Oleh; George Junus Aditjondro
ADA SATU HAL yang mendasar yang
perlu diingat kalau kita hendak berbicara tentang pembangunan Irian Jaya. Apa
itu? Di sini kita tidak berbicara dengan satu propinsi yang dekat dengan
“Pusat” pengambilan keputusan di Indonesia, seperti propinsi-propinsi di Jawa.
Malah sebaliknya, kita berbicara tentang suatu propinsi yang “jauh dari Pusat”.
Jauh, bukan saja dalam arti harafiah, yakni dalam arti geografis atau spatial,
melainkan juga “jauh” dalam arti kultural. Artinya, kultur orang-orang yang
nasibnya ditentukan oleh orang-orang di Pusat itu sangat berbeda dengan kultur
mereka yang menentukan nasib mereka. Ada cultural gap yang sangat besar antara
para penentu dan mereka yang ditentukan nasibnya.
Ada dua hal penting yang tersirat
dalam pernyataan ini. Pertama, ada dua kelompok aktor yang berbeda derajat
kekuasaannya: yang satu menentukan, yang lain ditentukan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan bahwa “orang Pusat” dapat menentukan siapa yang dapat dan siapa
yang tidak dapat menjadi Gubernur Irian Jaya, secara periodik, lima tahun
sekali. Sebaliknya, orang Irian nyaris tidak punya kekuasaan menentukan siapa
yang dapat dan siapa yang tidak dapat menduduki kursi Presiden RI, karena suara
mereka tidak terlalu menentukan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, di
MPR.
Contoh lain yang barangkali
“kurang politis” sifatnya, adalah bahwa orang Pusat dapat mengambil keputusan
bahwa orang Irian harus belajar makan nasi, baik yang dihasilkan oleh
petani-petani Jawa di bumi Irian Jaya maupun yang disuplai Bulog dari propinsi
atau negara lain. Sebaliknya, orang Irian tidak dapat mengambil keputusan bahwa
orang Jakarta harus belajar makan papeda, yang ditokok dari dusun-dusun sagu di
bumi kasuari.
Hal kedua yang tersirat dalam pernyataan
“ada cultural gap yang sangat besar antara para penentu dan mereka yang
ditentukan nasibnya” adalah bahwa ada perbedaan kebudayaan antara mereka yang
punya perbedaan kekuasaan menentukan itu. Konsekuensi asimetri kekuasaan itu
adalah bahwa kebudayaan kedua kelompok aktor itu pun tidak dinilai setara.
Menghadapi asimetri kekuasaan
yang tumpang-tindih dengan asimetri kebudayaan itu, saya usulkan supaya kita
manfaatkan analisis Frantz Fanon untuk mengkaji pemikiran tentang pembangunan
Irian Jaya yang hidup di negara kita. Soalnya, Fanon telah lebih dahulu membuat
suatu kerangka analisis untuk memahami respons-respons kultural para
cendekiawan di negeri-negeri terjajah atau yang baru merdeka, yang saya anggap
penad (relevan) untuk memahami macam-macam respons para cendekiawan Indonesia
(termasuk para cendekiawan Irian Jaya) terhadap kebudayaan dominan di daerah
ini. Dalam kerangka pemikiran Fanon itu, evolusi respons para cendekiawan
bangsa terjajah (atau bangsa yang baru merdeka) itu paralel dengan evolusi
sikap fihak penjajah (atau bekas penjajah) terhadap kebudayaan bangsa yang
didominasinya.1
Sedikit catatan untuk
memperkenalkan sosok Fanon bagi pembaca. Frantz Fanon lahir di Fort-de-France,
ibukota Martinique, sebuah kepulauan di Laut Karibia, Amerika Latin, pada
tanggal 20 Juli 1925. Karena Martinique waktu itu adalah koloni Perancis, maka
sesudah tamat sekolah menengah, anak duane Martinique itu meneruskan studinya
di Perancis. Masa studinya itu diselingi keikutsertaan Fanon dalam Perang Dunia
II sebagai perwira wajib militer Perancis, di mana ia menjalani latihan
kemiliterannya di Aljazair.
Frantz Fanon, foto; http://kentakepage.com |
Sesudah PD II selesai, veteran
perang yang sempat terluka dalam pertempuran dekat tapal batas Swiss itu
mendapat beasiswa untuk kuliah di fakultas kedokteran di Lyons, Perancis. Pada
masa kuliahnya itulah perhatiannya terbagi dua antara ilmu kedokteran dan
ilmu-ilmu humaniora, khususnya filsafat dan sastra. Pada saat itu ia banyak
belajar dari para pemikir Marxis dan eksistensialis Perancis, sambil memperdalam
psikiatri dan bedah syaraf yang dianggapnya paling menjawab dorongan
humanisnya. Di kota Lyons itu, ia secara khusus mempelajari kondisi kejiwaan
para imigran Afrika Utara.
Sesudah menamatkan studi pada
tahun 1951 dengan disertasi tentang penyakit Friedriech, ia pulang sebentar
saja ke negeri asalnya, lalu kembali ke Perancis untuk bekerja pada sebuah
klinik psikiatri bersama seorang imigran Spanyol, Francoise Tosquelles, yang
banyak membantu mengembangkan minat Fanon di bidang terapi sosial. Sesudah
menikah dengan Marie-Josephe (“Josie”) Duble, seorang perempuan Perancis yang
dikenalnya sejak kuliah di Lyons, ia memutuskan untuk bekerja beberapa tahun di
Afrika Utara, sebelum kembali menetap di Martinique.
