Pak George Dan Kenangan Penghuni Perpustakaan

Oleh; Yab Sarpote*
George Junus Aditjondro, foto; Yap Sarpote

Mengenang George Junus Aditjondro berarti mengenang malam-malam panjang, menginap di perpustakaan mungilnya di Yogya. Saya, dan kawan-kawan aktivis yang rumahnya jauh atau tak punya tempat tinggal pasti sering sekali menginap di sini. Selain banyak buku, tempat ini juga nyaman untuk bertemu dengan kawan, berdiskusi dan berbincang.

Dulu dia mengontrak dua rumah mungil di Deresan, tak jauh dari penerbit Kanisius. Satu dijadikannya perpustakaan pribadi, satunya lagi rumah tinggal bersama istrinya, bu Erna. Perpus ini sering jadi tempat kumpul mahasiswanya, kawan, dan tempat singgah bagi aktivis luar kota yang datang ke Jogja. Ada satu ruang tamu, tempat kumpul dan berbincang. Ada dua kamar lain yang berisi rak-rak bukunya. Satu kamar terakhir adalah tempat dia menghabiskan waktu untuk menulis dan istirahat. Hanya sesekali saja dia menginap di kamar ini. “Kalau sedang suntuk di rumah atau tidak ada tempat lain untuk menulis,” katanya suatu kali.

Orang bebas melakukan apa saja, kecuali dua hal: membuang puntung rokok sembarangan dan tidur di ranjangnya. Kalau dua hal ini dilanggar, dia pasti marah besar. Suatu kali dia marah mendapati banyak puntung rokok di halaman. Pernah juga dia mengomel saat melihat seprei kasurnya kusut. Alhasil, kami kena semprot. Padahal, tak satu pun dari kami yang tidur di sana. Tapi kami tak berani membantah. Pak George suka meledak kalo marahnya ditanggapi.

Namun, selain wataknya yang mudah naik pitam tersebut, dia dan bu Erna adalah orang yang ramah lagi pemurah. Kalau ada makanan sisa, laga bola di TV, hajatan, tamu jauh datang, atau sekadar bergosip politik, mereka sering mengundang penghuni perpus dan kawan-kawannya di Jogja untuk datang ke rumah.

Pesta terakhir bersama mereka adalah saat merayakan ulang tahun pak George. Pesta malam itu adalah pesta yang bersahaja. Total ada sekitar 8-10 orang di rumahnya. Bu Erna memasak babi dan ayam untuk disantap. Sepanjang malam, kami menghabiskan waktu dengan perbincangan-perbincangan hangat soal kehidupan pribadi, gurauan-gurauan, dan ya politik sedikit-sedikit. Pesta ditutup dengan doa bersama. Bu Erna memimpin doa dengan semangat. Pak George mengamininya dengan lebih semangat. Saya tersenyum mendengarkan doa-doa mereka berdua.

Namun, saat itu adalah masa-masa sulit. Setelah derasnya tekanan pendukung-pendukung rezim dan sebagian besar media soal “Gurita Cikeas”, pak George baru saja terlibat ketegangan dengan Keraton Jogja. Guyonannya saat menjadi pembicara di sebuah seminar, mempelesetkan “Keraton, Kera Ditonton” dipermasalahkan oleh Paksi Katon. Berita sempat ramai. Santer terdengar pak George diminta angkat kaki dari Jogja. Puncaknya, kontrakannya digeruduk Paksi Katon. Ini adalah sebuah upaya untuk membuatnya terkucil secara sosial, menurut saya. Tulisan-tulisannya soal gurita bisnis keluarga Keraton sudah lama membuat kuping penguasa Jogja itu panas. Saya pikir, hanya soal waktu saja sampai penguasa mendapatkan celah kekeliruan pak George.

Masa tersebut juga masa pak George sering jatuh stroke. “Bapak kalau makan suka bandel. Tidak disiplin. Masih suka makan daging-dagingan dan jeroan,” cerita bu Erna suatu kali. Memang begitu. Pak George bandel soal makanan. Pernah suatu kali kami ditraktir soto Kadipiro. Dia hampir habiskan sendiri jeroan sapi di warung tersebut. Setibanya di rumah, bu Erna marah-marah. Kami dianggap tidak bisa menjaga dan mengingatkan pak George. Kami diam saja. Pak George sendiri kalau sudah punya keinginan susah ditolak. Dia sering meminta penghuni perpus untuk membelikan makanan yang tak baik bagi darah tingginya. Kalau kami tolak, dia marah. Alhasil, kami disemprot. Jadi serba salah.

