Selamat Beristirahat Sahabat



Oleh; Constantinopel Ruhukail*



Sebuah perjalanan hidup kadang kala jauh kadang singkat dan penuh dengan suka dan dan duka. Berita duka mencuat di medsos kemarin, 10 desember 2016, tentang berakhirnya perjalanan hidup seorang sahabat orang Papua, George Junus Aditjondro.



Setiap orang Papua yang memulai kariernya sebagai aktivist dan pejuang HAM di era kuatnya pemerintah orde baru yang komunis dan otoriter, terutama di tahun 1978, pasti mengenal dan mengingat siapa itu George Junus Aditjondro dan sikap terjangnya, berbicara lantang dan banyak menulis tentang pelanggaran-pelanggaran HAM baik di Papua, Timor Timor (Timor Leste) dan di bagian lain di Indonesia.



Ia datang berkunjung ke Papua sekitar tahun 1970an sebagai wartawan Majalah Tempo, kemudian berkeputusan untuk hijra dan sementara menetap di Jayapura. Geoge datang bersama istrinya Esty dan Rico putranya yang mungkin ketika itu seumur anak Oridek Ap atau Mozart Ruhukail.



Seperti ditutur oleh kk Pdt. Phil Karel Erari dalam memoirnya kemarin, George Junus Aditjondro bersama John Strand, membangun sebuah lembaga kemanusiaan yang disebut: IRJADISC (Irian Jaya Development Dissemination Centre) didirikan di kompleks Universitas Cenderwasih berpusat di gedung Lembaga Anthropology Universitas Cenderawasih, Abepura. 

Bersama miss Jean Eng, seorang berwarga-negara Jepang yang juga bekerja di lembaga ini, menyebut IRJADISC sebagai suatu information centre tentang pembangunan dan dampak negatifnya terhadap masyarakat adat Papua.


Aktivists HAM dan lingkungan hidup seperti Fien Jarangga, Jojo Rumadas, Cliff Marlesy, De Fretes, Abner Korwa, Liz Hole, serta anggota-anggota Mambesak merupakan anak-anak Papua yang ikut terlibat dalam segala kegiatan yang dijalankan oleh IRJADISC ketika itu, dimana pada waktunya lembaga ini berobah nama dari IRJADISC menjadi YPMD (Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa).



George Aditjondro dikenal oleh kawan-kawannya sebagai seorang pengarang/penulis yang perfectionist yang agak kelewatan. Ia mengecam habis-habisanan pemerintah Indonesia sebagai negara yang membangun nasionalisme Indonesia yang 'semu' dengan menggunakan slogan "untuk persatuan dan kesatuan nasional". Ia mengungkapkan dalam berbagai tulisannya yang mengecam, bagaimana negara Indonesia menyembunyikan semua fakta kejahatannya rapat-rapat, menangkap dan memenjarakan orang-orang yang berjuang untuk membuka ruang demokrasi di Indonesia. Bahkan memburu dan membunuh mereka yang melawan dengan mengangkat senjata bagi suatu keadilan dan kebebasan.



Ia menulis banyak tentang Papua dan Timor Timur, kedua wilayah yang dicaplok dengan menggunakan kekuatan militer untuk tujuan expansi wilayah dan penguasaan terhadap sumber-sumber alam bagi kemakmuran sekelompok orang yang berkuasa.



November 1982, saya bersama George Aditjondro menghadiri sebuah Christian Youth Confrence di Tomohon, Menado, Sulawesi Utara. Ketika itu, pekerjaan dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan Adtjondro di Papua sudah mulai diletakkan dibawah microscope intelijen Indonesia karena hubungan kerjanya dengan berbagai lembaga keagamaan/gereja dan oknum-oknum yang juga dicurigai pemerintah seperti Arnold Ap dan group Mambesak dalam mengangkat soal pelanggaran HAM di Papua.



Buktinya seketika kami berdua tiba kembali di Jayapura pada tanggal 22 november 1982, malam harinya saya ditangkap oleh kopasandha/kopassus dan dipaksa untuk memberikan informasi tentang Mambesak dan apa hubungan dan pekerjaan kami dengan seseorang yang bernama: George Junus Aditjondro.