Namun sejarah menentukan lain.
Pengalaman kerjanya mengepalai suatu rumah sakit jiwa milik Perancis di
Aljazair, membuat dia berpaling seterusnya kepada perjuangan kemerdekaan
Aljazair, sesudah ia menyimpulkan bahwa kolonialisme dan rasialisme merupakan
akar sosial dari berbagai gejala kejiwaan pasien-pasien Arab maupun Perancis
yang pernah dirawatnya.
Walhasil, sampai saat
menghembuskan nafas terakhirnya di sebuah rumah sakit di AS pada tanggal 6
Desember 1961, Fanon menjadi seorang pejuang militan Front Pembebasan Aljazair
(FLN). Kehebatan retorika maupun ketajaman pena Fanon membuat laki-laki Afrika
Hitam itu sering dipercayai mewakili rekan-rekannya mengikuti berbagai kongres
para pe-juang kemerdekaan dan revolusi sosial di Afrika, Asia, dan Karibia.
Perjalanan hidup yang penuh aksi
dan refleksi itulah membuat Fanon menjadi seorang teoretikus revolusi sekaliber
V.I. Lenin, Mao Zedhong, dan Fidel Castro. Dengan satu beda yang utama, yakni Fanon
lebih cenderung menjadi seorang eksistensialis ketimbang Marxis. Dan sebagai pengamat-terlibat
dalam proses dekolonisasi di Afrika, Fanon secara sangat tajam mengecam
penyakit rezim-rezim pascakolonial yang umumnya bercorak partai tunggal,2 suatu
hal yang tak kita temukan pada karya-karya Lenin, Mao, dan Castro. Fanon
jugalah pencipta istilah “Dunia Ketiga” untuk merujuk pada negara-negara Asia,
Afrika, dan Amerika Latin, agar negara-negara yang baru merdeka ini tidak
sekedar meng¬gantungkan diri pada blok Barat (Kapitalis) pimpinan AS maupun
blok Timur (Komunis) pimpinan Uni Soviet.3
Sayangnya, semenjak Orde Baru
berpaling dengan mesra ke blok Barat, pemikiran Fanon praktis tidak mendapat
tempat dalam khazanah ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Juga tidak ketika ayunan
pendulum sebagian akademisi dan aktivis di negeri ini mulai beralih ke kiri, di
mana pemikiran para Marxis orto¬doks, pemikiran mazhab Frankfurt, dan pemikiran
pascamodernis — yang semuanya berakar di dunia akademis Eropa — mulai trendy.4
Marilah kita sekarang kembali ke
kerangka analisis Fanon. Pertama-tama akan saya ringkas observasi Fanon
terhadap strategi-strategi kultural para penjajah menghadapi bangsa jajahannya,
lalu akan saya beberkan observasi Fanon terhadap reaksi para cendekiawan bangsa
terjajah atau bangsa bekas jajahan terhadap strategi-strategi kultural
tersebut.
Foto https://pbs.twimg.com/media/BdPJ0qSIIAAQeBG.jpg |
Menurut Fanon, yang melihat bahwa
penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang rasialis, strategi
kultural yang dianut oleh para penjajah dalam menghadapi kebudayaan bangsa yang
dijajahnya, dapat dibagi dalam tiga tahap. Mula-mula, para penjajah umumnya
menganggap bangsa jajahannya “tidak punya kebudayaan sama sekali”. Lalu, para
penjajah mulai bersedia mengakui bahwa rakyat atau bangsa-bangsa jajahannya
punya kebudayaan, tapi kebudayaan mereka itu lebih rendah ketimbang kebudayaan
sang penjajah. Jadi, dari negasi total bergeser ke strategi kultural yang
menempatkan kebudayaan-kebudayaan lain dalam suatu jenjang hirarki, di mana
kebudayaan si penjajah tetap ditempatkan di anak tangga yang tertinggi yang
patut dijadikan acuan.
Akhirnya, ketika sudah sukar untuk
menempatkan kebudayaan rakyat atau bangsa-bangsa terjajah dalam suatu kerangka
hirarkis, para penjajah mulai mengadopsi faham “kenisbian (relativitas)
kebudayaan”. Dalam strategi kultural yang terakhir ini, kebudayaan kaum
terjajah tetap juga tidak dihargai sebagaimana mestinya, karena dianggap
sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah-ubah dari zaman ke zaman.
Lalu, bagaimana respons para
cendekiawan dari bangsa yang (masih) terjajah menghadapi tiga strategi kultural
yang berbeda-beda itu? Respons mereka dapat dibagi dalam tiga fase, menurut
Fanon. Dalam fase pertama, para cendekiawan bangsa terjajah atau yang baru
merdeka itu menerima fa-ham bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau bahwa
kebudayaan mereka sama sekali tak punya arti. Dilandasi pengakuan itu, mereka
berusaha mengambil-alih kebudayaan sang penjajah secara total. Asimilasi total,
atau unqualified assimilation (“asimilasi tak bersyarat”), meminjam istilah
Fanon.
