Senja Kelabu di Ataidimi


oleh : Philemon Keiya
Air matanya terus mengalir. Pipi hitam manis ternoda dengan butiran perak yang berjatuhan. Sejak pagi Rina duduk seorang diri di atas bukit Ataidimi. Mulutnya terkunci, tak mampu bicara.
Matanya memerah dan bengkak. Tubuh indah bak gitar spanyol. Rambut keritingnya tak terlalu panjang itu sengaja dibiarkan tergerai tak terurus.
Dibawah sebuah pohon besar. Baju oblong berwarna hijau yang membungkus tubuhnya terlihat kontras dengan warna kulitnya. Rina mengenakan celana hitam panjang, dengan jaket besarnya di samping tubuhnya. Rina, anak pertama dari tiga bersaudara.
Wajahnya yang dahulu selalu ceria, kini berubah. Murung dan diam. Kusut. Seorang diri. Di dalam hutan. Di atas gunung Kemuge.
Tak terasa, matahari kini condong ke bagian barat, tertutup awan kelabu. Mentari sendu seperti hati Rina. Angin sore tertiup dari kampung Puweta. Senja tak kunjung datang. Senja kelabu. Rina mencoba berdiri dan rentangkan kedua tangannya. Ia berusaha mengusir bebannya yang ada di pundak.
Ia meraih nokennya. Dalam noken hanya dua buah nota*1 . Nota tidak terlalu besar.
Noken yang pernah ia jahit sendiri beberapa bulan lalu. Ia jahit dengan cara modern. Pakai hakpen dan benang manila.
Sebenarnya, noken itu ingin ia berikan kepada Sonny, teman sekelasnya di SMP. Diam-diam Rina suka dengannya. “Tapi saya seorang perempuan. Sonny yang harus ungkapkan perasaannya kepada saya,” katanya dalam hati.
Noken berwarna hijau hitam, bertuliskan I Love You dengan benang putih. Ia memilih warna putih untuk I Love You, karena cintanya tulus. Dari lubuk hati yang paling dalam.
Warna hijau, saya berharap, hubungan saya dengan dia semoga langgeng terus sampai kami dua sah sebagai suami istri bahkan ajal memisahkan,” katanya berangan saat itu.
Tetapi..
Seminggu empat hari, Rina seorang diri di dalam hutan. Dingin selalu datang. Sunyi menjadi sahabatnya. Ia benar-benar sepi.
Ia jauh dari para sahabatnya, Merry, Jenny dan Nika. Kedua adiknya . Jauh juga dari mamanya.
Seandainya mereka ada, saya pasti akan kuat. Saya tidak seperti sekarang ini!”
Ia jauh dari rumah. Ia benar-benar sepi. Kesunyian menyelimuti Gunung Kemuge, menjadi rumah luasnya. Dengan halaman luas yang indah nan sejuk.
Sejak hari pekan lalu, terpaksa harus keluar dari rumahnya. Rumah yang menjadi tempat segalanya bagi Rina bersama keluarganya.
Anak, ko harus pergi cepat. Lari. Ingat, jangan ada orang yang ketahuan,” kata mamanya siang itu.
Mamanya hanya bisa menangis. Tidak bisa membantu lebih. Jika membantu, pukulan akan mendarat di tubuhnya. “Selagi masih ada matahari, harus pergi. Lari. Kalau ada orang yang tanya, bilang saja mau ke keluarga.” Mamanya menambahkan.
Jangan pernah lupa Doa. Mama juga akan selalu Doakan” lanjut mamanya.
Seusai ibadah hari minggu raya, Rina terpaksa keluar dari rumahnya. Rumahnya di Kampung Debei. Kampung yang tenang, jauh dari hiruk – pikuk kota.
Rina sudah berhasil lewati beberapa kampung. Hingga tiba di Kampung Deemago. Kampung terakhir dari Debei yang berbatasan langsung dengan lembah Kamuu - Dogiyai. Di ujung rumah, ia lari sekuat tenaga. Ia tidak menoleh ke belakang dan samping kiri kanan.
Tiba-tiba ia langkahnya berhenti. Sebuah lantunan suara Wiiyai terlantun merdu. Dedaunan menari. Dahan-dahan pun ikut bergoyang. Hembusan angin dingin dari Muguboopa memukul dadanya perlahan.
Muguboopa, sebuah tebing dan lobang besar yang ada di ujung perkampungan Debei. Muguboopa menyimpan berbagai cerita misteri.
Rina mencoba untuk mengakhiri segala ceritanya. Walau cepat, itu cara tepat. Biar tidak berlanjut. Tapi, kalbunya merontak. Keinginannya meminta paksa untuk mencoba. Mencoba untuk buat cerita baru. Lompat di Muguboopa. Cerita yang tidak akan pernah diketahui oleh siapapun. Kecuali TUHAN.
Tapi, kalbu merontak. Sama sekali tidak mengizinkan Rina. “Rina, masalah itu hanya proses pendewasaan. Masalah pasti ada ujungnya. Walau sakit, harus tahan. Kuatkan hati dan tetap bersabar,” tuah hati.
Rina diam sejenak. Kalbu menang.
Gelap sudah menyelimuti. Rina sudah ada di bawah sebuah batu besar. Dan diam seorang diri disana. Pasukan nyamuk datang silih berganti menemani. Gemintang di langit menjadi lampunya. Kesepian tak bertepi hadir dalam angannya.
Sementara itu, di rumah kembali ribut. Amarahnya sudah di ubun-ubun. Berbagai kata yang tak pantas mulai mengalir dari mulut Matiyuti, bapaknya Rina. Beberapa pukulan sudah mendarat di badan mama.
Saya sudah bilang. Besok pagi Yulianus akan datang kesini. Rina harus kawin dengan Yulianus. Kalau tidak, nanti saya panah Rina,” ancam Matiyuti.
Tapi, Yulianus itu sudah ada dua istri. Rina itu masih SMP. Rina harus sekolah...”
Pllllaaaaakk..!”
Sebuah kayu berukuran besar menghujam di kepala. Mama Rina tidak sadarkan diri. Kepalanya bercucuran darah. Beberapa pukulan pakai kayu juga mendarat di bagian tubuh lain. Lemah.
***
Saya punya anak itu masih kecil. Saya juga mau, saya punya anak harus jadi pegawai besar. Kalian jangan pernah berharap. Kasihan kamu. Kalian, pikir bisa. Yulianus itu sudah punya istri dua dan banyak anak. Saya punya anak harus sekolah. Jangan pernah ganggu saya punya anak,” teriak Mama Rina pagi-pagi dari depan rumahnya.

