Pengantar Kumpulan Cerpen Manokwari, Impian di Tepi Bakaro




Pengantar Editor–Faiz Ahsoul
Faiz kiri dalam acara Festival Taman Baca. Foto; Christian Senda (http://naked-timor.blogspot.com)
Kali pertama membaca draf naskah kumpulan cerita pendek (cerpen) ini, saya merasa gugup, gagap, bahkan keder. Sebuah karya kumpulan cerpen yang lahir dari rahim para penulis muda yang sebagian besar tumbuh kembang di pinggiran pantai Manokwari, Papua Barat. Sementara saya, lahir di Cirebon, Jawa Barat, tumbuh kembang di pinggiran pantai utara Laut Jawa, (sekarang mukim di Yogyakarta). Sesama anak pantai,—tumbuh kembang dalam buaian angin laut, buih ombak, galangan kapal-kapal, dan perahu nelayan, serta asinnya air laut—namun bentukan sosio-kultural kami berbeda. Ada jarak, ada batas, ada garis tradisi yang tidak sama. Inilah salah satu hal yang membuat saya gagap dan keder ketika menghadapi bacaan dengan gaya bahasa, struktur kalimat, bentuk narasi, dialek dan pola tutur sehari-hari para penulis muda Papua Barat. Kesamaannya hanya satu, kami anak-anak bangsa Indonesia.

Meski para penulis cerpen dalam buku ini menetap, tinggal dan menjadi warga Manokwari, Papua Barat, namun ada beberapa di antara mereka kelahiran tanah Jawa seperti Indah Anggun Mawarni, kelahiran Cilacap, Jawa Tengah. Begitu juga dengan Bunga Nieta Putri Vidanska, kelahiran Yogyakarta. Selain tanah Jawa, ada juga yang kelahiran Sulawesi seperti Yuliana, dia kelahiran Mamuju. Mereka bertiga, berbaur dan menyatu bersama sebelas penulis lainnya. Mencoba mewakili generasi zamannya untuk mengabarkan dan menyuarakan keindahan alam, tradisi, bahasa, identitas, gaya hidup, cita-cita dan jejak cinta anak muda lewat karya cerpen yang kental dengan nilai lokalitas Manokwari, salah satu kota di sudut tanah Papua. Untuk itu, suara bunga rampai identitas mereka saya ikat dalam sub judul buku: Kumpulan Cerpen Manokwari.

Setiap kali mengedit buku, khususnya buku karya sastra, saya selalu berusaha untuk mengetahui asal usul dan identitas penulisnya. Minimal mengerti informasi dasar bentukan lingkungan sosial dan latar belakang pendidikannya. Syukur kalau bisa ‘mengintip’ pola pendidikan keluarga, hobby dan buku-buku yang biasa dibacanya. Informasi dasar tersebut, kemudian menjadi salah satu pijakan saya dalam membaca dan mempelajari draf naskah karyanya.

Para penulis cerpen dalam buku ini rata-rata anak muda; ada yang masih kuliah di UNIPA, tapi ada juga yang sudah sarjana, bahkan asisten dosen dan karyawan perusahaan swasta. Namun yang mengejutkan, di antara mereka ada yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas seperti Ida Fitriyaningsih dan Febty Dwi Jayanti, mereka berdua masih sekolah di SMAN I Prafi. Sementara Bunga Nieta Putri Vidanska, SMAN I Manokwari. Asal-usul yang cukup beragam, mengimbas pada tema cerita yang terselip dalam karya cerpen mereka beragam pula. Begitulah, untuk bisa menangkap pesan dalam cerpen yang ingin disampaikan kepada pembaca, salah satu caranya adalah berusaha untuk mengetahui dan mengenali lebih dekat, bahkan lekat—baik latar penulisnya maupun teks karyanya. Tapi seorang editor, harus bisa objektif dan jaga jarak, agar keotentikan dan orisinilitas karya tetap terjaga. Untuk mengenali dan memahami teks karya, langkah pertama yang saya ambil adalah membaca seluruh tubuh draf naskah dari awal sampai akhir; memberi tanda-tanda khusus pada bagian-bagian yang masih menyimpan tanda tanya dan perlu revisi.