Selanjutnya, dalam fase kedua, ada
cendekiawan pribumi yang mulai merasa terganggu atas pembuangan, pembasmian,
atau nihilisasi kebudayaan (asli) mereka. Mereka lantas bereaksi secara
bertolak-belakang dari asimilasi total yang dijalankan dalam fase pertama.
Mereka berusaha menghargai kebudayaan mereka yang asli. Namun karena para
cendekiawan pribumi itu sudah lama tercerabut dari akar mereka sendiri, mereka sudah
tidak bisa menghayati kebudayaan mereka dari sudut nilai intrinsik kebudayaan
itu.
Akibatnya, mereka berusaha
menggali sisa-sisa kebudayaan lama untuk diselamatkan, dengan menggunakan
barometer yang dipinjam — tanpa disadari, barangkali — dari kebudayaan dominan
yang sudah mereka internalisasi. Legenda-legenda lama digali kembali, dan
ditafsirkan dengan menggunakan konsep-konsep pinjaman dari kebudayaan baru
tadi. Karena para cendekiawan pribumi itu tidak lain dan tidak bukan adalah
kita sendiri, maka meminjam metafora Fanon, tadinya kita berusaha meludahkan
diri kita ke langit, tetapi sekarang kita terpercik oleh air liur kita sendiri
yang sedang jatuh kembali ke bumi.
Fase ketiga, menurut Fanon,
adalah fase perjuangan. Dalam fase ini, para pejuang kemerdekaan berusaha
menciptakan suatu kebudayaan baru yang revolusioner, dengan mencipta sastra
atau karya budaya apa saja, dengan membuang dikotomi “baru versus lama” serta
“Barat versus asli”. Penciptaan “kebudayaan revolusioner” itu dilakukan dengan
meminjam berbagai unsur secara kritis dan kreatif dari kebudayaan baru
(kebudayaan penjajah) maupun kebudayaan lama (kebudayaan asli), yang diberi
makna baru, yakni pembebasan kaum tertindas dari belenggu penjajahan mereka.
Dalam sebuah karyanya yang lain,
Studies In A Dying Colonialism (New York: Monthly Review Press, 1965),5 Fanon
mengajukan dua contoh kebudayaan revolusioner, yakni cadar dan radio — yang
satu benda budaya asli (pra-penjajahan Perancis) dan yang satu lagi benda
budaya yang diperkenalkan oleh penjajah Perancis. Cadar perempuan Aljazair,
dilihat oleh penjajah Perancis sebagai simbol keterbelakangan dan ketertindasan
perempuan. Makanya, para penjajah berusaha keras menyingkap cadar para perempuan
Aljazair, yang mereka anggap suatu langkah strategis untuk melepaskan para
perempuan pribumi itu dari kekuasaan para laki-laki Aljazair serta komunitas
Aljazair umumnya. Usaha itu kurang berhasil, akibat oposisi yang gencar dari
para perempuan Aljazair dengan dukungan komunitas mereka.
Setelah revolusi, keadaan berubah
secara drastis. Kaum perempuan ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan itu. Mereka
menyingkap cadar mereka, dan dengan wajah cantik mereka yang baru sekarang
terbuka, mereka berusaha menggoda para petugas kolonial Perancis. Selanjutnya
para perempuan Aljazair membantu para pejuang laki-laki dengan meneruskan
informasi yang telah mereka peroleh dari fihak lawan, di samping menerus-kan
senjata kepada para pejuang FLN. Berkat peranan mereka yang revolusioner itu,
para lelaki Aljazair dapat menerima penyingkapan cadar kaum hawa yang semula —
dalam konteks historis sebelumnya — sulit mereka terima.
Tak lama kemudian, para petugas
kolonial Perancis mulai menyadari taktik para perempuan Aljazair yang telah
menyingkapkan cadarnya itu. Maka dilancarkanlah razia-razia terhadap perempuan
pribumi yang tidak bercadar, untuk diinterogasi guna membongkar jaringan
clandestine pendukung FLN di kota. Sebagai reaksi terhadap tindakan tentara
kolonial Perancis itu, para perempuan Aljazair ramai-ramai mengenakan cadar
me-reka kembali, agar kegiatan “bawah tanah” tetap dapat mereka teruskan.
Bahkan dengan cadar dan seluruh busana mereka yang asli, mereka jalankan
tugas-tugas yang lebih berbahaya dengan meliliti granat-granat di sekujur tubuh
mereka, tersembunyi dengan rapi di bawah jubah mereka yang kedodoran.
Akibatnya, para petugas kolonial
Perancis tambah penasaran. Sehingga pada tanggal 13 Mei 1957, aparat keamanan
Perancis menetapkan “hari penyingkapan cadar” secara nasional, dan menyeret
perempuan-perempuan bercadar ke tengah alun-alun untuk disingkap cadar mereka
di depan umum. Namun reaksi ini dihadapi oleh para perempuan pejuang kemerdekaan
Aljazair, dengan semakin menggalakkan “gerakan kembali ke cadar”.6
Contoh benda budaya revolusioner
yang kedua adalah radio. Di masa penjajahan, orang-orang Aljazair memboikot
radio, yang mereka anggap sumber budaya kolonial yang disebarluaskan oleh para
penjajah. Tapi sesudah teknologi yang sama digunakan oleh FLN, mereka mendadak
menjadi begitu gandrung mendengarkan suara radio, walaupun menghadapi risiko
yang tidak ringan (kalau kedapatan oleh aparat keamanan Perancis), sesudah
radio itu menyuarakan propaganda para pejuang kemerdekaan Aljazair di bawah
pimpinan Ben Bella. Berarti, radio telah berubah maknanya dari alat pendukung
kebudayaan penjajah menjadi alat pendukung perjuangan kemerdekaan.
