia dengan alam tidak bisa dilepaskan. Dari relasi yang dibangun, tentu diwariskan juga sejumlah norma-norma adat. Maka ditekankan agar aspek solidaritas dan rekonsiliasi dengan alam senantiasa dihidupkan.

Namun kini yang terjadi justru sebaliknya. Mereka dihadapkan pada peralihan pola hidup, yakni dari peramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat. Di sini secara budaya mereka mengalami pergeseran atau terjadi ‘transisi budaya’ yang membutuhkan sebuah proses yang lama.

Dosen Pasca-Sarjana Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia Hariadi Kartodihardjo, S.Pt belum lama ini mengatakan, “kegagalan masyarakat asli Papua bercocok tanam kelapa sawit disebabkan karena mereka mengalami lompatan kultur dalam proses budidaya dan produksi tanaman perkebunan. Lompatan kultur itu memperlemah kelembagaan masyarakat dan mengancam kemandirian mereka.

Harus diakui, dalam dimensi investasi, penguatan sosial masyarakat menurutnya kerap tidak mendapat perhatian. Yang menjadi fokus utama adalah agregat pertumbuhan investasi dan laju modal. ”Kemajuan ekonomi berbasis komunitas tidak menjadi perhatian karena, memang, basis kultural kerap berlawanan dengan pola perkebunan yang orientasinya produk masal” atau keuntungan besar-besaran akan dirinya sendiri Pemilik Perusahan itu.

Kedua, aspek Sosial-Ekonomi.

Masyarakat sendiri kesejahteraannya belum terjamin baik. Salah satunya mental mereka harus diubah. Kenapa?

Salah satu pengaruhnya adalah dengan datangnya Kelapa Sawit. Kehidupan ekonomi mereka kurang tercukupi. Dari pihak perusahaan kurang memahami karakter orang Wami dan Yaro. Belum melakukan pendekatan budaya.

Masyarakat Wami dan Yaro yang tadinya mental peramu dan bertani/berkebun kini tidak jelas. Akhirnya harapan dan kenyataannya sulit ditemukan. Artinya masyarakat ragu-ragu: Apakah Perusahan Kelapa Sawit akan mensejahterahkan masyarakat setempat? Walaupun ada sebagian Pekerja masyarakat sukses karena adanya Perusahan Sawit di Nabire.

Seorang tokoh Pemuda sekaligus aktivis di Nabire (Martinus Pekei), belum lama ini mengatakan, “sebenarnya prospek ekonomis dari perkebunan kelapa sawit cukup menjanjikan. Namun realita memperlihatkan bahwa Perusahan Kelapa Sawit di kabupaten lain di Papua sangat merugikan masyarakat setempat sehingga dapat ditolak Perusahan Sawit dengan tegasnya.

Ketiga, aspek Sosial-Politik.

Masyarakat yang menjadikan lahan Yaro dan Wami sebagai mama tentu tidak diberikan begitu saja kepada para penguasa dan kapitalis. Masyarakat asli enggan menyerahkan tanah mereka untuk diubah menjadi perkebunan dengan pola kontrak bahkan sebagian masyarakat di Wami dan Yaro menolak. ”Namun, dibawa terror dan takut dicap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), terpaksa menyerahkannya. Maka dibawa tekanan Polisi, 4 hektar hutan dibuka untuk pembibitan pohon kelapa Sawit, pohon-pohon berjenis besi dan kayu ditebang.

Hutan kayu yang sebelumnya menjadi basis hidup mereka dilenyapkan dan akan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi pangan seperti umbi-umbian dan sayur-mayur akan mulai sulit dilakukan, dan binatang buruan sulit didapat. Tanpa mempertimbangkan dampak-dampak negatif, Pemerintah mengiayakan untuk membangun perkebunan kelapa sawit dan dibuka lahan yang lebih besar di Kampung Wami dan Yaro I dan II di Dsitrik Yaro dan Distrik Wanggar sekitarnya di  Kabupaten Nabire.