Langkah kedua, membuat catatan-catatan terkait temuan awal membaca. Catatan-catatan ini berupa konfirmasi atau klarifikasi dan rekomendasi. Catatan konfirmasi untuk penulis dan penerbit, berisi data maupun informasi tentang konten naskah, asal usul dan tujuan diterbitkanya naskah. Kemudian catatan rekomendasi untuk penulis, penerbit, dan saya sendiri. Catatan rekomendasi untuk penulis dan penerbit berupa usulan-usulan revisi, mengurangi, menambal dan menyulam kembali untuk penyempurnaan naskah, konsep artistik buku dan desain cover buku hingga terbit. Khusus catatan rekomendasi untuk saya sendiri, adalah sederet literature baik berupa buku, visual, maupun audio visual (film dan video). Tergantung bentuk dan tema draf naskahnya. Langkah ketiga, saya berburu literature yang harus saya baca dan pelajari. Langkah keempat, eksekusi draf naskah atau mengedit teks naskah.

Ketika langkah-langkah kerja tersebut tidak dilakukan editor, bisa dipastikan yang terjadi adalah tindak ‘kekerasan’ terhadap teks dan sikap ‘banal’ terhadap karya maupun penulisnya. Orisinilitas karya akan hilang. Karakter karya berubah total dari bentukan penulisnya. Dan bisa jadi, pesan penulis yang ingin disampaikan ke publik pembaca lewat karyanya akan melenceng jauh. Karya pun menjadi ‘cacat’ atau ‘rusak’. Siapapun editor, penulis, dan penerbit, bahkan pembaca buku, jelas tidak menginginkan hal itu terjadi.

Berdasarkan cara kerja tersebut, saya mulai aktif komunikasi dan korespondensi dengan David Pasaribu, penggerak Komunitas Suka Membaca (KSM) Manokwari sekaligus pembawa draf naskah dan pemegang produksi penerbitan buku ini. Korespondensi antara ‘Tanah Papua’ dan ‘Tanah Jawa’ pun berjalan memakan waktu satu putaran purnama lebih sepekan. Sejak akhir Desember 2013 sampai awal Februari 2014. Antara kota Manokwari dan kota Yogyakarta. Antara David Pasaribu dan saya, juga beberapa orang yang terlibat dalam kerja kreatif penerbitan buku ini. Balik lewat telpon, sms, email, maupun media sosial lainnya.

Di luar korespondensi, saya mulai membekali diri. Saya hunting literature tentang Papua dan mempelajarinya. Kalau bukubuku tentang Papua yang pernah saya baca, cukup saya tengok dan baca kembali sebagai pengingat, di antaranya:“Papua, Jejak Langkah Penuh Kesan” yang ditulis Ahmad Yunus dan Frino Bariarcianur, “Limabelas Tahun Digul” karya I.F.M. Chalid Salim, “Pendingmas” karya Herlina, dan novel “Tanah Tabu” karya Anindita S. Thayf, pemenang pertama sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2008. Sementara buku yang belum pernah saya baca, khususnya terkait dengan sejarah, alam, budaya, tradisi sosiologi dan antropologi Papua, betul-betul saya pelajari. Dan saya cukup beruntung karena tidak perlu jauh-jauh berburu literature tentang Papua. Di Indonesia Buku/Gelaran Iboekoe, perpustakaan komunitas dan taman baca yang saya kelola bersama kawan-kawan di Yogyakarta, ada sekitar 1500-2000an judul buku, paper penelitian, jurnal, maupun majalah koleksi pustaka pribadinya George Junus Aditjondro, seorang doktor dan sosiolog sekaligus aktivis gerakan sosial yang konsen terhadap dinamika dan perkembangan Indonesia Timur. Di antara ribuan koleksinya, saya menemukan beberapa literature tentang Papua yang cukup membantu untuk mengedit draf naskah kumpulan cerpen ini.

Merasa masih kurang dengan membaca buku, saya berburu film dan video tentang Papua. Lagi-lagi, saya cukup diuntungkan untuk kebutuhan literature tersebut. Perkembangan teknologi informasi, sangat membantu sekali. Tinggal buka youtube.com dan ketik Papua, lalu klik; bermunculan sudah film-film maupun video dokumenter tentang Papua. Baik yang hanya menggunakan tanah Papua sebatas latar cinema, maupun utuh tentang dunia keseharian masyarakat Papua, termasuk interaksi dan akulturasi antara warga asli Papua dan warga pendatang. Bahkan film tentang potret pendidikan di Papua, cita-cita serta impian anak-anak Papua, juga banyak dan bisa dijadikan referensi dalam mempelajari Papua. Ada film Di Timur Matahari, Denias Senandung di Atas Awan, Melody Kota Rusa dan filmfilm lain tentang Papua termasuk video-video komedi tanah Papua, MOP Epen kah-Cupen toh.

