PENANJAKAN

Foto; www.theguardian.com
Oleh; Rusdi Mathari*

Di bawah udara satu derajat Reamur dan angin subuh yang melindap daun-daun pinus, aku menunggumu di jalan berundak di Penanjakan, Bromo ini, Dik. Di bawahku di jalan sempit yang berkelok-kelok, 33 pasang lampu jip menembus kabut subuh dengan angkuh seolah sorot mata raksasa. Sepagi ini, angin di Penanjakan begitu beku. Menusuk sumsum. Merontokkan tulang.

Dan sementara orang-orang berjaket tebal berbaris di atas bukit berpagar menunggu matahari, aku melihat orang-orang Amungme membakar batu untuk kita. Rambut mereka keriting. Kulit mereka legam.

Kita pernah tinggal di Honai mereka di puncak Mimika. Makan ubi dan minum kopi. Menggoda anak-anak yang berlarian tanpa baju dan sendal yang terus bernyanyi. “Angaye angaye, nao emki untaye. Angaye hao, aa, hao...”

Mereka telah memberikan semua pada kita. Gunung, hutan dan kehidupan mereka, tapi seperti ubi jalar yang tumbuh di antara dua batu, hidup mereka terus diimpit mesin bor dan truk-truk yang angkuh. Tanah mereka berlobang. Mereka disingkirkan.

Oh Nagawan Into, ke mana bangsa penakluk gunung dan hutan itu akan berlari? Ke mana mereka akan berburu kuskus, mambruk dan babi hutan?

Kele wawunia kele, ae, ao, baa...

Aku mendengar suara angin yang memeluk daun-daun pinus di Penanjakan seperti nyanyian perempuan-perempuan Amungme yang meratap dan menangis. Udara menjadi beku di pucuk-pucuk pohon dahu dan kopi. Anak-anak Amungme terus berlarian.

Aku melihat mereka, tapi subuh ini aku di Bromo. Bukan di Mimika, tempat kita pernah menatap nemangkawi, salju abadi itu. Menunggumu di ujung jalan berundak di Penanjakan. Di atas kaldera, di bawah udara satu derajat Reamur.

Aku rindu padamu, Dik. Aku rindu suara anak-anak Amungme yang bernyanyi itu.

Niare wawnia niare, ae, ao, haa...

* Rusdi Mathari adalah Wartawan dan penulis, pernah bekerja di sejumlah media nasional.

Posting Komentar

0 Komentar