Melanesia, Sejarah dan Politik sebuah Gagasan (2)


Oleh Stephanie Lawson
Diterjemahkan oleh Veronika Kusumaryati

Pengantar dari penerjemah
     Bagian pertama dari tulisan ini telah memberikan pengantar dan sejarah munculnya pembagian wilayah Pasifik menjadi tiga wilayah geokultural: Polinesia, Mikronesia dan Melanesia. Di antara ketiga wilayah ini, Melanesia merupakan wilayah dan istilah yang paling kontroversial. Di dalam studi antropologi, salah satu kajian yang paling berpengaruh pada masyarakat Melanesia adalah artikel Marshall Sahlins, seorang antropolog Amerika yang menulis sebuah artikel berjudul “Poor Man, Rich Man, Big Man, Chief: Political Types in Melanesia and Polynesia” (1963, bisa diterjemahkan sebagai “Orang Miskin, Orang Kaya, Orang Besar, Kepala Suku: Jenis-jenis Kepemimpinan Politik di Melanesia dan Polinesia”). Bagian ini akan berangkat dari artikel Sahlins untuk melihat dinamika politik regional terutama yang berkenaan dengan orientasi politik para pemimpin Polinesia. Bagian ini juga merupakan latar belakang dan studi geopolitik atas munculnya persaingan antara “Jalan Pasifik” yang banyak dipercaya oleh negara-negara Polinesia dan “Jalan Melanesia” yang nantinya akan menjadi satu wacana politik baru dari para intelektual dan negara-negara Melanesia. Bagi Stephanie Lawson, penulis artikel ini, kita tidak akan bisa memahami kebangkitan Melanesia sebagai sebuah kategori politik tanpa melihat situasi geopolitik yang lebih luas di Pasifik, terutama interaksi antara Polinesia-Melanesia.

Laki-laki berwibawa (big men) dari suku Hubula. Foto oleh Rhett A. Butler. Hak cipta: mongabay.com

Artikel Sahlins mendapat perhatian kritis yang sangat besar. Banyak pengkritiknya berusaha secara keras untuk menunjukkan banyaknya perkecualian dalam generalisasi Sahlins. Mereka menyoroti berbagai macam jenis kepemimpinan, terutama di dalam kategori masyarakat Melanesia sendiri.[1] Keanekaragaman merupakan salah satu aspek paling menonjol dari masyarakat Melanesia. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan homogenitas masyarakat Polinesia. Meski demikian, pernyataan ini sering diikuti dengan pernyataan bahwa meski beraneka ragam, ada juga keseragaman dalam aspek tertentu yang membuat masyarakat Melanesia itu bisa dikelompokkan sebagai Melanesia. Dengan asumsi seperti inilah, banyak kajian tentang Melanesia dan atau kepulauan Pasifik sering bermula.[2]
Salah satu ciri yang menonjol dari konstruksi etnologis Melanesia/Polinesia terletak pada pembedaan politik, yang dicatat dengan sangat tepat oleh salah satu pengkritik Sahlins, Nicholas Thomas sebagai oposisi antara sistem-sistem politik kompetitif dan egalitarian Melanesia dengan sistem bertingkat kepala suku Polinesia. Kedua sistem politik ini diasosiasikan dengan dua jenis tipe kepemimpinan:orang besar (big men) yang mendapat pengaruh dengan cara politik faksional dan manipulasi hubungan pertukaran resiprokal, dan kepala suku yang posisinya berasal dari keturunan.[3] (Mansoben (1989) menggunakan istilah pria berwibawa untuk menyebut big men. Untuk chief dia menggunakan ondoafi yang banyak digunakan dalam sistem kepemimpinan wilayah Tabi di Tanah Papua. Karya Johszua R. Mansoben berjudul Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya merupakan studi cukup lengkap tentang sistem politik suku-suku di Tanah Papua.Pen.).
Kajian Thomas menyoroti bahwa prinsip evolusi yang digunakan untuk memahami keberagaman sosial di banyak analisis sistem politik (termasuk Sahlins) menghasilkan skala linear perkembangan sistem politik dengan jenis kepemimpinan Polinesia yang lebih hirarkis dan bertingkat-tingkat berada di tingkat yang lebih maju dan tinggi daripada sistem politik Melanesia yang kondisinya dianggap lebih tribal dan kurang teratur, dan yang selalu dilihat dari segi ketiadaan (tidak ada raja, tidak ada tentara, dan lain-lain. Pen.). Sebagai tambahan, karena jenis kepemimpinan Polinesia mirip dengan model aristokrasi [Barat], jenis kepemimpinan ini dirasa lebih bisa diterima (setidaknya di kajian dan tulisan-tulisan gaya lama).[4]
Berkaitan dengan atribut politik, seorang akademisi bahkan menggunakan pembedaan ini dalam aspek berfungsinya lembaga-lembaga negara sekarang. Di tengah kudeta militer di Fiji, hampir runtuhnya sistem negara di Kepulauan Solomon, dan konflik yang terus-menerus terjadi di PNG dan Vanuatu, Benjamin Reilly berargumen, “Kebanyakan negara Melanesia dilanda penyakit di mana negara tidak berfungsi dengan baik, pertumbuhan ekonomi negatif, konflik etnis terus terjadi, pemerintahan lemah dan kudeta militer.”
Perbedaan yang mencolok terjadi di negara Polinesia yang “terbukti menjadi negara pascakolonial yang relatif berhasil, dengan pemerintahan yang cukup stabil, keberlanjutan kebijakan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik meski tak spektakuler dan tergantung dengan bantuan asing”.[5] Perbedaan mencolok yang digambarkan Reilly dan kesimpulannya telah banyak ditentang.[6] Namun yang penting, argumentasi Reilly menggambarkan bagaimana pembagian antropologis, meski telah dikritik karena menggeneralisasi stereotip regional berdasarkan dikotomi kasar[7]masih banyak digunakan dalam studi politik dan terus-menerus dipakai oleh para akademisi dan orang-orang yang ingin memahami perbedaan gaya politik dan nasib politik negara-negara di wilayah ini.[8]
Sekarang kita akan masuk ke soal identitas regional yang lebih besar yang tercermin dalam istilah “Jalan Pasifik”, yang meski ingin mencakup semua kepulauan Pasifik sesungguhnya adalah ekspresi identitas yang sebagian besar mengambil dari model Polinesia. Tujuan membicarakan Jalan Pasifik ini adalah untuk menyoroti bagaimana negara-negara kepulauan Pasifik mempercayai pembedaan Polinesia/Melanesia dan bagaimana pembedaan ini memainkan peran dalam sejarah dan politik hubungan regional di masa kolonial dan pasca-kolonial.