Film maupun video tentang Papua sangat membantu saya untuk memahami bahasa sehari-hari di Papua. Apalagi cerpencerpen dalam buku ini, menggunakan logika alur cerita, dialek dan struktur kalimat bahasa tutur atau bahasa lisan Papua. Pertama kali membacanya, saya butuh waktu dan proses yang menuntut kesabaran dan ketelitian: saya timang-timang, bolak balik saya baca berulang, bahkan beberapa kali saya perlu menarik nafas panjang dan menutup kembali draf naskah ketika terbentur titik jenuh. Tapi tidak kapok. Bahkan semakin penasaran. Sampai akhirnya, saya menemukan kenyamanan dan keasyikan membaca naskah kumpulan cerpen ini. Ada semacam aura lautan dan daratan Nusantara bagian ujung timur yang menguar kuat di setiap lembar ceritanya, sekaligus potensi kekayaan literasi yang belum diekplorasi dan digali pada setiap jejak goresan karya para penulis muda Papua. Ini salah satu tanda bahwa gerakan literasi di Papua Barat memang belum semarak.

Setelah berhasil menikmati dalam membaca, mengoreksi dan mengedit draf naskah, dari empatbelas cerpen yang ada, saya akhirnya mengantongi tiga judul cerpen bakal calon, untuk diajukan sebagai judul buku. Ketiga judul cerpen tersebut: (1) Asa di Ujung Senja karya Dyah Brigitta L. Ubyaan, (2) Impian di Tepi Bakaro karya Everista Iriani Ayaan, dan (3) Yakobus karya Fiona Luhulima. Begitu selesai saya diedit, saya lontarkan ketiga judul cerpen tersebut kepada David Pasaribu selaku pimpinan produksi penerbitan buku untuk mendiskusikan dengan kawan-kawan di Manokwari.

Pertimbangan mengajukan ketiga judul cerpen tersebut, salah satu argumentasinya saya sandarkan pada karakter cerpen dan pesan yang ingin disampaikan penulis lewat karyanya: Pertama, cerpen dengan judul Asa di Ujung Senja, sebuah cerpen yang cukup matang. Narasinya mengalir, punya karakter cerita tutur ‘Papua Banget’, sekaligus membawa pesan moral tinggi; semangat untuk cepat bangkit ketika mendapat musibah. Kedua, cerpen dengan judul Impian di Tepi Bakaro, menyelipkan nilai atau pesan dalam dunia pendidikan di Papua. Mengajak pembaca, khususnya anak muda Papua, untuk tergugah dan berani mempunyai mimpi, impian serta cita-cita tinggi, dalam bungkus kisah cinta yang samar dan edukatif. Ketiga, cerpen dengan judul Yakobus, dianggap sudah cukup familiar untuk publik media sosial khususnya facebook. Karena sebelumnya cerita ini memang pernah diungah dalam media sosial facebook. Selain itu, cerpen Yakobus adalah MOP dalam berbentuk tulisan. Dan MOP sendiri seperti halnya dongeng, salah satu bentuk karya sastra lisan Nusantara asal Papua.

Setelah didiskusikan bersama dengan berbagai pertimbangan yang berdasarkan pada niat awal penerbitkan buku, (mensuport dan memajukan gerakan literasi di Manokwari, Papua Barat), akhirnya dari tiga judul cerpen yang saya tawarkan, pilihan bersama untuk judul buku, jatuh pada judul cerpen Impian di Tepi Bakaro dengan anak judul Kumpulan Cerpen Manokwari. Bakaro adalah salah satu pantai di Manokwari dengan anak-anak Doreri (anak-anak lokal pantai), sebagai salah satu ikonnya. Harapannya, impian dan citacita anak-anak Doreri memajukan Manokwari dikemudian hari bisa mewujud dan menjadi kenyataan. Tabik.

Silahkan pesan di; http://bukuindie.com

Posting Komentar

0 Komentar