Pemerintah dalam hal ini, dapat dikatakan kurang peka terhadap masyarakat setempat dengan merugikan hutan dan lahan sebagai kehidupan masyarakat setempat. Para kapitalis juga kini berusaha untuk mencari keuntungan. Pemerintah Kabupaten Nabire tidak melihat model pemberdayaan ekonomi masyarakat yang baik demi kesejahteraan bersama dan peningkatan ekonomi rakyat setempat.

Sebuah Tinjauan Etika

Dengan melihat masalah diatas maka dari sikap umum etika bisnis global dapat dilihat bahwa kapitalisme sebagai sistim ekonomi global secara moral bisa dipertanggungjawabkan bila berpihak kepada yang marginal, baik alam dan sesama. Keberpihakannya akan menjadi nyata apabila para kapitalis atau penguasa perusahaan berpihak kepada yang marginal.

Pertama, mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia khususnya bagi mereka yang berkekurangan. Perlu ada prioritas-prioritas, tidak sekedar mengejar keuntungan-keuntungan saja. Kedua, mampu menciptakan lapangan pekerjaan khususnya bagi mereka yang menganggur, baik pengangguran terbuka maupun mereka yang bekerja hanya paruh waktu.

Ketiga, mampu menjembatangi kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar dengan melakukan program-program pemberdayaan dan pendampingan. Keempat, mampu menjamin terlaksananya program berkelanjutan di mana generasi sekarang ini tidak mewariskan persoalan-persoalan yang membebani generasi mendatang dengan usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka pada masa kini dan masa yang akan datang.

Kelima, mampu  meminimalisir kerusakan ekosistim yang sudah semakin parah, mengingat salah satu ‘perusak’ ekosistim adalah sistim ekonomi kapitalistik, yang sangat menekankan pada pembangunan dan perkembangan ekonomi yang tinggi. Keenam, mampu membela mereka yang marginal, dengan program-program subsidi dan pendidikan, kesehatan dan perumahan agar mereka dibebaskan dari proses marginalisasi.

Ketujuh, mempelajari budaya setempat dan menganalisanya. Kemudian saling memberdayakan dalam sejumlah hal. Dan Terakhir, mampu sungguh-sungguh berorientasi pada stakeholder benefit agar jangan ada yang dikalahkan atau dikorbankan.

Selain beberapa hal yang ditekankan itu, dalam buku: Moral (Ekonomi) dan Masalahnya, Dr. Al Purwa Hadi Wardoyo, MSF  juga mengungkapkan bahwa “perlu dikembangkan sistim ekonomi campuran, bukan sistim ekonomi komando, dan sistim ekonomi kapitalis.

Sistim ekonomi campuran itu lebih memungkinkan warga masyarakat berkembang baik sebagai individu maupun makluk sosial. Sementara pada sistim ekonomi kapitalis sangat berideologi liberalisme, yang menjunjung tinggi kebebasan individu. Demikianpun ekonomi komando, yang memegang semuanya dari yang berkuasa atau yang dikomandokan dari atas.

Ini secara moral tidak dibenarkan. Dari segi moral, sekurang-kurangnya secara teoritis sistim ekonomi campuran ini lebih diterima, karena sistim ini lebih memungkinkan warga masyarakat yang berkembang baik sebagai individu maupun sebagai makluk sosial”.

Keprihatinan Gereja di Papua

Maraknya dengan berbagai masalah yang ada di Papua kini gereja pun turut prihatin terhadap umatnya. Menaruh fokus keprihatinan pada kondisi manusia yang terabaikan, dan tentu saja juga nasib para buruhnya. Tampilnya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama, pertanian. Tetapi, para buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas jatuh dalam kemiskinan struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat keadilan dalam upah dan perlakuan.

