9 Pertanyaan untuk Jecko Siompo

by : Nunik Triana

MUNGKIN hanya segelintir orang saja yang tetap teringat pada tanah leluhurnya saat kesuksesan materi berada di depan matanya. Jecko Siompo salah satunya. Meskipun tawaran menari dari berbagai negara sudah di depan mata, namun koreografer bernama lengkap Kurniawan Siompo ini lebih memilih tetap di Indonesia untuk mengembangkan tarian Papua. Baginya tarian Papua adalah awal dari seluruh tarian di dunia.


“Tarian Papua seperti embrio dari berbagai macam tarian di dunia. Sejauh ini saya sudah melihat berbagai jenis tarian di beberapa belahan dunia dan saya merasakan dan melihat tarian tersebut memiliki kesamaan gerakan dengan tarian Papua,” kata pria kelahiran Jayapura, Papua, 4 April 1975, ini.


Bertempat di Taman Ismail Marzuki, Jurnal Nasional sempat berbincang santai dengan seniman tari yang sempat menimba ilmu di Folkwang Tanz Studio, Jerman, ini. Berikut kutipannya.


1. Bagaimana awal ketertarikan Anda pada dunia tari?

Awal ketertarikan saya karena budaya menari itu kan merupakan budaya keseharian yang ada di Papua. Jadi, bagi saya seperti sesuatu yang sudah dikerjakan sehari-hari saja. Mulai dari tarian perang sampai berburu. Jadi, saya dan tari itu tidak terpisahkan, karena apa pun yang saya lakukan di Papua itu sebenarnya sudah menari.


Niat untuk menggeluti secara serius bidang ini mungkin diawali saat saya melihat tarian break dance. Saat itu, selesai sekolah saya putuskan masuk IKJ. Saya ingin lihat apakah musik itu memang ada ilmunya. Dan dari institut inilah saya akhirnya mengenal bermacam-macam tarian, ada kontemporer, panggung, dan tarian yang serius. Dari situ saya mulai semangat membuat tarian hingga sekarang.


2. Apakah orang tua mendorong Anda menggeluti dunia ini?

Saya tertarik menari sudah sejak kecil, mungkin usia 4 tahun. Tidak ada dorongan dari orang tua hanya kebiasaan kami di sana saja. Lama-lama saya suka dan secara pribadi ingin meneruskan ke jenjang tari karena saya berpikir tidak mau cari yang macam-macam lagi. Menari adalah apa yang ada dalam diri saya, maka saya kembangkan saja apa yang saya punya.


3. Anda sudah melanglang buana, tarian dari negari manakah yang membuat Anda paling terkesan?

Seni tari di Indonesia bagi saya adalah yang terbaik di dunia. Tarian dari Aceh hingga Merauke itu adalah gerakan yang tidak ada di negara mana pun di dunia. Bahkan, kalau Anda tanyakan pendapat tarian yang ada di dunia, maka saya akan ambil contoh Indonesia karena menurut saya Indonesia sudah sangat komplet dari gerakan berdiri hingga lompat. Masing-masing daerah memiliki gerakan masing-masing beserta prinsip-prinsipnya. Kalau di dunia, balet hanya ada satu. Kalau di Indonesia banyak sekali.


4. Selain Anda orang Papua, apa yang memicu Anda fokus pada tarian Papua?

Tarian Papua punya keunikan tersendiri dibanding tarian yang ada di mana pun. Selain itu, tarian Papua seperti embrio dari berbagai tarian di dunia. Sejauh ini saya sudah melihat berbagai jenis tarian di beberapa belahan dunia dan saya merasakan dan melihat tarian tersebut memiliki kesamaan gerakan dengan tarian Papua.


Saat melihat tari-tarian breakdance, hip hop di Amerika hingga suku Asmat dan Dani di Papua, itu saya lihat mereka sangat tradisional sekali, tetapi memiliki prinsip yang sama seperti berlari dan mengadu ketangkasan. Jadi, saya pikir tarian ini embrionya dari Papua. Sedang yang ada di Amerika dan negara lain itu versi modernnya. Jadi, karena saya sudah belajar tarian Papua ketika saya belajar berbagai tarian Barat, tidak hanya hip-hop, saya malah merasa seperti pengulangan.


