Oleh: John NR Gobai
Pengantar
Di bawah tahun 1996, tidak pernah terdengar kabar
adanya konflik sesama orang Papua, apalagi orang gunung di Mimika. Mungkin yang
ada hanya kekerasan negara terhadap rakyat, sejak tahun 1977dan juga perlawanan
masyarakat asli terhadap PT. Freeport Indonesia sejak tahun 1974. Namun sejak
PTFI mengucurkan dana 1 persen, Timika menjadi kota yang “Tiap Minggu Kacau”
dan “Minggu Minggu Kacau”.
Konflik yang terjadi macam-macam motifnya, yang tahu
hanya kepala perangnya dan aktor intelektualnya.
Konflik ini menurut saya belum diselesaikan
secara strategis dan menyeluruh serta menggali akar masalahnya, tetapi
penyelesaiannya hanya kasuistik, sehingga sekarang yang mendesak adalah
menggali akar masalah utamanya: apakah masalah adat, tanah, dana, pekerjaan,
atau masalah apa?
Masyarakat merasa tidak aman dan pasti ada yang
merasa prihatin akibat adanya pembunuhan antar sesama orang Papua di Timika.
Semua pihak perlu catat dengan tinta emas dan diingat baik-baik, bahwa suku
apapun di Tanah Papua kita adalah orang Papua. Kita saudara harus bersatu,
bukan malah sebaliknya. Apalagi masyarakat suku-suku di Pegunungan, nenek
moyangnya, semua berasal dari satu tempat yang sama di sebuah tempat di ujung
timur Tanah Papua, yang Suku Mee sebut Pupupapa, Suku Moni sebut Mbububaba.
Kebiasaan Jelek
Perang atau konflik selalu membawa suasana tidak
aman, tidak damai, orang tidak dapat beraktivitas bebas, perekonomian lumpuh
dan lain sebagainya.
Perlu disadari bahwa ada kebiasaan perang yang
jelek dalam orang gunung. Kebiasaan ini harus ditinggalkan.
Sebagai seorang dari pegunungan Papua yang
sedikit paham kebiasaan perang orang gunung yang jika dalam perang ada korban,
maka kedua belah pihak akan selalu berusaha mencapai keseimbangan jumlah
korban.
Dalam berperang juga akan ada pihak-pihak yang
akan membantu salah satu pihak dalam berperang, ada juga pihak-pihak yang
menyediakan logistik untuk orang berperang, dan ada juga pihak yang menjadi
sponsor perang.
Ada saat mereka lakukan gencatan panah untuk
pergi ke gereja, ada pihak yang tidak terkait dengan masalah dapat saja menjadi
korban, ada tempat yang ditentukan untuk berperang, sehingga menjadi film
gratis bagi pihak lain. Kadang kala juga menjadi akal-akalan hanya untuk
mendapatkan kulit bia atau “kigi indo” dalam bahasa Moni.
Ini kebiasaan perang orang gunung yang harus saya
katakan jelek, yang sudah saatnya ditinggalkan dan dilupakan oleh kita semua.
Percuma kita ke gereja banyak-banyak, sekian ratus kali masuk gereja jika tidak
ada damai di hati, masih ada dendaman di hati. Hal yang penting dipikirkan hari
ini adalah bagaimana menahan diri untuk tidak dendam, tidak saling membalas,
saling memaafkan dan membangun sebuah rekonsiliasi bersama secara jujur dan
bijaksana yang berasal dari relung hati yang paling dalam.
Pembiaran Pembunuhan
Sangat lain dalam berbagai konflik di Timika,
karena adanya pembiaran yang lama terhadap warga negara NKRI saling membunuh.
Ada apa sebenarnya, orang tega saling membunuh? Ingat, mengambil nyawa haknya
Tuhan. Dosa bagi orang yang menyuruh melakukan dan membantu makanan bagi mereka
yang berperang. Sebab, mengambil kembali nyawa manusia itu haknya Tuhan. Dosa
juga bagi mereka yang membiarkan orang saling membunuh, padahal tugas mendamaikan
dan menertibkan adalah amanah dari Tuhan kepada TNI/Polri. Tidak ada adat yang
mengajarkan orang saling Perang dan Membunuh!.
Dalam kekerasan yang telah mengarah kepada
pembunuhan, di Timika, perlu dilakukan, mungkin akan aman, apabila Kapolda dan
Pangdam Papua untuk menangkap Kepala Perang, dan masyarakat juga mesti
mendukung langkah pihak keamanan, kemudian pihak keamanan jangan melakukan
pembiaran. Karena penegakan hukum positif saat ini wajib dilakukan agar ada
wibawa negara di sana.
Siapapun yang menjadi otak atau membantu perang
serta membawa logistik bagi orang yang perang haruslah diamankan, mesti dicari
juga tokoh yang bisa didengar oleh kedua belah pihak, semakin dibiarkan konflik
akan meluas dan jika kepala perang atau pelaku dibiarkan, maka akan membuat
pihak korban akan terus menaruh dendam dan menjadi emosi tingkat dewa jika
dihukum seberat beratnya, maka saya yakin akan ada efek jera bagi yang lain.
