Ko’Sapa, Denpasar— Di berbagai belahan muka
bumi ini, memperjuangkan hak yang di rampas tidaklah mudah. Tanpa perjuangan hak
yang di rampas dengan berbagai cara dan betuk itu tidak akan datang dengan
sendirinya. Walaupun dalam memperjuangkan hak, sering kali nyawa menjadi
taruhannya. Namun jika hak itu tidak di perjuangkan, maka bersiaplah menjadi
manusia yang tertindas dan mati.
foto; https://www.facebook.com/WorldCultureForum |
Dalam Simposium Membangkitkan Kembali Kebudayaan untuk Keberlanjutan
Desa, World Culture Forum 2016 di Nusa Dua Bali
Convention Center (11/10) Aleta Baun, Kepala Desa Mollo, Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mengisahkan
perjuangannya untuk memperoleh hak masyarakat desa Mollo yang di kuasai oleh
beberapa perusahaan tambang.
Saya Aleta Baun. Ibu dari tiga
anak. Perempuan adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT).
Mollo merupakan salah satu kawasan paling kering
di Indonesia. Makanan pokok kami Jagung. Sebagian besar kami bertani. Menanam
jagung, ubi, sorgum, padi, sayuran, beternak– kuda, babi, sapi dan ayam.
Nenek moyang kami mengajarkan hidup bersama alam,
karena tubuh alam bagaikan tubuh manusia.
Fatu, nasi, noel, afu amsan a’fatif neu monit
mansian. Artinya; batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia.
Tapi sejak lama, alam kami—lahan, hutan, sumber
air, batu—mendapatkan ancaman sehingga mempengaruhi kehidupan kami.
Kebun dan hutan adat kami banyak diubah menjadi
hutan milik negara. Akibatnya banyak mata air yang dangkal dan hilang. Banyak
ternak tak bisa lagi merumput dan minum. Pohon-pohon hutan ditebas.
Ditanami mahoni, jati, akasia dan gemilina. Lebih seragam.
Lahan kami tak hanya menyempit. Kayu bakar juga
susah dicari, pun kayu untuk pagar kebun dan bertani. Status hutan adat dibuat
menjadi kabur. Lantas diklaim menjadi hutan negara.
Pada beberapa kasus, masyarakat didorong menebang
hutan adatnya. Kemudian ditanami tanaman yang seragam, atau jenis baru, lantas
diubah statusnya menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Pada 1990-an, tanpa bertanya kepada kami,
pemerintah juga mengeluarkan izin-izin pertambangan yang mengijinkan perusahaan
membongkar gunung-gunung batu.
Mereka adalah PT So’e Indah Marmer dan PT Karya
Asta Alam yang mendapat izin menambang Fatu Naususu–Anjaf di Fatukoto.
Sementara PT Setia Pramesti mendapat konsesi
untuk batu Nua Mollo di Ajobaki.
PT Semesta Alam Marmer mendapatkan gunung batu
Naetapan di Desa Tunua.
PT Sagared Mining diberikan konsesi tambang untuk
batu Fatumnut, dan PT Teja Sekawan mendapat izin untuk menambang Fatulik dan
Fatuob di Fatumnasi–Kuanoel.
Kerusakan alam telah berdampak terhadap tubuh
manusia, perempuan, laki-laki dan anak-anak, termasuk budaya kami.
Kami saling bermusuhan antar saudara, bapak dan
anak, lahan-lahan pertanian longsor, perempuan dan anak-anak sakit.
Hal itu membuat kami tak bisa tinggal diam.
Tambang-tambang itu membongkar gunung batu keramat: Naususu, ibu dari
gunung-gunung batu–yang mana nama-nama marga kami berasal.
Saya anak seorang Amaf. Tapi saya perempuan.
Menurut adat, saya tidak punya hak untuk bersuara atau menjadi pemimpin. Tapi
saya tak bisa tinggal diam. Saya memimpin perjuangan menolak tambang.
Perempuan menghadapi banyak tantangan dan ancaman
saat berjuang melawan perusakan alam oleh pemerintah dan perusahaan, termasuk
saya.
Saya dianggap sebagai pelacur karena sering
berada di luar rumah, siang maupun malam untuk melakukan pengorganisasian.
Saya mendapat teror dari aparat keamanan. Mereka
mengancam saya akan ditangkap dan dipenjara karena dianggap menggangu program
pembangunan dari pemerintah.
Bagi pemerintah, tambang marmer akan mendatangkan
pendapatan daerah.
Saya dan perempuan lain juga dipukul oleh preman
dari perusahaan tambang. Kekerasan itu dilakukan di rumah, juga di pengadilan
saat kami ajukan gugatan menutup tambang.
Saya dibacok dengan parang, dipukul, dan diancam
akan dibunuh, saat pulang ke rumah malam hari. Padahal saya pulang ke rumah
untuk menyusui bayi saya yang berumur dua bulan.
