Mengenang George Junus Aditjondro


Oleh; Tri Agus Susanto Siswowiharjo
Foto dok penulis

Saya tak tahu persis kapan pertama kali berjumpa George J. Aditjondro. Entah di Sekretariat Pijar Indonesia atau pada sebuah kegiatan diskusi di Jakarta. Yang jelas, menjelang pelaksanaan Asia Pacific Conference on East Timor (APCET) 29 Mei – 1 Juni 1994 di Manila, Filipina, kami beberapa kali bertemu membahas siapa saja aktivis Indonesia yang berangkat ke negeri Ferdinand Marcos tersebut. Ibu Ade Rostina Sitompul saat itu aktif mendukung keberangkatan kami. Dari Pijar Indonesia akhirnya mengutus saya dan Rachland Nashidik, yang saat itu menjabat sebagai ketua.

Pada tahun 1995 suasana politik di Indonesia kian panas. Setahun sebelumnya tiga media nasional – Tempo, Editor, Detik - dibredel. George sebagai dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, sedang naik daun di kalangan aktivis Indonesia. GJA tak sendiri. Ada dua nama yang namanya tak bisa dipisahkan dari UKSW, yakni Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Ketiga dosen ini menjadi inspirasi tak hanya buat almamaternya tetapi juga aktivis Indonesia pada umumnya. Karena sikap kritis mereka, trio dosen itu dipecat dari UKSW menyusul konflik internal di kampus itu.

Ada dua kesamaan antara saya dan GJA. Pertama kami anti Soeharto, dan kedua, kami suka humor. Waktu rezim Soeharto membuat perayaan kemerdekaan RI yang ke 50 pada 1995: “Tahun Indonesia Emas”, GJA malah memlesetkan menjadi “Tahun Indonesia Cemas”. Slogan itu cukup sakti untuk melawan Orde Baru. Beberapa aktivis mahasiswa UGM kemudian membuat desain kaos bertuliskan slogan plesetan GJA. Mohamad Thoriq, seorang aktivis cum pengusaha melalui bendera usaha kaos Jaman Edan, juga memproduksi kaos ini. Saat saya menjalani persidangan penghinaan kepada presiden di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1995, saya dengan bangga dan senang hati menjadi model kaos Jaman Edan.

Saya kembali bertemu dengan George saat sama-sama menjadi pembicara pada acara Jornadas de Timor, konperensi internasional tentang masa depan Timor Timur, di Universitas Porto, Portugal, pertengahan 1997. Saat itu saya satu sesi dengan GJA dan Khatibul Umam Wiranu, saat itu aktivis GP Ansor. Bertemu dengan George selalu pertanyaan pertama yang diajukan adalah, “Ada humor apa lagi?”. Kami sering berbagi humor terutama seputar Cendana dan Timor Leste. Salah satu lelucon GJA yang saya ingat adalah: “Jadi TNI itu enak. Dikirim ke dareah konlik Aceh, berangkat memakai M16 pulang membawa 16M.”

Pertemuan berikutnya pada acara People’s Summit di Vancouver, Kanada, November 1997. People’s Summit adalah pertemuan kalangan civil society yang paralel dengan penyelenggaraan konperensi ekonomi kawasan Pasifik, APEC, yang juga dihadiri Presiden Soeharto. Sebagian peserta People’s Summit dari Indonesia dan Timor Leste ada yang bergabung ikut aksi massa bersama aktivis dan mahasiswa Universitas British Columbia (UBC) menentang ketidakadilan ekonomi global. Tak sedikit dari mereka yang kena pepper spray dari aparat Kanada.

Pergumulan berikutnya dengan GJA adalah pasca-Soeharto. Berawal dari obrolan biasa, tiba-tiba George bilang saya punya naskah buku, tetapi apa ada penerbit Indonesia yang berani. Maka, Bonar Tigor Naipospos dengan cepat menyambar. “Mana naskahnya biar kita yang menerbitkan,” kata Coki, panggilan akrab Bonar Tigor. Akhirnya Pijar Indonesia dan Masyarakat Indonesia untuk Keadilan (MIK) menerbitkan buku GJA: “Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari : Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru dari Soeharto ke Habibie”.