Walhasil, secara skematis,
strategi kultural penjajah dan respons kultural kalangan cendekiawan bangsa
terjajah dapat digambarkan sebagai berikut (lihat SKEMA 1).
Dialektika antara strategi
kultural penjajah dan respons kultural para cendekiawan kaum terjajah, menurut
pengamatan Frantz Fanon di Aljazair dan Afrika Barat.
Sekarang, bagaimana kalau kita
terapkan kerangka analisis Fanon terhadap pemikiran tentang cara membangun
Irian Jaya? Sekedar untuk keperluan analisis, mari kita tempatkan para
cendekiawan non-Irian sebagai “wakil” dari mereka yang mendukung dan mereproduksi
kebudayaan dominan yang dijejalkan kepada orang Irian, di kolom kiri, serta
para cendekiawan Irian, yang harus menghadapi penjejalan kebudayaan dominan
itu, di kolom kanan. Berdasarkan analisis tersebut, apa yang dapat kita lihat?
Menurut hemat saya, ada lima observasi yang dapat dikemukakan. Pertama, secara
de facto, masih ada cendekiawan Indonesia non-Irian yang beranggapan bahwa orang
Irian tidak punya kebudayaan. Buktinya, kasus-kasus pelanggaran hak-hak asasi
manusia (HAM) masih tetap berlangsung secara rutin dan sistematis di Irian Jaya,
tanpa mengundang reaksi nasional seperti kasus Nipah di Madura, Jawa Timur.
Padahal, dibandingkan dengan apa yang sering terjadi di Irian Jaya, kasus Nipah
masih dapat dianggap “sepele”.
Selain itu, organisasi pembela
HAM seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sejak tujuh tahun
terakhir juga punya cabang di Jayapura. Ironisnya, bekas direktur LBH Cabang Jayapura
itu baru-baru telah mendapat sebuah penghargaan sebagai pembela hak-hak asasi
orang Irian. Robert Kennedy Award itu diberikan kepada sang pengacara, walaupun
suara LBH Jayapura — maupun pengurus pusat YLBHI di Jakarta — kurang terdengar
mem¬bela hak-hak asasi orang Irian yang kini tinggal dibela oleh kalangan
gereja7 dan organisasi-organisasi non-pemerintah di luar negeri, seperti
Amnesty International dan Tapol.
Kebungkaman para cendekiawan Indonesia
terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM di Irian Jaya, memang patut dipertanyakan.
Sebab bentuk rasialisme yang paling eksplisit, adalah bilamana anihilasi (pembunuhan)
seseorang dapat dibenarkan atas dasar bahwa orang itu “bukan manusia”, berarti
“tidak punya kebudayaan sama sekali”, yang membuat dia sama saja seperti
sejenis hama di mana tidak ada persoalan moral untuk membunuhnya, seperti
pembunuhan penduduk asli Australia oleh para imigran kulit putih dari Eropa,
hanya demi memperluas padang penggembalaan ternak para imigran.
Pengingkaran keberadaan
kebudayaan penduduk asli, juga dapat digunakan untuk membenarkan
tindakan-tindakan lain untuk melecehkan penduduk asli secara sangat kejam,
walaupun tanpa membunuh mereka. Misalnya, paksaan bersetubuh di depan umum terhadap
dua orang warga desa yang belum resmi menikah di Desa Sewar, Kecamatan Sarmi
(Jayapura), oleh aparat keamanan di sana, yang konon dilatarbelakangi keirian
salah seorang anggota kesatuan itu terhadap laki-laki desa yang berhasil
mempersunting sang primadona desa.8 Paksaan semacam yang terjadi di tahun 1990
di Sarmi itu dapat dibenarkan oleh faham rasialis, bahwa penduduk asli Sarmi
“toh kurang manusianya dibandingkan dengan kita”, suatu bentuk rasialisme yang
tak kalah kejamnya ketimbang pembunuhan secara terang-terangan.
Kedua, sebagian besar cendekiawan
non-Irian masih menganut faham hirarki kebudayaan, di mana kebudayaan-kebudayaan
Irian — yang sesungguhnya sangat majemuk9 — ditempatkan di anak-anak tangga
terbawah. Lihat saja betapa populernya penggambaran tentang orang Dani sebagai
“orang-orang yang nyaris telanjang yang masih hidup di zaman batu”, tanpa
menyadari bahwa para petani di Lembah Balim misalnya, me-miliki budaya
pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan
adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam. Faham hirarki
kebudayaan ini mencapai klimaksnya dalam obsesi pemerintah Orde Baru untuk
dengan berbagai cara, mencopot koteka lelaki pegunungan untuk digantikan dengan
celana, tanpa menyadari bahwa koteka itu sama fungsi dan maknanya dengan celana
bagi orang Indonesia lain.10 Sampai-sampai ukuran keberhasilan suatu program
pembangunan yang tidak langsung berhubungan dengan urusan busana, diukur dari
keberhasilannya meningkatkan persentase pemakai celana di kalangan laki-laki
Balim.