Satu minggu setelah itu, ada ancaman lagi dari
pekerja tambang, rumah saya dikepung, sehingga saya tidak bisa masuk rumah.
Saya harus lari ke hutan membawa bayi saya, dan
berpisah dengan suami dan dua anak saya yang lain selama enam bulan.
Keluarga saya juga mendapat kekerasan. Anak
kedua, laki-laki, mendapat lemparan batu di kepala sampai bocor. Anak-anak
tidak nyaman bersekolah, belajar di kota, sehingga harus bersekolah di kampung.
Kami ditangkap dan dipenjara. Di tambang Faut
Lik, laki-lak ditangkap dan dipenjara 8 bulan. Di tambang batu
Naitapan, 20 orang perempuan dan laki-laki ditangkap dan dipenjara selama 20
hari.
Saya dan perempuan yang berjuang tidak bisa ke
pasar karena dihadang preman dan mengancam memukuli perempuan.
Kami, laki-laki dan perempuan harus berjuang
untuk menyelamatkan tubuh kami, tubuh alam, adat kami.
Adat istiadat merupakan senjata kami berjuang,
sebab itu yang mengikat kami dengan nenek moyang, dengan alam.
Banyak langkah yang kami lakukan untuk mengusir
tambang dari tanah kami. Dan itu butuh energi dan waktu yang panjang. Sekitar
13 tahun.
Banyak pelajaran yang kami dapat dari perjuangan
tersebut. Pengorganisasian dilakukan untuk mencapai tujuan yang sama.
Dukungan keluarga sangat penting. Laki-laki dan
perempuan harus bekerjasama. Saling menghargai dan menghormati. Kekuatan harus
disatukan dalam berbagi peran melawan tambang.
Kami melakukan berbagai strategi. Termasuk
menghidupkan ritual-ritual adat, berdoa di gereja, membuat tim intel kampung,
konsolidasi, melakukan demonstrasi–dan segala cara agar tambang tidak
beroperasi.
Termasuk bekerjasama dengan kelompok lain, LSM di
lokal maupun nasional, gereja dan kelompok agama, kelompok mahasiswa, media
lokal dan nasional.
Kami juga melakukan diskusi-diskusi tentang
filosofi hubungan manusia dengan bumi, dimana bumi dilambangkan sebagai tubuh
manusia. Dan kami menang, satu persatu tambang yang merusak itu kami tutup.
Tapi kemenangan itu tak cukup. Tantangan
berikutnya adalah bagaimana memulihkan alam yang rusak, dan berpikir jauh ke
depan untuk memilih ekonomi yang berkelanjutan.
Kami berpikir keras untuk menemukan caranya. Kami
membuat diskusi dengan tokoh adat dengan anak muda, kami membuat ritual.
Kami memutuskan sikap untuk menolak ekonomi yang
merusak alam, merusak adat kami. Kami harus menata produksi dan konsumsi kami.
Dalam sebuah pertemuan adat, kami mengikrarkan
hanya akan menjual apa yang bisa kami buat–produksi. Kami tak akan menjual
lahan, sungai, hutan gunung, air dan laut.
Tiap dua tahun kami berkumpul di bawah batu
Naususu dan mengadakan Festival Ningkam Haumeni.
Pada festival itu kami merayakan perjuangan kami
dan bertukar pengalaman dengan warga dari berbagai kampung di kabupetan TTS (Timor
Tengah Selatan).
Kami membentuk kelompok perempuan penenun, dan
kelompok pertanian organik serta kelompok ternak.
Kami melakukan penghijauan di sekitar sumber air
dengan tanaman asli, dan membangun lumbung-lumbung pangan.
Perjuangan kami masih banyak, termasuk memperluas
hutan perlindungan mata-mata air.
Dua tahun lalu, rakyat berhasil memperjuangkan
saya duduk di DPRD, mewakili mereka di provinsi. Peran ini membuat tantangan
yang kami hadapi lebih besar lagi.
Apalagi Provinsi NTT dan wilayah lain di
Indonesia, kini menghadapi dampak perubahan iklim yang membuat kami makin sulit
memprediksi waktu tanam, dan mempengaruhi ketersediaan pangan kami.
Tapi apapun bentuknya tantangan itu, adat
istiadat kami mengajarkan untuk memperlakukan alam seperti memperlakukan tubuh
kami.
"Oleh karenanya pilihan ekonomi: hanya menjual apa
yang bisa kami produksi, tak bisa lagi ditawar-tawar. Dan sebagai perempuan
adat Mollo, saya juga mendorong kita semua melakukan hal yang sama," ujar Aleta Baun mengakhiri kisah perjuangannya.
(Pace Ko’Sapa)
(Pace Ko’Sapa)
0 Komentar