Buku yang terbit April 1999 (cetakan pertama 1998). Peluncuran pertama buku ini diadakan di Expose Cafe, dekat Blok M, milik mantan peragawati Ratih Sanggarwati. Tampil menjadi pembicara adalah George sendiri dan Coki, dan moderator oleh aktivis Yeni Rosa Damayanti. Semua pembicara dan panitia memakai kaos bergambar kover buku tersebut. GJA dan Yeni adalah dua aktivis yang baru tiba di tanah air setelah sekian lama di mancanegara.

Terbitnya buku “Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari : Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru dari Soeharto ke Habibie” pada 1999 segera disusul dengan munculnya aneka t-shirt bergambar karikatur wajah Habibie dengan tulisan “Achtung!” Buku ini disambut cukup baik oleh masyarakat. Jauh sebelum ada KPK, orang-orang selalu merindukan kabar dari pengamat politik yang bekerjanya mirip detektif.Tentu saja ada kritik atas buku ini, namun kehadiran buku ini cukup memberi gambaran cukup luas kepada publik tentang “gurita ekonomi” sang guru dan murid.

Usai Soeharto lengser, sejumlah aktivis, pengacara, wartawan, dan pegiat sosial lainnya membentuk Solidamor (solidaritas Indonesia untuk penyelesaian damai Timor Leste), pada 14 Juli 1998. Mereka antara lain saya, Coki, Yeni, Helmy Fauzi, Maria Pakpahan, Mindo Rajagukguk, Roy Pakpahan, Zilstra Makagiansar, Andriyanto, Gustav Dupe, Trimedya Panjaitan dan Johnson Panjaitan dan lain-lain. Para aktivis kemudian mendaulat tiga tokoh yang cukup dekat dengan isu Timor Leste yaitu Lukman Soetrisno, Romo Mangun Wijaya, dan George J Aditjondro. Bagi aktivis Timor Leste, nama GJA sudah tak asing lagi. Ia bahkan mempunyai nama perang atau samaran “Kamarada Railakan”.

Aktifitas Solidamor pada 1998 dan 1999 cukup intens dalam mengkampanyekan isu Timor Timur. Salah satu slogan yang kami usung meminjam ucapan Ben Anderson “Bebaskan Indonesia dari Timor Leste”. Kampanye dilakukan secara popular dari diskusi, bedah buku, melakukan survey, seminar internasional, malam budaya Timor Leste. Kegiatan Solidamor juga melibatkan seniman baik dari Indonesia maupun Timor Leste. Semangat yang dibawa Solidamor seperti sering dipesankan Xanana Gusmao, tokoh perlawanan Timor Leste yang dipenjara di Cipinang (lalu pindah ke Rutan Khusus Salemba), Xanana mengatakan, “Perjuangan aktivis pro demokrasi Indonesia dan aktivis pro kemerdekaan Timor Leste, mempunyai tujuan berbeda tetapi musuh yang sama.”

Pada Nopember 2006 saat GJA hendak menghadiri lokakarya di Bangkok, Thailand, ternyata ia dicekal oleh pemerintah Negeri Gajah Putih itu. Rupanya negeri seribu pagoda itu masuh menggunakan data era Orde Baru. Saya dan beberapa aktivis serta pengacara mendampingi GJA minta klarifikasi di Kedutaan Thailand.

Saya pindah dari Jakarta dan menetap di Yogyakarta mulai 2011. Saya mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD”. Ternyata GJA telah lebih dulu menetap di Jogja, mengajar di Universitas Sanata Dharma pada Program Religi dan Budaya. Pada saat yang sama istri GJA, Erna Tenge, dosen di Universitas Tadulako, Palu, sedang mengambil S3 di UGM. GJA pernah saya undang ke kampus untuk berbicara tentang Papua.

Namun kesehatan GJA kian rapuh, bahkan sempat koma selama tiga bulan di RS Bethesda Yogyakarta. GJA sempat dikunjungi sahabat lamanya dari Timor Leste Jose Ramos Horta. Penerima Nobel Perdamaian bersama Uskup Belo pada 1996 ini meski bisa memegang tangan GJA tetapi tak bisa berkomunikasi secara lancar. Tapi terlihat mata GJA berkaca-kaca. Itulah respon seribu makna dari GJA untuk Ramos Horta.