Saya pernah mendengar misalnya,
bagaimana barometer itu di-gunakan oleh seorang Menteri Penerangan RI, ketika
menyambut para penerima Kalpataru dari seluruh Indonesia di tahun 1987. Faham hirarki
kebudayaan itu juga dapat dilihat dari gencarnya kampanye perluasan sawah
transmigran di Irian Jaya, kendati dampak negatifnya terhadap sistim-sistim
pertanian pangan asli Irian sudah banyak dan sering dikemukakan orang. Selain
itu, faham hirarki kebudayaan yang meremehkan kebudayaan yang sudah berakar di
Irian dapat kita lihat dari kurangnya pelibatan gereja-gereja di Irian Jaya,
termasuk serikat-serikat biarawan dan biarawati, dalam perencanaan dan
pengawasan pembangunan di Irian Jaya. Tak cuma itu. Pandangan mencemoohkan
peranan para misionaris di Irian Jaya itu pernah saya dengar keluar dari mulut
seorang pejabat tinggi dalam sebuah sarasehan dengan aktivis lingkungan dari
seluruh Indonesia di Jakarta, tiga tahun lalu.
Ketiga, reaksi “asimilasi tak bersyarat”
yang diamati Fanon di Afrika dan Karibia, juga dijalankan oleh para cendekiawan
Irian yang paling mula mengadopsi kebudayaan Barat, khususnya mereka yang
paling mula memeluk agama Kristen. Penghancuran rumah laki-laki, tempat pe-nyelenggaraan
upacara inisiasi di mana berbagai ilmu pengetahuan asli diketok-tularkan oleh
generasi tua kepada generasi muda, ikut dilancarkan oleh umat Kristen pertama
di kalangan suku Biak dan Sentani seabad yang silam.11 Dalam bentuk baru,
“asimilasi tak bersyarat” itu juga dilakukan oleh para cendekiawan Irian masa
kini, yang mulai sama bersemangatnya mengolah kekayaan alam Irian Jaya seperti
para pendatang, dengan semangat kapitalis yang sama.
“Daripada kekayaan alam Irian
dihabiskan oleh orang luar, lebih baik kita yang habiskan sendiri”, begitu
dalih sementara cendekiawan asli Irian Jaya, yang sering saya dengar belakangan
ini.12 Dalih itu masih dapat dipertanyakan. Sebab kalau pengurasan hasil alam
Irian Jaya, yang merupakan pinjaman dari generasi mendatang itu secara intrinsik
tidak dapat dibenarkan, maka tidak ada bedanya kalau itu dilakukan oleh “orang
luar” maupun “orang dalam”.
Apa jaminannya bahwa
kapitalis-kapitalis asli Irian akan lebih banyak menginvestasikan keuntungannya
di Irian Jaya, apabila bank-bank di luar Irian akan menawarkan bunga pinjaman
yang lebih tinggi? Selain itu, bukankah bank-bank yang ada di Irian pun
hanyalah matarantai dari seluruh sistem ekonomi kita yang lebih berorientasi ke
Jakarta dan selanjutnya ke luar negeri? Dalih “dari pada dihabiskan orang luar,
lebih baik kita habiskan sendiri”, sesungguhnya juga hanya membela kepentingan
elit putera daerah Irian Jaya menghadapi elit Jakarta dan luar negeri. Dalih
itu belum tentu menjamin “tetesan ke bawah” (trickle down) ke masyarakat-masyarakat
setempat yang notabene secara adat merupakan tuan dari sumber-sumber daya alam
yang mau digarap.
Sebagai contoh dapat kita
kemukakan hutan Mamberamo Hulu, yang tadinya mau dijadikan wilayah konsesi bagi
perusahaan kongsi antara anggota keluarga seorang gubernur yang putera daerah
dengan suatu perusahaan Australia Barat, yang sama sekali tidak melibatkan
masyarakat adat Mamberamo Hulu dalam komposisi pemilik modalnya. Padahal
masyarakat Mamberamo Hulu lah, yang lewat pranata-pranata adat mereka, telah
menjaga kelestarian hutan itu selama puluhan, atau mungkin ratusan, tahun.
Sesuai dengan tesis “asimilasi tanpa syarat” yang digambarkan oleh Fanon,
sebagian cendekiawan Irian sendiri juga menerapkan semacam “hirarki kebudayaan”
terhadap masyarakat mereka sendiri. Sikap ini misalnya terungkap melalui pernyataan-pernyataan
defensif sementara cendekiawan yang berasal dari pantai utara, yang sering
menekankan bahwa orang tua atau kakek-nenek mereka sudah lama berbusana,
berbeda halnya dengan penduduk Pegunungan Jayawijaya. Selain itu, suatu
“hirarki kebudayaan” di antara orang Irian sendiri juga terungkap lewat lelucon
(“mop”) orang pantai tentang “kebodohan” orang gunung.
