Freeport, foto; http://journal-neo.org |
Kau riang bernyanyi-nyanyi, menari, mendongeng, saling membagi,
memilih tetua pendamai, walau bajak besi pun belum mampu kau gubah dan
lembu, kerbau, serta kuda tak ada untuk membantu mendorong kau ke dunia
lain--dunia kemakmuran berlebih dan menyatu dengan saudara-saudara kau
yang lain dari gemunung lain. Sampai saat itu, kau cukup saling
mengasihi dengan alam dan saudara-saudara senaungan alam yang segunung.
Dua
bangsa yang datang dari kejauhan Barat--yang satu telah mampu berkuasa;
yang satunya sekadar pendompleng--bukan untuk bercerita mengapa mereka
sanggup menjadi tamu, bukan untuk berbagi bagaimana mereka mampu
menjelajah menjadi tamu, berbagi bagaimana mereka bernyanyi, menari,
mendongeng dan saling membagi, karena mereka bukan bangsa yang dikandung
dan dilahirkan oleh cinta, mereka bangsa yang ditiup roh keuntungan,
nyawa tamak, jiwa loba. Dua bangsa yang paham keindahan, kepuasan,
karenanya suka ria mengambil banyak. Satu dua orang di antara mereka,
yang berbekal kasih, tak berdaya, hanya mampu bercerita:
Tentang keindahan:
"Aku
pelaut yang pernah berkeliling dunia, mengabarkan bahwa Utopia itu
tentang tak adanya penggunaan uang sebagai alat bayar dan tiadanya milik
pribadi. Di sana, emas tak berharga dan konsumsi apa adanya, tak
seorangpun menggunakan pakaian berlebihan. Setiap orang menyerahkan
buah-buahan hasil panenan, atau yang dicarinya di hutan, ke rumah
publik, setiap orang bebas memilih buah-buahan itu serta bahan kebutuhan
lainnya, untuk kebutuhan dirinya atau keluarga. Ekonomi yang sangat
bersahaja. Tak ada yang menimbun barang, tak ada seorangpun yang cemas
atau khawatir kelaparan.
Warga memilih
pimpinannya, seorang pangeran, namun juga memecatnya jika dianggap
melanggar keputusan warga. Pimpinan agama ditunjuk menurut pilihan
warga. Penduduk Utopia membenci peperangan. Walau demikian, mereka akan
mempertahankan mati-matian batas-batas negeri mereka. Agama yang mereka
yakini tak digunakan untuk menyerang dan membuat aib dengan alasan
apapun juga, serta tidak juga menggunakan kekerasan untuk membuat orang
lain pindah keyakinan.
Mereka mempunyai hukum yang
mengizinkan perceraian. Namun akan menjatuhkan hukuman berat kepada
perselingkuhan. Dalam hukum di Pulau Utopia, setiap orang bekerja enam
jam sehari. Kerja dan istirahat harus seimbang, dan warga saling berbagi
waktu, seperti mereka berbagi meja makan. Masyarakat bertanggungjawab
penuh terhadap anak-anak kecil yang orang tuanya sedang sibuk bekerja.
Warga atau orang yang sedang sakit mendapatkan prioritas pertolongan dan
pengobatan khusus. Etanasia dijauhi. Taman-taman dan kebun-kebun
buah-buahan memenuhi berbagai ruang dan lahan. Dan kita akan mendengar
musik sejauh ke manapun kita melangkah." (1)
Namun, satu dua orang tak berdaya, sekadar mampu bercerita--bersetuju dengan kehidupan kau yang nyaman.
Dua
bangsa mulai mengambil tanpa restu, maling: bangsa pendopleng menyeret
kau dan saudara-saudara kau ke utara negeri kau (juga), mengenalkan laut
untuk hidup kau, yang tak pernah kau hidupi, dihelanya kau menanam
tanaman yang tak pernah kau tanam, bukan untuk kau, diberinya kau dua
nama, nama untuk bergaul dan nama di hadapan Tuhan, nama-nama yang tak
punya arti, diberinya kau Tuhan baru, yang kau maknai Dewa pelindung
bangsa-bangsa maling, ditatanya kampung berumah pribadi; bangsa yang
telah mampu berkuasa mulai menata, mulai mengatur layak tidaknya hidup
kau--karena mereka bilang kau dan sudara-saudara kau adalah kumpulan
orang-orang tak layak hidup semaunya, kau dianggap kerak peradaban,
kerak kebudayaan. Kini kau tercengang, baru sadar ada saudara-saudara
lain dari alam tetangga, dari gemunung lain, yang didekatkan pada kau
oleh bangsa yang sudah mampu berkuasa, dan kau mulai bertanya: apa kah
mereka saudara-saudaraku juga, yang hendak disatukan dalam kebahagiaan.
Pasti, bangsa penguasa pasti menetapkan: "Sebenarnya ini tanah dan
segala isinya--termasuk kalian--adalah milik kami; kami akan bersusah
payah membuat negeri ini dan kalian cantik dan indah; bekerja lah, akan
kami ajarkan kalian bekerja, kalian harus sabar dan kami harus sabar,
karena kalian memang belum layak bekerja seperti kami." Bangsa penguasa
juga tak sungkan-sungkan membawa orang-orang untuk dihukum dan mati di
tanah kau, dinodainya tanah kau--mereka membawa orang-orang dari pulau
lain yang rindu MERDEKA. Dengan telak kini kau, untuk pertama kalinya,
tahu: kejahatan; namun sayup-sayup pun kau tak tahu apa makna MERDEKA,
kau tak bisa bersama dengan orang-orang buangan, orang-orang hukuman
dari pulau lain. Belanda, bangsa yang telah mampu berkuasa; Jerman,
bangsa pendomplengnya.