Usai tak lagi mondok di rumah sakit, meski kondisinya tetap kurang fit, GJA sangat bersemangat kalau mengikuti kegiatan. Ia sangat senang mengikuti pemutaran film dan diskusi Lebih Dekat dengan Papua di STPMD " APMD". Acara ini kerjasama Prodi Ilmu Komunikasi dengan Engaged Media dimana Rico Aditjondro bekerja. GJA juga hadir pada diskusi Peran Tan Malaka dalam Kemerdekaan Indonesia di Pendopo Kinasih IRE Sleman. Ia bertemu penulis Harry A. Poeze. GJA juga datang pada pentas seni Papua di Bentara Budaya Yogyakarta, ia bahkan sempat menampilkan mop Papua.

Beberapa kali saya mengantar kawan dari Jakarta maupun Timor Leste berkunjung ke rumah kontrakannya di jalan Kali Urang Km 4. Mereka antara lain kawan lama, aktivis dan peneliti dari Victoria University Australia Max Lane. Setiap dikunjung kawan aktvis, GJA selalu bersemangat meski tubuhnya tetap ringkih di atas kursi roda. Di Jogja ada seorang bernama Ria Panhar, mahasiswa UGM, kawan main Rico Aditjondro saat kecil di Jayapura dulu. Ria memanggil GJA dengan papa. Dia dan suaminya yang sering mengantar GJA ke cek/kontrol kesehatan, makan di luar, renang, sampai mendatangi acara sekitar Jogja.

Ada dua moment yang membuat George menangis haru. Pertama yaitu saat anaknya, Rico Aditjondro menikah dengan Nabilah Syechbubakar. Pestanya digelar sederhana di Pakem, Yogyakarta. Saya menjadi kian dekat dengan keluarga ini karena sang menantu GJA adalah alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ), almamater saya. Nabilah adalah keponakan sahabat saya yang sudah meninggal, Usman Alhabsyi. Usman adalah aktivis IKIP Jakarta dan Pijar Indonesia yang tinggal di Cirebon, sehingga dialah yang membantu banyak hal saat saya ditahan di LP Cirebon. Nabilah saat masih kecil sering diajak Usman ke kampus atau ke kontrakan. Saya juga sering ke rumah kakak Usman atau umminya Nabilah di kawasan Tanah Abang. Saat saya bertemu dengan ibunya Nabilah – pada cara pernikahan - ia berkaca-kaca, saya yakin ia ingat Usman, adiknya yang telah lama meninggal.

Momen kedua GJA bersedih adalah ketika istrinya berhasil menggondol gelar doktor dari UGM. Di atas kursi roda George menangis. Mungkin ia berpikir akhirnya selesai juga perjuangan panjang meraih jenjang pendidikan S3, dan segera siap-siap kembali ke Palu, Sulawesi Tengah. Sebelum pindah ke Palu sebuah acara digelar untuk para sahabat di Jogja dan sekitarnya, yaitu “Ngeteh Bareng George J Aditjondro” pada 5 September 2014 di Jogja.

Saya Berhutang:
Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. George J. Aditjondro wafat meninggalkan buku-buku karyanya, buku-buku yang ada kata pengantarnya, tulisan di jurnal, paper, makalah dan sekitar 2.000 – 2,500 buku koleksinya. Koleksi buku GJA bisa diakses publik di Iboeku di belakang ISI, Sewon, Bantul. Kata Pramudya Ananta Toer: "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Saya dan beberapa kawan, sebenarnya masih punya hutang untuk merampungkan buku “Bukan Sekedar Mengantar” sebuah buku kumpulan kata pengantar GJA pada buku orang lain. Topiknya sangat beragam, dari soal lingkungan, tentara, Papua, Timor Leste sampai soal korupsi. Namun hingga GJA meninggal dunia 10 Desember 2016, buku belum rampung. Saya dan kawan-kawan harus memacu agar buku cepat selesai.

Akhirnya, GJA telah tuntas melakukan tugasnya sebagai wartawan, peneliti, dosen, aktivis, dan penulis. Ia berjasa tak hanya untuk kemajuan demokrasi di Indonesia, tetapi juga kemerdekaan di Timor Leste. Tugas kita, sebagai generasi muda, adalah meneruskan perjuangannya.
Selamat jalan Bung GJA! Adios Kamarada Railakan!

 *Tri Agus Susanto Siswowiharjo adalah Staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi STPMD "APMD" Yogyakarta

Posting Komentar

0 Komentar