Rekonsiliasi Menuju Perdamaian
Gubernur atau Bupati Mimika perlu membentuk Tim
Rekonsiliasi untuk selesaikan konflik di Mimika, yang dipimpin bersama oleh
pihak Pemprov, Gereja dan Adat untuk menyelesaikan konflik dalam rangka mencari
akar permasalahan utama di Timika.
Untuk itu, perlu dilakukan sebuah Pertemuan
Rekonsiliasi yang melibatkan semua pihak antara lain; DPRP, MRP, para Bupati,
Uskup Timika, Sinode GKIP, Ketua Sinode Baptis, GIDI, Ketua Dewan Adat Papua,
LEMASA, LEMASKO, para Kepala Suku dari kabupaten di Pegunungan, para Kepala
Suku-suku Pegunungan, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, Aktivis, AMPTPI, oknum
yang diduga sering menjadi Kepala Perang dari semua Suku-suku Pegunungan di
Timika. PTFI dan Kontraktor, Kapolda dan Pangdam sebagai peninjau.
Hal yang dibicarakan adalah pertemuan ini mesti
menggali dari masyarakat apa sesungguhnya masalah yang dirasakan dan diinginkan
oleh masyarakat Pegunungan yang ada di Timika. Biarkan mereka bicara dari hati
ke hati dengan prinsip kami semua datang dari satu tempat yang sama. Jika
masalahnya tanah, maka harus dibicarakan baik dengan masyarakat pemilik tanah
dengan membuat sebuah akta perjanjian yang mesti disepakati dan dijaga bersama
pelaksanaanya dengan sikap saling mengakui dan menghormati. Bisa dengan pemilik
dan penggarap.
Jika masalahnya dana dari PTFI, maka perlu
dibicarakan dengan PTFI agar ada terobosan baru yang berpihak dan dana yang
merata antar suku-suku dan daerah di Pegunungan.
Jika masalahnya adalah proyek, maka mesti
dibicarakan dengan pihak Pemda dan PTFI, sehingga tidak memunculkan kecemburuan
sosial antar satu suku dengan suku lainnya.
Jika masalahnya adalah adat, maka harus
disepakati untuk adat yang merugikan dan mengorbankan orang lain ditinggalkan
dan didorong adanya peradilan adat di Mimika sebagai peradilan perdamaian.
Pelaksanaan rekonsiliasi mesti dilakukan beberapa
hari agar semua mengeluarkan semua yang dipikirkan dan dirasakan, sehingga
orang merasa puas dan legah telah menyampaikan masalahnya.
Dalam pelaksanaan ini awalnya semua pihak yang
hadir dari para pejabat baik pemerintah, agama dan tokoh adat dari daerah,
selain Mimika, mesti duduk hanya untuk mendengarkan saja, setelah semua pihak
di Timika menyelesaikan penyampaian barulah para pejabat menyampaikan
alternatif-alternatifnya, kemudian dilemparkan kembali kepada masyarakat Mimika
untuk memberi pendapat, setelah itu dibuat konsensus bersama dan
ditandatangani, sebuah akta perdamaian yang berisi hak, kewajiban dan larangan
serta badan yang memantau pelaksanaannya.
Isi akta itu antara lain: semua pihak tandatangan
pernyataan tidak lagi akan lakukan pembunuhan dan tidak akan selesaikan secara
adat di kemudian hari. Jika ada masalah akan diserahkan kepada hukum positif,
dihukum penjara, dengan pasal berlapis.
Akhir dari acara itu dibuat sebuah ritual adat
“patah panah”, sebagai tanda tidak akan berperang lagi yang dilanjutkan dengan
Ibadah Gabungan untuk rekonsiliasi.
Ingat, kita ini semua saudara, semua orang Papua
yang hidup dan berkembang di atas tanah ini.
Sebagian dari hasil itu dijadikan sebagai sebuah
Perda Kabupaten Mimika. Kemudian dibentuk sebuah wadah rekonsiliasi yang
memantau dan secara rutin terus melakukan koordinasi dan komunikasi dan
menyelesaikan masalah antar suku-suku di Mimika agar terus menjaga kedamaian
dan mengawal kesepakatan damai, melalui wadah ini dan gereja juga terus
melakukan penyadaran lewat ibadah-ibadah dan kotbah-kotbah.
Penutup
Damai di surga diciptakan oleh Tuhan. Damai di
bumi diusahakan dan diciptakan oleh usaha manusia. Nah, agar ada kedamaian di
atas bumi ini, mari kita mendorong sebuah upaya rekonsiliasi.
“Alangkah bahagianya hidup rukun dan damai di
dalam persaudaraan bagai minyak yang harum”, untuk itu pertemuan rekonsiliasi
di Mimika penting untuk segera dilakukan dan menghasilkan sebuah akta
perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.
Penulis adalah Ketua Dewan AdatPaniyai, tinggal di Paniai
0 Komentar