Ensiklik Rerum Novarum dalam Ajaran Social Gereja (ASG) merupakan ensiklik pertama yang menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat dari prinsip keadilan universal.  Maka dalam pemikiran ensiklik ini perlu menampilkan tanggapan kita atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas martabat manusia.

Promosi martabat manusia lewat keadilan upah pekerja, yang dimaksud adalah hak-hak buruh; perlu mengangkat konsep keadilan dalam konteks pengertian hukum kodrat; perlu dibangun persaudaraan antara kaya dan miskin untuk melawan kemiskinan (melawan gagasan dialektis Marxis); menciptakan kesejahteraan umum; inilah tugas kita dalam membangun keadilan sosial.

Berdasarkan refleksi ini, jika manusia dapat merugikan dan lingkungannya merusak demi kepentingan semata, maka disini melalui ASG sangat menolak kepada siapa saja yang dapat merugikan martabat manusia dan lingkungan sekitarnya.

Berkaitan dengan perusahaan Kelapa sawit jika berpihak orang lokal, maka menolak solusi komunisme yang menghilangkan hak-hak pribadi. Juga sekaligus mengkritik persaingan kapitalisme sebagai yang menghancurkan dirinya sendiri dan hutan serta lingkungan sekitarnya.

Dikatakan bahwa ada jurang sangat hebat antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Kemiskinan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah produk dari sistem tata dunia yang tidak adil. Maka kapitalis dan penguasa (pejabat pemerintahan) perlu mengedepankan aspek keadilan dan keseimbangan ekosistem dalam melindungi bahkan menata manusia dan alam.

Jika ini tidak dilakukan maka sejumlah ketimpangan sosial tetap terjadi pula bahkan merugikan harkat dan martabat manusia di Papua melalui pendekatan perusahan-perusahan termasuk Perusahan Kelapa Sawit di seluruh tanah Papua.

Sebuah Aksi Bersama

Membangun solidaritas untuk berpartisipatif yang didasarkan pada ekologi merupakan perwujudan  beberapa wejangan moral diatas ini. Untuk itu, kita semua dipanggil untuk ikut serta mewujudkan kembali keselamatan, kebahagiaan yang belum dirasakan sepenuhnya oleh sesama. Kita dipanggil untuk meminimalisir masalah perusahan dan buruh, juga pengrusakan lingkungan/hutan dan masyarakat setempat yang akhirnya termarginalkan itu.

Dalam hal ini kita mesti memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dan berjuang untuk membangun kembali relasi harmonis dengan Allah, sesama dan alam semesta. Di sini sekaligus kita ikut ambil bagian dalam karya Allah yang menyelamatkan isi alam semesta ini.

Kita bersama yang berkehendak baik dipanggil untuk membangun kembali eksistensi Papua, khususnya Nabire yang sebagian besar lahan dipakai oleh perusahaan kelapa sawit. Maka itu, perlu ada tindakan kongkrit untuk mengimplementasikan apa yang dianalisa dan direfleksikan dari masalah di atas ini.

Perlunya diadakan berbagai kegiatan untuk meniadakan Perusahan Kelawa Sawit sebagaimana kita berperan sehingga penguasa dan kapitalis menata kembali kebijakan yang baik dan mewujudnyatakan di atas ajaran iman agamanya dan usahanya dapat mengedepankan moral (ekonomi) bukan ekonomi semata. Bila perlu PT. Nabire Baru yang akan membuka Perusahan Kelapa Sawit ditiadakan saja dari Kampung Wami dan Yaro Kabupaten Nabire-Papua.

Agar masalah dapat diatasi secara nyata dan terprogram, maka diusulkan kepada pemerintah (Propinsi dan Daerah), LSM atau lembaga agama-agama atau lembaga/organisasi lain, dan semua pihak yang peduli akan realita ini perlu merumuskan bentuk penolakan Perusahan Kelapa Sawit di Nabire.

(Penulis, Alumnus STFT-Timur Abepura)

Posting Komentar

0 Komentar