Namun, bukan pak George kalau tidak bandel. Tidak hanya soal makanan, sudah banyak orang tahu dia bandel soal sikap politik. Dia adalah musuh hampir setiap rezim di Indonesia. Mulai dari oligarki Cendana, Cikeas, Militer, hingga Keraton Jogja. Tulisannya tentang oligarki dan KKN keluarga Cendana adalah salah satu sumbangsih paling penting yang mengungkap borok Soeharto dan kroni, dan menumbangkannya pada Mei 1998. Analisis-analisis dalamnya tentang bisnis militer dan pejabat politik di daerah rawan konflik seperti Papua, Poso, Morowali, menjadi sumbangan penting untuk melihat bagaimana motif ekonomi turut menggerakkan dan merawat konflik yang terjadi di daerah-daerah tersebut. Di Jogja sendiri, dia adalah satu dari segelintir intelektual Jogja yang berani bicara lantang saat sebagian besar bisu di hadapan Keraton. Saat sebagian besar sibuk meributkan Rancangan Undang-undang Keistimewaan, ia menyoroti gurita bisnis keluarga Keraton dan implikasi Undang-Undang Keistimewaan yang akan makin menyuburkan salah satu oligarki paling tua di negeri ini.

Bandelnya juga tak hanya di tulisan. Di kehidupan sehari-hari pun ia menjalin hubungan hangat dengan petani Kulon Progo yang sampai saat ini masih teguh melawan tambang pasir besi keluarga Keraton. Pasca stroke ringannya, dia sempat meminta kami untuk mengantarkannya menjenguk pak Tukijo, petani Kulon Progo yang dikriminalkan negara karena paling vokal menolak tambang. Jadi, berangkatlah kami ke penjara Wates dengan mobil carteran. Ia senang sekali. Sepanjang perjalanan, dia bercerita tak habis-habis. Namun, rasa senangnya sedikit terganggu saat kami tiba. Sipir lapas hampir saja tak mengizinkan kami masuk. Alasannya, pak George mengenakan celana pendek. Dia langsung naik darah. “Ah ini bukan celana pendek. Celana setengah tiang ini! Lihat aja dengkulku kan tertutup ini!” geram pak George.

Setelah kami berunding agak lama, akhirnya sipir penjara mengizinkan kami masuk. Di dalam, ia lebih banyak bertanya dan mendengarkan ketimbang bicara. Pak Tujiko bercerita dengan berapi-api. Kami menyimak dengan khidmat. Sekitar 30 menit di dalam, sipir memberi tahu bahwa waktu jenguk sudah hampir habis. “Pak Tukijo tetap semangat ya di sini. Banyak kawan-kawan menanti dan berjuang di luar,” ujarnya sembari pamit. Pak Tukijo tersenyum mengangguk. Lalu mereka berjabat tangan dan berpelukan. Satu-persatu kami juga turut menyalami dan memeluk pak Tukijo. Pak Tukijo melambaikan tangan dan tersenyum sambil dikawal masuk ke sel oleh sipir penjara.

Sepanjang perjalanan pulang, dia lebih banyak diam. Mungkin kegelisahannya sudah lepas selama di lapas. Entahlah. Tapi saat perjalanan pulang inilah dia mentraktir kami soto Kadipiro. Dia makan jeroan banyak sekali. Dan seperti yang saya ceritakan, di rumah bu Erna marah panjang sekali.

Selama mengenal pak George, dan sering menginap di perpusnya, kawan-kawan sering mengantar-jemputnya kemana-mana. Mulai dari menjemputnya pulang dari mengajar, membelikannya makan, hingga mengambilkan uangnya di ATM. Ada cerita yang berkesan soal yang terakhir ini. Suatu kali, salah satu kawan mengambilkan uangnya di ATM dan terkejut saat mendapati saldo tabungannya yang hanya beberapa juta. “Kok cuma segitu ya tabungannya? Akademisi sekelas dia harusnya kan sudah kaya-raya,” kata teman tersebut. Mungkin, pak George punya tabungan di tempat lain. Mungkin juga tidak. Tapi perkataan teman tersebut ada benarnya juga. Doktor dengan reputasi internasional macam dia harusnya sudah kaya-raya. Ya, seperti sebagian besar intelektual dan akademisi di kampus-kampus. Mudah saja jadi orang kaya dengan menjadi konsultan proyek negara atau perusahaan, menjadi anggota partai penguasa, atau mendukung rezim dengan bergabung dengan pemerintahan. Tapi GJA adalah GJA. Satu-satunya hal yang tidak dapat dilakukannya adalah menjual independensi dan keberaniannya sebagai intelektual, to speak the truth to power. Sampai sekarang, independensi dan keberaniannya inilah yang membuat orang-orang menaruh hormat padanya, selain kesederhanaan dan kebersahajaannya.

