George Junus Aditjondro, PhD Cornell University, New York

George Junus Aditjondro (Foto: Ari Saputra/detikFoto)
Oleh; Daniel Dhakidae*

Pada suatu hari di Cornell prof.Ben Anderson cari saya dan bilang: "Daniel ada orang melamar ke program doktor di Cornell dan aneh sekali. Tidak ada selembar pun ijazah. Sarjana musa tidak ada, apalagi sarjana."

"Saya tanya siapa calon itu?"

Ben sebut nama George Aditjondro. Saya bilang saya tidak tahu aturan Cornell; tapi inilah calon brilian, pekerja keras, bahasa asing Ingris dan Belanda tidak ada masalah.

Ben katakan "OK, let's see!" Memang hanya karena wibawa prof. Ben Anderson George diterima di program doktor di Cornell.

Inilah tipe sarjana yang tidak pernah bekerja separuh-separuh dan seluruh dirinya terlibat baik dalam bekerja maupun menjadi tipe intellectuel engagé, intelektual yang terlibat dalam soal yang ditelitinya. Kalau dia meneliti konsentrasi modal dan kekayaan pada segelintir orang ini berarti dia menolak konsentrasi kekayaan itu dan berani mengambil risiko terhadap apa pun yang menimpanya. Topik apa pun yang dipilihnya dikerjakan dengan habis-habisanan. Ketika dia menulis tentang Dr Sam Ratulangie dikejarnya bahan-bahan itu sampai ke tanah Papua sebelum dia bekerja di Papua.

Kepercayaan yang diberikan prof Ben Anderson tidak disia-siakannya dan pada suatu hari dia menyelesaikan studi Masternya. Kami diundang untuk makan-makan di apartemennya di Cornell.

Saya diminta untuk memberikan kata sambutan pendek. Saya katakan: "Teman-teman malam ini kita merayakan sesuatu yang istimewa yaitu kawan kita George untuk pertama kalinya memegang ijazah sekolah di muka bumi ini. Dia tidak ada ijazah SR (Sekolah Rakjat, SD, waktu itu). Ketika ujian dia sakit perut. Tapi gurunya bilang OK ikut SMP; dan kita lihat 3 bulan pertama. Kalo tidak bisa ikut pelajaran SMP kembali lagi ke SR. Ternyata George paling pintar di kelas. Hal yg sma terjadi di SMP. Waktu ujian kena kolera. Hal yg sama berlangsung lagi. Coba ikut SMA. Kalau tidak bisa kembali ke SMP. Tapi sekali lagi George paling pintar di kelas di SMA di Makassar. Ketika mau ujian akhir SMA bapaknya haris pindah dari Makassar ke Semarang. Ujian SMA ditinggalkan. Tapi bisa masuk fakultas teknik di Satya Wacana. Waktu itu saya sdh di UGM Yogya. George lebih sering ada di Yogya dan main drama dan karena itu drop out dari Satya Wacana dan melamar dan menjadi Wartawan Tempo lantas meninggalkan Tempo menjadi direktur dari salah satu LSM DI tanah Papua."

Inilah George yg hidupnya berwarna-warni. Ketika dia meninggalkan dunia ini dia harapkan dunia ini warna-warni--- alias Indonesia yg plural dan multikuktural. Semua yg terjadi akhir-akhir ini sungguh sesuatu yg tidak dia inginkan---kelompok bertempur dengan kelompok; agama dengan agama dan lain-lain.

Ini justru saatnya perjuangan George diwariskan kepada kita untuk dilanjutkan. Akhirnya, Adios Amigo, Fahrwohl Kamerad, Farewel my Friend to Eternity ...

*Daniel Dhakidae, Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas sejak 1994 sampai 2006, juga berkiprah sebagai redaktur majalah Prisma (1976); Ketua Dewan Redaksi Prisma (1979-1984)

Posting Komentar

0 Komentar