Keempat, salah satu bentuk “pelarian
ke masa lalu” yang hidup di kalangan cendekiawan asli Irian Jaya adalah
pengukuhan identitas ras (baca: Melanesia) dan agama dominan mereka (baca: Kristen),
menghadapi arus pendatang dari daerah lain di Indonesia. Bentuk populer dari
eskapisme itu adalah penekanan dikotomi antara “rambut keriting” versus “rambut
lu-rus”, serta penekanan adanya bahaya Islamisasi yang datang lewat
transmigrasi. Sedangkan bentuk yang lebih canggih dan kontemporer adalah
gagasan negara Melanesia Barat yang berlandaskan ke-Kristen-an yang diperjuangkan
oleh Thomas Wanggai yang kini mendekam di penjara Cipinang, Jakarta.
Penekanan aspek ke-Melanesia-an
dan ke-Kristen-an orang Irian, yang membedakannya dengan masyarakat lain di
kepulauan Nusantara, sebagai dasar pembentukan suatu negara, sesungguhnya agak
menyesatkan. Sebab, kalau kita mau menekankan aspek ras secara konsekuen, maka
justru suku-suku pegunungan — yang paling “murni” ke-Melanesiaannya — yang
berhak memerintah Irian Jaya. Bukan suku-suku di pantai dan kepulauan di lepas
pantai Tanah Besar Pulau Irian, yang lebih banyak mendominasi gerakan nasionalisme
Papua di Irian Jaya. Soalnya, secara etnologi ragawi maupun dari sudut budaya
kebenda¬an suku-suku pantai dan kepulauan lepas pantai di Utara Irian Jaya itu
sudah banyak mengalami percampuran darah dan budaya dengan suku-suku lain dari
ka-wasan Timur kepulauan Nusantara. Selain itu, kalau aspek ke-Kristen-an yang
mau ditekankan, negara Melanesia Barat yang dicitacitakan oleh Tom Wanggai dan
kawan-kawannya justru akan mengalienasi sekian ratus ribu penduduk Irian Jaya
yang sudah puluhan, bahkan ratusan tahun memeluk a-ga¬ma Islam, ditambah dengan
sekian ratus ribu penduduk Irian Jaya yang masih mempertahankan agama suku mereka
dan menolak konversi ke agama-agama Samawi.
Kelima, usaha menciptakan
“kebudayaan revolusioner” yang secara terfokus berkiblat pada pembebasan
penduduk asli Irian Jaya, masih belum banyak dilakukan oleh cendekiawan asli
Irian maupun cendekiawan Indonesia lainnya. Salah satu usaha ke arah itu di
bidang seni pertunjukan, yang sayang sekali cepat mengalami pembrangusan oleh
pemerintah Indonesia, adalah usaha mendiang Arnold C. Ap dengan Kelompok
Senibudaya Mambesaknya di awal 1980-an. Di bidang pertanian, ada usaha
menciptakan “kebudayaan revolusioner” berupa introduksi padi Toraja di
sela-sela bedeng batatas di Lembah Balim, serta introduksi padi Merkunti di
sabana Merauke. Kedua inovasi di bidang pertanian itu menempatkan para petani
Dani dan Marind sebagai aktor utama, di mana padi yang dihasilkan tidak
menggusur batatas, sagu, dan kelapa sebagai bahan pangan utama.
Berarti, inovasi di bidang
pertanian itu tidak menumpas kebudayaan asli Irian, melainkan justru memperkaya
kebudayaan Irian, sama halnya sebagaimana introduksi rusa Timor oleh Belanda di
sabana Merauke memperkaya kebudayaan penduduk asli di sana. Atau sebagaimana
halnya introduksi babi dan batatas secara berangsur-angsur di pegunungan Jayawijaya
oleh penduduk asli pegunungan itu memperkaya kebudayaan pangan asli yang
tadinya hanya tergantung pada keladi, buah pandan merah, dan kuskus.
Usaha-usaha di era penjajahan Belanda untuk memperkenalkan teknologi traktor di
bidang pertanian di Irian Jaya, juga dapat kita golongkan sebagai kebudayaan
revolusioner, sebab secara kritis berusaha mempertemukan unsur-unsur kebudayaan
lama (asli) dengan unsur-unsur kebudayaan baru demi pembebasan penduduk asli
Irian dari kelaparan dan kemiskinan.
Pendekatan itu dilakukan pada tahun
1960 oleh almarhum Martin Indey (calon pahlawan nasional Indonesia asal Irian
Jaya), di padang rumput Dosai, Jayapura, melalui Dewan Adat Dafonsoro. Hal yang
sama juga dilakukan oleh pemerintah Belanda di sabana Merauke melalui Proyek
Padi Kumbe. Dengan cara itu dapat dibuktikan, bahwa sumber daya alam Irian Jaya
dapat diolah oleh penduduk asli Irian Jaya sendiri, tanpa perlu bantuan ribuan
orang transmigran yang harus didatangkan dari Jawa, Bali, dan Lombok, dan tanpa
perlu mencetak ribuan petak sawah yang kecil-kecil, yang perlu jaringan irigasi
yang rumit dan belum tentu cocok dengan topografi dan kondisi tanah setempat.