Ia memang benar-benar ketika itu sangat dicurigai sebagai agent CIA yang berencana untuk menjatuhkan pemerintah orde baru. Semuanya hanya kecurigaan karena ketakutan yang dihadapi oleh negara akan terbongkarnya segala kebejatannya terhadap Hak Asasi Manusia yang diinjak-injak selama ini di tanah Papua.



Itulah sosok seorang George Junus Aditjondro, yang sekali pernah meninggalkan Indonesia di masa kuatnya Suharto, hijra bersama keluarganya ke Australia dan bekerja sebagai dosen tamu di New Castle University.



Ia kembali ke Indonesia sekitar tahun 1999 (?) Setelah pemerintah otoriter Suharto digulingkan oleh peoples power pada tahun 1998 dan ruang demokrasi mulai terbuka.



Tahun 2002, ketika dua serangkai "Clemens dan Wim" menghadiri suatu pertemuan tentang West Papua Human Right yang disponsori oleh Sydney University, mereka bertemu dengan kawan kita George Junus Aditjondro yang juga hadir sebagai pembicara dan banyak bertukar pikiran dengan beliau.


Di tangan kk Wim, George menitipkan sebuah buku karangan/tulisannya yang berjudul: "Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau" terbitan tahun 2000.



Sebuah ungkapan George dalam buku karangannya ini sangat bernilai dalam melihat, menilai dan mengkaji seluruh peristiwa pendudukan militer Indonesia di Timor Timur ketika itu (July 1975) diibaratkan sebagai seorang anak gadis perawan yang diperkosa dan keadilannya dicari di sebuah mahkamah pengadilan .........



George Junus Aditjondro menulis:

Ada ceritera sebuah pengadilan kasus perkosaan. Seorang laki-laki tua tapi masih kuat dituduh telah memperkosa seorang perempuan muda cantik. Hakim dan jaksa adalah laki-laki. Dalam pembelaannya, terdakwa membantah telah memperkosa perempuan muda tersebut.


"Ia tak melawan sama sekali, bahkan ia ikut bergerak. Ia menikmati perbuatan tersebut. Maka karena ia menikmatinya, perbuatan itu bukan perkosaan, bukan?" demikian kata sang arjuna. Kemudian hakim memutuskan bahwa laki-laki itu tidak bersalah karena itu bukanlah perkosaan, melainkan suka sama suka.


Untung itu bukan akhir ceritera. Perempuan tersebut, yakin bahwa ia adalah korban perkosaan, membawa perkara tersebut ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Dia didampingi pengacara dari lebih, dengan hakim seorang perempuan yang lebih mengerti sudut pandang perempuan. Selama pengadilan berlangsung, yang dipenuhi oleh para perempuan, terbukti bahwa mulutnya telah dibungkam dan tangannya diikat. Tidak mengherankan bahwa ia tidak dapat melawan. Korban juga menunjukkan bahwa ia bergerak karena kesakitan selama perbuatan itu berlangsung, bukan menikmati.


Putusan pengadilan adalah mejebloskan terdakwa dalam penjara selama lima tahun, dan kehormatan sang korban dikembalikan.



Ini lah salah satu cara menulis dari seorang George Junus Aditjondoro tentang sebuah negeri kecil - Timor Lorosa'e - yang dipaksa oleh pemerintah Indonesia untuk bergabung dengannya.

Tentu dari semua peristiwa yang terjadi di tanah Papua, Papua juga dipaksa untuk bergabung dengan cara intervensi militer yang membuat Papua tidak mungkin begitu saja menerima segala perlakuan kemanusiaan yang terjadi selama puluhan tahun sejak 55 tahun lalu.



Terimakasih sahabatku, sahabat orang Papua - Geoge Junus Aditjondro - atas segala bakti dan karya-karya besarmu di bidang HAM dan demokrasi bagi orang-orang lemah yang tertindas.


Semoga arwahmu mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan Jesus juruselamat manusia.  Beristirahat lah dengan damai sahabatku dan sahabat kami.

*Constantinopel Ruhukail adalah  sahabat Geoge Junus Aditjondro

Posting Komentar

0 Komentar