Senyuman Terakhir dari Mama


oleh : Philemon Keiya
Mama sakit parah. Ia tergolek lemah hampir empat bulan di atas dipan kayu tuanya. Saya tak dapat meringankan sakitnya. Saya hanya bisa berbuat apa yang bisa saya buat.Mencuci pakaian, cuci alat-alat makan yang setiap hari kami berdua pakai,menyapu halaman dan dalam rumah, itu yang bisa saya kerjakan.

Saat hanya seorang perempuan kecil yang duduk di kelas V SD. Di dalam pikiran saya hanya satu, mama harus cepat sembuh. Saya tidak mau Mama harus pergi meninggalkan saya seperti bapak meninggalkan mama dan saya bertahun-tahun yang lalu. Kenapa bapak pergi? Sampai detik ini saya tidak tahu. Saya hanya mendengar kabar bapa dari celoteh tetangga atau saudara mama yang berkunjung ke rumah kami. Mungkin kini dia sudah berbahagia dengan istri barunya sementara saya dan mama sedang menderita. Kami butuh bapak,tapi tidak bapak tidak pernah datang.

Beberapa hari terakhir ini, keadaan Mama tidak seperti yang dulu. Dia sudah tidak bisa bicara apalagi makan. Saya bingung, saya harus berbuat apa. Saya menangis... saya berdoa... saya meminta Tuhan jangan memanggil mama.

Saya tidak mau dipisahkan dari mama oleh siapa pun, baik itu oleh Tuhan sekalipun. Cukup, bapak dan kedua kakak perempuan saya yang sudah lama tidak bersama kami. Saya mau, saya hanya ingin mama harus ada untuk saya.

Hari ini, kesehatan mama sudah menurun drastis. Tubuh mama sudah sangat lemah. Mama berbisik kepada saya dengan suara yang nyaris tak kudengar. Mama meminta saya dalam ketidakberdayaannya untuk saya tetap harus menjadi seorang perempuan yang kuat, dan setelah mama berbicara beberapa kalimat lagi yang tidak saya pahami, lalu terkulai. Saya baringkan mama di atas kasur yang sudah saya siapkan.

Entah kenapa, malam itu mata saya tidak tertutup. Saya menatap wajahnya sepanjang malam tanpa bisa menutup mata sedetik pun. Perasaan  saya sudah mulai bercampur aduk.

Tubuh saya pun mulai melemah lemah. Saya bingung meminta bantu an siapa. “Apakah, jam segini, bapak sedang tertidur pulas disamping istrinya, di atas kasur yang bagus,” pikir saya. Kedua kakak perempuan saya? entah dimana mereka.

Saat seperti ini, saya benar-benar merindukan mereka. Saat ini, saya ingin benar-benar ingin dipeluk, ingin dimanja oleh mereka seperti teman-teman lain. Saya sangat ingin tidur dipelukkan bapak tercinta. Saya mau dipeluk oleh kedua kakak saya. Saya sangat ingin.

Memasuki pukul 02.00 dini hari, dingin malam mulai menusuk. Saya benar-benar ingin dipeluk seseorang dan beranjak dan memeluk mama. Sedikit kaget, ketika saya sadari tangan yang tidak berdaya itu memeluk saya. Saya dapat melihat, mata mama saya meneteskan air mata. Saya tersenyum kepadanya, kemudian mengusap airnya. Mama ersenyum.

Pelukan hangat, butiran air mata dan senyuman manis itu merupakan hal yang terakhir yang mama lakukan kepada saya.

Pukul 03.40 subuh, mama menghembuskan nafasnya. Dia pulang kepada Yang Maha Kuasa untuk selamanya.  Dia pergi. Pergi untuk selamanya. Entah kemana. Yang saya tahu, mama sudah tidak bergerak lagi dan senyuman manisnya tidak saya lihat lagi. Saya melihat, mama menutup mata untuk selamanya.

Hati saya sangat perih. Saya sangat rindukan pelukan mama dan juga senyum manisnya. Saya menangis tersedu seorang diri. Benar-benar seorang diri di rumah ini, tanpa bapak dan kedua kakak perempuan saya. Rasa sedih ini membuat saya melupakan segalanya, lupa makan, lupa waktu. Saya meletakan kepalanya dipaha dan menangis.. terdiam.. lalu menangis lagi. Berhari-hari.

Memasuki hari ke-empat, Om Frans, begitu saya memanggilnya, tetangga kami datang ke rumah kami. Ia sudah tiga hari tidak melihat saya beraktivitas. Ia melihat saya memeluk jasad mama, lalu memeluk kami berdua dan menangisi kami.

Om Frans lalu memberitakan kematian mama kepada tetangga dan semua sanak keluarga kami. Semua tetangga kumpul dan keluarga berdatangan. Tubuh mama saya mulai membusuk di pangkuan saya. 

Kami menguburkan mama di kuburan umum kampung, saat senja benar-benar menjingga. Saya mampu menuburkannya atas bantuan keluarga dan tetangga.

Saat kegelapan menghampiri kuburan kampung, saya meninggalkannya di tempat peristirahatan terakhirnya. Dalam perjalanan pulang, saya melihatsosok mama tersenyum manis. Saya pulang bersama semua orang yang datang melayat.

Selamat jala Mama, senyum manismu selalu kan ku kenang, kata ku dalam hati.

Posting Komentar

0 Komentar