***
Lalu, apa kepenadan (relevansi)
hasil telaah berdasarkan kerangka analisis Fanon ini terhadap pembangunan Irian
Jaya di masa lima, atau bahkan duapuluh lima tahun mendatang? Pertama, usaha
menciptakan kebudayaan Irian Jaya yang revolusioner, yang memadukan secara
kritis dan selektif berbagai unsur kebudayaan asli dan unsur kebudayaan luar,
sebaiknya menjadi komitmen bersama antara cendekiawan Irian dan cende-kiawan
non-Irian, yang punya kepedulian terhadap pembebasan orang Irian dari belenggu
kemiskinan dan ketertindasan. Kedua, berdasarkan komitmen bersama itu, perlu
dikembang¬kan suatu strategi pembangunan yang sebanyak mungkin bertumpu pada
kemampuan dan modal dasar orang Irian sendiri, dan bukan suatu strategi
pembangunan yang terlalu bertumpu pada tenaga transmigran serta kekuat-an modal
asing, seperti yang sampai saat ini masih mendasari berbagai program pembangunan
pemerintah untuk Irian Jaya. Ketiga, sebagaimana halnya pengenalan orang Irian
di pegunungan Jayawijaya terhadap teknologi pesawat terbang, tanpa terlebih
dahulu mengenal sepeda, sepeda motor, dan mobil, di bidang pertanian pun orang
Irian tidak perlu dipaksa melewati tahap-tahap pembangunan pertanian seperti di
Jawa. Usaha pembangunan pertanian modern yang dimiliki oleh marga dan diawasi
pengelolaannya oleh dewan-dewan adat daerah, sebagaimana yang pernah dirintis
oleh Marthin Indey di Dosai, dapat dijadikan alternatif terhadap program
transmi¬grasi yang selama ini masih tetap menjadi obsesi pemerintah pusat dan
pejabat-pejabat di daerah yang ingin merebut simpati pusat.
Keempat, bentuk-bentuk
pengelolaan sumber daya alam secara korporatif dan dalam skala besar bukannya tak
mungkin dikembangkan di Irian Jaya. Namun di samping pertimbangan ekologis,
pertimbangan pemerataan (equity) juga perlu dijadikan pertimbangan pokok. Karena
itu, lewat pimpinan-pimpinan marga atau bentuk-bentuk kepemimpinan adat lainnya,
masyarakat-masyarakat adat yang secara turun-temurun telah menjadi “tuan” dari
sumber-sumber daya alam yang akan diolah, perlu dilibatkan dalam komposisi
pemilik modal usaha-usaha yang korporatif itu. Tidak hanya dilibatkan secara pro
forma, dengan dalih bahwa mereka toh hanya “orang-orang yang baru keluar dari
zaman batu”, melainkan dilibatkan secara sungguh-sungguh dengan posisi
menentukan dalam dewan-dewan komisaris perusahaan-perusahaan itu.
Sebagai pilot project, tambang
tembaga PT Freeport Indonesia, Inc. dapat memulai menghitung nilai kekayaan
alam yang sudah mereka olah, lalu mengalihkannya menjadi saham suku Amungme
dalam perusahaan itu. Kelima, seiring dengan teknik-teknik me-numbuhkan “kapitalisme
marga” seperti di atas, bentuk-bentuk “sosialisme marga” juga perlu tetap dipertahankan
dan disempurnakan di Irian Jaya. Yang saya maksud dengan “sosialisme marga” itu
adalah bentuk-bentuk pengelolaan ekosistem-ekosistem unik di Irian Jaya oleh
masyarakat adat yang bersangkutan berdasarkan hukum adat yang memadukan kepentingan
ekonomis dengan kepentingan ekologis, tanpa campur tangan perusahaan dari luar.
Misalnya, biarlah kawasan Pegunungan Dafonsoro, tetap dikelola oleh masyarakat
suku Ormu, Tepera, Sentani, dan Moi, tanpa ikut-ikutan dirambah oleh orang luar
yang hidup-matinya tidak tergantung pada kekayaan alam serta kestabilan
lingkungan pegunungan itu.
Untuk menyempurnakan “sosialisme
marga” yang masih hidup di bumi Irian Jaya, perlu kerja-sama antara para
cendekiawan kampus dengan cendekiawan kampung, guna menumbuhkan dialektika antara
“ilmu-ilmu kampus” dan “ilmu-ilmu kampung”, sehingga kearifan ekologis warisan
nenek-moyang dapat disanitasi dari unsur-unsur mistik dan unsur-unsur diskriminatifnya,
kemudian diwariskan pada generasi mendatang. Keenam, pendekatan keamanan
(security approach) secara ekstrim, baik yang berwujud pembunuhan, perampasan
kebebasan, maupun pelecehan harga diri serta pranata-pranata adat masyarakat
adat, perlu segera diakhiri kalau kita memang menganggap orang Irian adalah
warga-negara Indonesia dan manusia yang setara dengan warga negara dan manusia
Indonesia lain. Barangkali, penghormatan terhadap martabat dan hak-hak asasi
manusia Irian itu akan lebih terjamin, apabila pasukan-pasukan tentara segera
ditarik dari desa-desa dan dikembalikan ke tangsi-tangsi mereka di Irian Jaya
atau di daerah asalnya, sementara tugas menjaga keamanan rakyat di pedesaan
lebih dipercayakan kepada petugas polisi dan tentara orang Irian asli.
BEGITULAH secuplik pemikiran
tentang pembangunan Irian Jaya, yang diilhami oleh pemikiran Frantz Fanon yang
dapat menyadarkan kita terhadap bahaya rasialisme implisit maupun eksplisit
dalam menghadapi penduduk asli Irian Jaya. Semoga ada gunanya dalam
mengantisipasi pembangunan (di) Irian Jaya dalam lima, bahkan 25 tahun
men-datang. Tabea, aski.