Sekonyong-konyong,
ghalibnya orang-orang yang menyelundup masuk ke tanah kau, datang lah
saudara-saudara orang-orang yang dihukum dan dibuang ke tanah kau.
Sungguh, kau terbengong-bengong dengan sungguh-sungguh, saat
saudara-saudara orang hukuman, orang buangan, meyakinkan kau: bahwa kau,
sebenar-benarnya bangsa Indonesia; bahwa kau harus menjadi bangsa
Indonesia, saudara timur bangsa Indonesia. Pertama kalinya juga kau
mengenal apa itu bangsa, bangsa Indonesia, yang ujug-ujug dihadiahkan
bagai kado oleh saudara-saudara orang-orang hukuman, orang-orang
buangan, yang rindu MERDEKA. Orang-orang yang memberi kado bangsa
meminta kau berjuang karena, katanya, bangsa yang dikadokan itu belum
dilengkapi tanah dan lautnya sesuai dengan surat warisan perjanjian
bangsa penjajah dengan bangsa dijajah. Tanpa restu kau, tanah kau
dimasukkan dalam surat warisan perjanjian, sebagai bangsa yang dijajah.
Diajarinya kau, anak-anak kau, isteri kau, orang tua kau,
saudara-saudara kau perang kebudayaan--kebudayaan melawan
penjajah--baca-tulis, bernyanyi sebagai bangsa, Indonesia Raya,
berpakaian (hampir-hampir dipakaikannya kau kopiah, atau kebaya untuk
saudara-saudara perempuan kau). Dan membiarkan perang fisik menjadi
tanggungan orang-orang dari bangsa Indonesia yang baru setengah jadi.
Orang-orang bangsa Indonesia bergairah melengkapi syarat bangsanya:
bangsa Indonesia dari barat sampai ke Timur, dari Sabang sampai Merauke.
Ada
juga orang-orang bangsa Indonesia yang pandai bersahabat dengan laut
yang, sejak dahulu, sejak belum berbangsa, datang bertukar apapun dengan
yang kau hasilkan, tanpa kau tahu untung kah atau rugi kah, bahkan
sering mereka tak bertukar tapi mengambilnya sendiri.
Kini
kau mulai memaknai: saudara-saudara kau yang lain dari gemunung lain
dan dari laut, yang ada di tanah selingkungan kau yang lebih luas, yang
kini menjadi lebih dekat dengan kau; penjajahan; kejahatan, merdeka,
bangsa.
Diperkenalkannya kau demokrasi bodong,
palsu: bahwa kau diberikan kebebasan untuk berpendapat, memilih menjadi
bangsa di antara dua bangsa yang bukan bangsa kau sendiri, tak ada
pilihan ketiga, bangsa kau sendiri. Dirayunya, diancamnya, dipenlintir
lah suara kau dan saudara-saudara kau, hingga kini kau diresmikan oleh
dunia sebagai: bangsa Indonesia.
Orang dari pulau
lain, bangsa Indonesia, yang sekarang telah menjadi pembunuh
saudara-saudaranya sendiri, dibunuhnya saudara-saudaranya sendiri hampir
3 juta banyaknya--berkali lipat seluruh jumlah saudara-saudara-saudara
kau. Mereka, bangsa pembunuh, datang berduyun-duyun akan memenuhi tanah
kau bagai bintang-bintang di langit, akan makan dari tanah kau.
Pimpinan-pimpinan, dan juga rakyat dari pulau lain itu, bangsa
Indonesia, tak bisa mengenali lagi makna penjajah (bahkan dirinya pun
tak sungkan-sungkan menjajah)--dibawanya kini bangsa Barat, bangsa Asia
yang telah maju, bahkan semua bangsa bila mau dibawa, ke tanah kau untuk
dijamu semua panen alam tanah kau, agar orang-orang dari pulau lain,
bangsa Indonesia, mendapatkan ceceran-cecerannya, termasuk kau. Kini kau
dikadoi ceceran-ceceran itu. Semua dapat ceceran-cecerannya dengan
kadar sesuai dengan perannya: pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia,
buruh-buruh bangsa Indonesia, calo-calo bangsa Indonesia, polisi dan
tentara bangsa Indonesia, maling-maling bangsa Indonesia,
saudara-saudara kau sendiri yang mengkhianati kau dan saduara-saudara
kau sendiri dan, terakhir, yang menerima paling sedikit, adalah kau dan
saudara-saudara kau yang setaraf.
Dan yang kau
tahu tentang bangsa Indonesia adalah: bangsa pembunuh, bangsa penipu,
bangsa penyiksa, bangsa munafik, bangsa yang memberi sedikit mengambil
banyak dengan alat kejahatan.
Kau dan
saudara-saudara kau, yang telah memberi banyak dan menerima sedikit,
dari yang sedikit itu kau dan saudara-saudara kau mampu memaknai dan
bergairah mewujudkan: persatuan di antara saudara-saudara kau untuk
MENJADI BANGSA MERDEKA, BANGSA PAPUA; dan BERNEGARA PAPUA BARAT.
SELAMAT!
Dan saudara-saudara sejati kau sedunia,
yang penuh kasih sayang, menamai kau, sebagaimana juga menamai mereka
sendiri: kami yang 99%; dan yang menjahati kau dan saudara-saudara
sejati kau dinamainya: mereka yang 1%.
Catatan Kaki:
1.
(Eduardo Galeano, Genesis, hal 61, buku pertama trilogi Memory of Fire,
diterjemahkan oleh Halim HD, diedit oleh Danial Indrakusuma)
0 Komentar