5. Dasar pemikiran bahwa tarian Papua adalah embrio dari tarian di dunia?

Jujur saya memang telah melakukan pengamatan dari sudut sejarah tentang gerakan tarian di dunia dan tarian Papua beberapa tahun ke belakang. Dan memang ada bukti-bukti yang mendukung hal itu. Seperti PT Freeport di Papua itu sudah masuk pada tahun 1900-an dan saya dengar, menurut legenda di Papua, dulu orang Papua banyak yang diculik untuk dibawa ke Amerika lalu beranak pinaklah mereka di sana. Nah, bisa saja generasi itu yang berkembang untuk kemudian mengembangkan tarian. Tapi, saya sekarang tidak mau mencari kebenaran itu, karena saya sudah merasakan kebenaran itu. Dalam arti, saya banyak rasakan embrio tarian di dunia yang berasal dari Papua.


6. Karya-karya Anda banyak terinspirasi tanah Papua, bagaimana proses idenya?

Karya-karya saya memang mengambil ide dari tanah Papua, tapi bukan berarti saya buat tarian Papua, karena Papua sendiri sudah memiliki tarian khas. Jadi, saya tidak mengolaborasi antara tarian tradisional dan modern, karena bagi saya itu sama halnya seperti mencontek dan merusak tradisi tarian khas yang sudah ada.


Dalam menciptakan sebuah tarian, saya hanya terinspirasi pada apa yang saya lakukan bersama teman-teman, apa kebiasaan sehari-hari yang saya lakukan bersama kepala suku, serta orang tua untuk kemudian saya angkat sebagai sebuah tarian Papua. Dengan tidak mengikutsertakan tarian tradisional asli, maka menjadi lebih aman bagi saya untuk berekspresi.


7. Lantas, bagaimana cara Anda menjaga tarian khas Papua dari kepunahan?

Justru itu, ketika saya buat karya yang di luar adaptasi, maka saya telah membuat rambu-rambu. Jadi, tarian saya itu saya analogikan seperti sebuah pagar yang melindungi tarian khas Papua. Jadi, ini yang saya katakan saya sudah menjaga adat. Jujur saya merasa sangat bangga ketika menarikan tarian Papua. Karena saya merasa tanah Papua itu mendengar bahwa saya sedang melakukan sesuatu untuk dia. Mungkin orang Papua tidak tahu siapa saya, tetapi saat saya menari tarian Papua saya merasa tanah Papua dekat sekali dengan saya dan itulah yang membuat saya semakin jatuh cinta pada tanah Papua.


8. Karya terbaru Anda?

Tentang Papua, judulnya “Yang di belakang, Yang di Depan”. Jadi, idenya berasal dari pemikiran bahwa embrio tarian itu ada di Papua. Jika orang berpikir sesuatu itu ada di paling belakang, maka sebenarnya jika dipikir kembali dialah yang justru ada di depan. Konsep ini merupakan bentuk perenungan saya dari berbagai perjalanan ke beberapa negara.


Rencananya karya ini akan digelar November mendatang. Sedangkan untuk saat ini masih dalam proses pengendapan ide hingga dia mengkristal. Karya itu nantinya tidak bercerita, tetapi hanya sebagai bentuk pengungkapan emosi. Jadi, lebih abstrak. Saya suka yang abstrak karena menjadikannya lebih menarik. Kalau tariannya sangat jelas, maka apalagi yang mau dilihat. Tarian itu tidak perlu dimengerti, tetapi cukup dinikmati saja. Kalau kita berusaha untuk mengerti, maka bukan tarian namanya. Kita lihat tarian orang di pedalaman tentu kita tidak mengerti apa artinya, tetapi kita bisa menikmati. Nah, disitulah indahnya sebuah tarian.


9. Apa yang dirasakan seorang Jecko Siompo saat menari?

Kalau menari biasanya saya baru tersadar jika sudah selesai. Kalau sudah menari saya suka tidak sadar diri. Jadi, saat menari bukan mulut atau hati saya yang bicara, tetapi tubuh saya.

Sumber; http://jurnalnasional.com