SALATIGA, 16 OKTOBER 1993
Makalah untuk Seminar tentang
Pembangunan Irian Jaya Memasuki PJPT II, Yayasan Bhakti Irian Jaya & Valdo
International, Jakarta, 18-19 Oktober 1993 berjudul "Menerapkan Kerangka
Analisis Frantz terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya: Suatu
Pemikiran Alternatif tentang Pembangunan Irian Jaya dalam Lima Tahun
Mendatang"
CATATAN KAKI
- Lihat secara khusus, Bab “On National Culture” dalam Fanon, The Wretched of the Earth, New York: Grove Press, 1979, hal. 206-248; dan Bab II, “Racism and Culture,” dalam Fanon, Toward the African Eevolution : Political Essays, New York: Grove Press, 1967, hal. 29-44.
- Lihat misalnya Bab tentang “The Pitfalls of National Consciousness” dalam Fanon, 1979, hal. 148-205.
- Lihat Alan Gilbert, 1968, “Frantz Fanon and the Third World,” The Journal of the PNG Society , 2 (1), Port Moresby.
- Satu-satunya pemikir sosial yang agak “berbau” Fanonian yang cukup akrab bagi kalangan cendekiawan Indonesia, dan itupun terbatas pada kalangan cendekiawan Islam yang mulai akrab dengan revolusi Irian, adalah Ali Syari’ati, yang banyak bergaul dengan pemikiran Fanon di masa studinya di Perancis. Lihat Syari’ati, 1986. Membangun Masa Depan Islam: Pesan untuk para intelektual Muslim. Bandung: Mizan, hal. 16, 33, 45, 80-81, 92.
- Dua contoh ini sangat menarik sejumlah besar peneliti karya-karya Fanon, seperti Renate Zahar, 1974, Frantz Fanon: Colonialism & Alienation, New York: Monthly Review Press, hal. 39; Elizabeth Fox-Genovese dan Eugene D. Genovese, “Illusions of Liberation: The Psychology of Colonialism and Revolution in the Work of Octave Mannoni and Frantz Fanon,” hal. 140, 144; dan Robin Cohen, 1986, “Marxism in Africa: The Grounding of a Tradition,” dalam Barry Muns-ow (ed), Africa: Problems in the Transition to Socialism, London: Zed Books, hal. 47.
- Agak analog dengan gerakan kembali ke cadar di Aljazair adalah gerakan mengenakan jilbab di kalangan kaum Muslimah di Indonesia. Tampaknya, gerakan ini dipelopori oleh para Muslimah yang berasal dari kelas menengah, yang tadinya sudah mengadopsi busana “Barat”. Dengan adanya usaha pemerintah untuk melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah pemerintah, gerakan mempertahankan dan menyebar-luaskan pemakaian jilbab justru semakin meluas, sebab jilbab ini telah berkembang menjadi simbol perlawanan umat Islam menghadapi usaha-usaha sekularisasi rezim Orde Baru.
- Lihat Irian Jaya Menjelang 30 Tahun Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia — Untuk Keadilan dan Per¬damai¬an (Suatu Pertanggungjawaban Sejarah). Laporan GKI di Irian Jaya kepada MPH PGI di Jakarta, April 1992, yang mendaftar sejumlah pelanggaran HAM yang berlangsung secara sistematis dari tahun 1984 s/d 1990, yang terlalu panjang untuk diuraikan di sini.
- Irian Jaya Menjelang 30 Tahun Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, 1992, op. cit ., hal. 57-58.
- Sebagai pengantar untuk mengamati kemajemukan itu, lihat naskah G.J. Aditjondro, "Pemikiran mengenai Kebudayaan-Kebudayaan Penduduk Asli Irian Jaya." Makalah untuk Konsultasi Studi Perempuan Irian Jaya yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) UKSW, 3-5 Desember 1992.
- Obsesi terhadap koteka itu, juga mencerminkan sikap rasialis para penderita obsesi itu. Soalnya, perhatian pada alat penutup kelamin laki-laki pegunungan Jayawijaya itu, mirip dengan ketertarikan orang-orang kulit putih terhadap segi-segi kejantanan laki-laki kulit hitam, dalam berbagai penelitian Fanon di Karibia dan Aljazair. Lihat buku Fanon yang pertama, Black Skin, White Masks, terbitan Grove Press, New York, edisi 1982.
- Lihat Arnold C. Ap dan Sam Kapissa, 1981. Seni Patung Irian Jaya. Abepura: Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih.
- Dalih ini antara lain juga dikemukakan untuk membenarkan tindakan seorang bekas gubernur yang putera daerah Irian Jaya, yang melalui anaknya sebagai komisaris, mencoba berkongsi dengan suatu perusahaan Australia Barat untuk menebang ribuan hektar hutan di daerah Mamberamo Hulu, sebagai basis untuk berbagai produk kayu. Rencana itu gugur sebelum lahir, ketika diekspos di media massa di Perth, ibukota Australia Barat, sehingga terbongkar penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan Australia itu selama membabat hutan di Papua Nugini.
0 Komentar