Gambar 2. Poster untuk Festival Seni Pasifik tahun 2016. Sumber foto: http://www.creativenz.govt.nz.
Dasar Polinesia “Jalan Pasifik”
            Jalan Pasifik sekarang ini merupakan salah satu frase klise. Sama seperti istilah ‘surga’ –sebuah deskripsi romantis yang dilekatkan pada pulau-pulau Pasifik secara umum. Istilah surga secara khusus ditujukan untuk Polinesia. Istilah ini dibuat oleh para penjelajah awal Eropa. Istilah ini jarang sekali diterapkan untuk Melanesia.
            Gagasan Jalan Pasifik diciptakan oleh perdana menteri pertama Fiji Ratu Sir Kamisese Mara di sebuah pidato di Sidang Umum PBB pada bulan Oktober 1970, tak lama setelah Fiji bergabung dengan PBB sebagai negara merdeka. Pidatonya memberi hormat pada negara-negara Pasifik – Samoa, pulau Cook, Nauru dan Tonga – yang semuanya mendapatkan kemerdekaan dengan relatif mudah dibanding negara-negara lain yang harus melalui jalan penuh kekerasan dan kekacauan. Menyangkut soal pelepasan dari penguasa kolonial sebelumnya, Mara mengatakan, “Kami berpikir bahwa inilah Jalan Pasifik, baik secara geografis maupun ideologis.”[9]
            Seperti yang digambarkan di tulisan saya yang lain,[10] Jalan Pasifik segera menggambarkan identitas politik kolektif hampir semua negara kepulauan Pasifik di masa pasaca kolonial. Ia mengklaim karakter Pasifik yang khas yang berdasar pada nilai-nilai sosial dan politik yang hampir sama, yakni toleransi dan konsensus. Dengan wacana yang semakin banyak diproduksi oleh para ahli di luar Pasifik, Jalan Pasifik mendapatkan konotasi antikolonial seperti wacana tentang nilai Asia atau Jalan ASEAN di Asia timur dan tenggara. Jalan ASEAN juga mengambil beberapa watak budaya yang dianggap sama di antara negara-negara di wilayah itu, menekankan identitas regional yang merdeka vs. Barat yang dominan secara geopolitik.
Wacana kawasan yang cukup luas dari Jalan Pasifik ini telah dilengkapi (bukannya dilawan) dengan berbagai formulasi nasional seperti anga fakatonga (Jalan Tonga), fa’a Samoa (Jalan Samoa), dan vakaviti (Jalan Fiji). Meski memfokuskan diri pada istilah identitas pribumi yang lebih sempit, istilah-istilah ini berhubungan dengan artikulasi kawasan yang lebih besar dan berkontribusi pada argumen kawasan ini, terutama bagaimana setiap istilah menggambarkan kekuatan kepala suku tradisional yang dilekatkan pada jenis organisasi politik Polinesia.[11]
Wacana ini, seperti kawan-kawan Asia mereka, telah dikontraskan dengan –bahkan diartikulasikan sebagai oposisi dari—praktik dan gagasan demokratis, yang bagi pembela-pembela lembaga tradisional sering disebut sebagai asing, baik di dalam konteks politik lokal maupun kepulauan Pasifik secara lebih besar.[12] Wacana kastom di masyarakat Melanesia juga memiliki konotasi anti-penjajahan yang diciptakan sebagai oposisi dari gagasan, nilai-nilai, praktik dan institusi Barat seperti yang akan kita lihat berikut. Namun wacana kastom tidak mengindikasikan sikap antidemokratik yang eksplisit seperti Jalan Pasifik.
Berkaitan dengan Jalan Pasifik, referensi awal Mara berfokus terutama pada negara-negara pulau, yakni Fiji, Tonga dan yang nantinya disebut Samoa Barat. Dua negara yang terakhir dianggap sangat Polinesia atau setidaknya sesuai dengan model sosiopolitik hirarkis yang digambarkan oleh banyak kajian antropologi. Fiji sedikit lebih kompleks. Meski sering dimasukkan ke dalam kategori Melanesia, banyak kajian akademik menunjukkan adanya percampuran antara pengaruh Melanesia dan Polinesia.[13] Lebih penting dari sekadar perspektif politik, Fiji juga telah didominasi setidaknya pada abad 19 oleh elit kepala suku dari bagian timur Fiji yang memiliki hubungan dekat dengan Tonga dan Samoa. Bahkan, sebelum penjajahan Inggris, bagian timur Fiji dijajah oleh Tonga dan Ratu Sir Kamisese Mara diberi gelar Samoa, Tamasese.[14]