Hitamnya rambut berubah menjadi merah akibat darah. Darah keluar banyak. Rasa peningnya masih terasa.
Beberapa tetangganya datang ke rumah. Mama Rina ceritakan semua. Ia mencoba melawan dalam ketidakberdaayaan. Dan, hal itu menjadi bahan cerita bagi kampung di sekitar.
Matiyuti mau anaknya harus kawin dengan salah satu temannya, Yulianus. Bagi Matiyuti, masa depan bagi Rina sama sekali tidak penting. Dalam waktu yang dekat, Rina harus masuk di rumahnya Yulianus walau istri ke-tiga dan ambil maskawin. Lalu, turun ke Nabire. Itu saja.
Masa depan Rina, Matiyuti pernah pikirkan? Sama sekali tidak.

***
Ia masih duduk disini. Memandangi indahnya lembah Kamuu dari Ataidimi. Lembah Kamuu tenang dan teduh. Suara anak-anak kecil dari kampung Puweta terdengar. Tidak ada senja yang indah. Mendung.
Senja kelabu. Hanya hitam dan putih yang nampak. Benar-benar kelabu. Entah hitam atau putih, tidak nampak secara jelas.
Rina, sejak umur masih belia, dia menjadi Wakaakeeke. Waka oki-oki atau yang dalam penyebutannya Wakaakeeke, panggilan khusus kepada para perempuan Mee yang dipaksa kawin kepada orang yang sama sekali mereka tidak ada rasa cinta. Para wakaakeeke biasanya dipaksa oleh bapa dan para saudara laki-laki.
Untuk bentuk kekesalan dan tidak setuju dari para perempuan, mereka akan menghilang dari rumah dan bersembunyi di gunung-gunung. Tempat persembunyian mereka hanya diketahui orang tertentu saja.
Wakaakeeke akan mengasingkan diri. Jauh dari rumah dan kerabat. Itulah bentuk protes mereka. Protes terhadap kawin paksa. Bahwa, setiap orang punya hak untuk menentukan. Menentukan dalam hak apa saja.
Dalam usia masih belia, Rina menyandang status wakaakeeke. Wakaakeeke, sama sekali tidak diinginkan kepada siapapun untuk para perempuan. Termasuk Rina.
Rina punya hak. Haknya sudah jatuhkan pilihan. Sonny, itu pilihan terbaiknya. Sang malaikat dalam hati. Dia yang selalu hadir dan menghiasi mimpi.
Sore ini, ia memutuskan untuk pulang. Pulang ke rumahnya. Sebuah keputusan yang penuh kontroversi dengan hatinya. Keputusan senja kelabu dalam penuh gundah.
Semoga hari Senin besok, dia bisa pergi ke sekolah. Meraih bintang bersama Merry, Jenny dan Nika. Pastinya juga dengan Sonny.
Bintang untukmu, Mama. Akan ku raih. Pasti itu’.
Senja kelabu, selalu saja ada diantara hitam dan putih. Belum pasti!
Senja Kelabu, Wonosari - Malang, 02-07-2015

Posting Komentar

0 Komentar