Soal warisan pemikiran dan aktivismenya, saya rasa banyak yang berhutang padanya. Reformasi 98, Timor Leste, hingga Papua adalah hal minimal yang susah untuk diabaikan jika membahas dirinya. Soal yang terakhir, pernah ada ceritanya yang lucu. Saat makan bersama di burjo samping perpusnya, dia bercerita bagaimana kesalnya dia saat ada mahasiswa Papua salah memanggilnya di suatu acara. Dalam sebuah sesi tanya-jawab, mahasiswa tersebut memanggilnya dengan nama “George Bush”. Kami terbahak. “Masak ya tulisan-tulisanku sudah banyak sekali soal Papua, advokasi juga begitu, eh masak aku dipanggil ‘George Bush’!” ungkapnya. Wajahnya merah padam. Kami terkekeh saja.

Setelah menjenguk pak Tukijo, bulan-bulan seterusnya pak George lebih sering kena stroke. Strokenya yang terakhir pada waktu itu membuatnya koma dan harus dirawat berbulan-bulan di RS Bethesda. Beberapa kawan bergantian jaga selama awal perawatan intensif di ICU. Sejumlah kawan juga menggalang donasi untuk biaya pengobatannya. Bu Erna paling setia menemani suaminya selama masa sulit ini.

Karena sakit panjang yang butuh biaya banyak inilah, kontrakan perpus tak bisa lagi diperpanjang. Akhirnya kontrak berakhir, dan buku-bukunya dihibahkan ke Radio Buku untuk disimpan dan dirawat di sana.

Setelah strokenya yang paling parah selama di Jogja tersebut, ia tak lagi tinggal di Deresan. Ia pindah ke Jakal bawah, persis di seberang Pizza Hut. Setelah sembuh, bu Erna bercerita bahwa dia sering mengajaknya kebaktian di gereja. "Abang kalau nyanyi di gereja semangat sekali ya, bang," cerita bu Erna sambil membelai rambut suaminya itu, dan mencium pipinya sesekali. Pasca stroke tersebut, pak George juga susah berjalan dan berbicara. Ia juga sulit mengingat banyak hal, mulai dari orang-orang yang dia kenal hingga sandi emailnya. Pernah suatu waktu dia berusaha keras mengingat sandi emailnya, tetapi berakhir dengan kekesalan luar biasa karena sandi tersebut tak kunjung muncul di kepalanya.

Selama bulan-bulan terakhirnya di Jogja, saya sempat mengantarkannya untuk kontrol syaraf di Jogja International Hospital bersama bu Erna, kawan-kawan penghuni perpus lainnya, dan kerabatnya. Saat itu, pak George sudah menunjukkan perkembangan kesehatan yang baik. Pada September 2014, ia pamit pulang ke Palu untuk menghabiskan masa tuanya. Dia mengucapkan salam perpisahan bersama segelintir koleganya dan anak-anak muda di Jogja.

Baru beberapa bulan silam, seorang karib, Fahri, yang baru saja kembali dari Palu, memberi kabar bahwa pak George sehat-sehat saja. Kata Fahri, dia bahagia sekali kalau sedang berenang. Tapi umur orang siapa yang tahu. Kemarin, 10 Desember, kabar duka datang dari Palu. Pak George telah berpulang pada pukul 5.45 WITA.

Selamat jalan, Pak George. Terima kasih banyak.

*Yab Sarpote, musisi yang bermukim di Yogyakarta

**Tulisan ini sebelumnya dimuat di situs pribadi Yap Sarpote, penulis mengijinkan tulisan ini di muat di sastrapapua.com

Posting Komentar

0 Komentar