![]() |
Bagi orang Asmat, sungai dan rawa adalah basis dan nadi kehidupan mereka.Foto; KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO |
SUARA mesin tempel yang memantul pada deretan pepohonan
mengiringi sepanjang perjalanan di sungai yang membelah hutan rawa.
Hanya melalui jalur sungai itulah warga Asmat di Papua dapat bepergian
dari Agats menuju Atjs, atau ke wilayah lain seperti Jinak, hingga ke
Kampung Karbis dan Burbis di Distrik Suator.
Ratusan kampung yang
tersebar di kawasan yang didominasi rawa berlumpur itu dihubungkan oleh
sungai-sungai besar seperti Best, Sirets, dan Asewets. Sungai, menurut
Rene Wassing dalam Asmat Art, adalah jantung transportasi bagi warga
Asmat.
Jaringan sungai itu saling berkait karena ada ribuan
sungai kecil yang menembusi lebatnya hutan bakau, sagu, dan kayu besi.
Jaringan sungai itu juga menjadi jalan utama bagi warga Asmat untuk
menuju ke kolam-kolam di tengah hutan tempat ikan-ikan rawa seperti
mujair, gurami, lele, dan arwana, berkembang biak.
Selain menjadi
sarana utama mobilitas warga, sungai bagi warga Asmat adalah halaman
depan dan sumber kehidupan mereka. Di rawa-rawa tepi sungai itulah orang
Asmat mendirikan kampung mereka. Rumah mereka ditata sedemikian rupa
dengan menempatkan sungai sebagai jalur utama untuk masuk dan keluar
perkampungan. Untuk menghubungkan antar-rumah, dibuatlah jaringan jalan
yang terbuat dari papan dengan tiang-tiang penyangga.
Bagi warga
dari luar Asmat, fakta itu dengan mudah mengantar mereka pada kesimpulan
bahwa bagi orang Asmat, sungai dan rawa adalah basis dan nadi kehidupan
mereka. Ini tidak salah. Namun bagi orang Asmat, sungai memiliki makna
yang lebih dari sekadar sarana.
Dirk A M Smidt dalam pengantar buku Asmat Art,
mengatakan, orang Asmat menempatkan hidup berkebudayaan mereka sebagai
sebuah representasi dari komunikasi antara Yang Hidup dan Dunia Roh.
Antara komunitas yang hidup dengan jiwa para leluhur. Di wilayah yang
didominasi hutan berawa dan jaringan sungai-sungai besar itu, burung,
binatang, bahkan sungai sendiri memiliki jiwa, entitas itu ber-roh.
Dalam konteks itulah, Asmat menurut Dirk, selayaknya dipahami.
Paskalis
Osakat, seorang wowcescuipits atau ahli ukir dari Atjs mengatakan,
sungai adalah jalan bagi roh-roh untuk pergi menuju keabadian. Di tempat
sakral itu tinggal Cessepo, Sang Roh Sungai. Dialah yang menuntun roh
dan jiwa-jiwa menuju ke tempat khusus itu.
Oleh karena itu,
menurut dia, rumah adat Asmat atau biasa disebut jew selalu menghadap ke
sungai. Selain alasan keamanan–karena dulu musuh selalu datang dari
arah sungai sehingga memudah pemantauan–posisi itu diambil juga karena
alasan sikap hormat pada sungai.
Aneka upacara adat yang berpusat
di jew juga menempatkan sungai sebagai media utama saat mereka
memanggil atau mengantar roh leluhur. Bagi orang Asmat, relasi itu
sangat penting karena dalam pemahaman mereka, tanpa kematian tidak ada
kehidupan (Dirk A M Smidt dalam The Asmat: Life, Death and The Ancestors).
Tak
heran, jika orang Asmat, menurut Paskalis Osakat, begitu menghormati
sungai. ”Sampah pun tidak boleh dibuang ke sungai karena itu menunjukkan
sikap tidak hormat,” kata Paskalis.
Pendatang
Namun,
sejak 1980-an ketika arus modernitas masuk dan ribuan pendatang
merangsek ke berbagai pelosok Asmat seiring booming gaharu dan kayu
besi, peran sungai menjadi tidak lebih dari sekadar sarana. Para
pendatang menempatkan sungai sebagai halaman belakang. Sampah mereka
buang seenaknya ke sungai.
Di Agats, sungai-sungai kecil yang
menjadi jalur lalu lintas kota itu sebagian kotor oleh sampah plastik.
Salah satu ciri lain yang menunjukkan keterdesakkan budaya asli Asmat
adalah maraknya penggunaan perahu berbahan serat kaca yang mengandalkan
mesin tempel sebagai tenaga pendorong.
Erick Sarkol, kurator pada
Museum Kebudayaan Asmat, prihatin dengan kondisi itu. Menurut dia,
sebagai bagian dari budaya sungai, perahu tradisional Asmat tidak
semata-mata alat transportasi. ”Perahu Asmat memiliki ukiran yang
menjadi ciri khas pemiliknya. Ukiran di muka perahu berbeda-beda seturut
marga pemiliknya,” katanya.
Ketika warga berpindah menggunakan
perahu tempel, ukiran itu perlahan-lahan sirna. Dampaknya, budaya sungai
pun perlahan-lahan akan dipahami secara artifisial saja, tak lebih dari
sekadar sarana.
Misi yang secara khusus hadir dan menetap sejak
1953 di Asmat berupaya keras mempertahankan pandangan budaya Asmat tadi.
Sejak 1980-an mereka mencoba menghambat laju perubahan itu dengan
menggelar Festival Budaya Asmat. Dalam kegiatan itu digelar perlombaan
membuat perahu serta lomba dayung tradisional.
Awal Oktober lalu,
bahkan digelar pesta perahu di mana puluhan perahu tradisional dibuat
dengan iringan upacara adat sebagaimana dulu dilakukan para leluhur. Itu
mengingatkan kembali pada wuramon, ukiran berbentuk perahu yang
digunakan dalam beberapa upacara khusus untuk mengantarkan jiwa-jiwa
menuju keabadian. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber; http://travel.kompas.com