Gambar 3. Ratu Sir Kamisese Mara dan Pangeran Charles: Tiada lagi Penjajah dan Terjajah? Sumber foto: http://www.radionz.co.nz/
Maka, meski bagian barat dan tengah Fiji sering digambarkan sebagai Melanesia terutama dalam hal ciri-ciri fisik orangnya dan struktur sosial politik mereka yang lebih egalitarian dan berskala kecil, wilayah timur yang lebih dominan secara politik menampakkan gaya yang lebih khas Polinesia, lengkap dengan sistem politik yang hirarkis dan berskala besar dan dipimpin oleh kepala suku besar otokratik yang statusnya lebih banyak ditentukan oleh keturunan—semua ciri yang sangat akrab dengan lensa interpretasi Eropa dan yang membuat para pejabat kolonial awal melihat Fiji timur sebagai lebih ramah pada apa yang mereka sebut sebagai pemerintahan yang baik.[15]
Mara sendiri adalah seorang kepala suku besar dan mengganggap dirinya Polinesia. Sebuah catatan harian lapangan dari masa bertugasnya sebagai kepala distrik kolonial di provinsi Ba pada tahun 1957 tidak memberikan rasa ragu sedikit pun atas identitas dirinya vs. orang-orang Fiji di provinsi itu dan daerah lain yang dia sebut sebagai Melanesia. Bercerita tentang kesulitan yang dia hadapi dalam meyakinkan komunitas lokal bahwa gedung sekolah yang baru harus dibangun di tempat tertentu daripada di tempat yang mereka sukai, Mara menulis,
“Saya mengadopsi perilaku otokratik untuk dapat menghadapi perubahan pikiran khas Melanesia yang telah menciptakan beberapa faksi untuk ngotot mempertahankan sebuah tempat yang sangat sulit diakses meski berbagai alasan telah diajukan untuk melawannya. Saya telah sering menghadapi perilaku Melanesia yang keras kepala tanpa alasan yang jelas di Namosi. Saya melihat bahwa orang-orang yang hidup keras seperti suku-suku pedalaman ini tidak terlalu suka dengan dialektik. Namun begitu, mereka merespon dengan cepat dan bersedia mengikuti komando/perintah otokratik.”[16]

Terlebih penting dalam konteks politik kawasan di masa pascakolonial, Mara memperlihatkan permusuhan yang cukup besar terhadap partisipasi dalam urusan-urusan regional oleh negara Melanesia terbesar, Papua Nugini (PNG) setelah mereka mendapatkan status pemerintahan sendiri pada tahun 1970-an. Komisi Tinggi Australia di Suva melaporkan sebuah wawancara dengan Mara pada tahun 1971 sebelum pembukaan rapat Forum Pasifik Selatan di Wellington.
Mara dilaporkan keras dalam oposisinya terhadap berbagai bentuk partisipasi PNG. Hal ini terjadi saat seorang warga PNG Oala Rarua sedang dipertimbangkan untuk menduduki posisi sekretaris jendral Komisi Pasifik Selatan,yang didukung secara kuat oleh Australia. Untuk Mara, terpilihnya Oala akan menjadi akhir dari Komisi ini. Laporan ini juga mengatakan,
“Raja Mara sangat sadar akan darah aristrokrasi Polinesia. Dia adalah saudara darah dari perdana menteri Samoa Barat dan Tonga. Saya percaya bahwa dia melihat PNG dalam gambaran negara primitif dan karena mereka besar, mereka akan mendapatkan kursi kepemimpinan regional di Pasifik dan bukan negara-negara Polinesia yang lebih maju. “[17]

Ciri penting lain dari Jalan Pasifik Mara adalah bahwa sejak dari awal artikulasinya ia tidaklah bersifat antikolonial, meski sepertinya istilah ini terlihat menekankan identitas antikolonial seperti yang akhir-akhir ini dilekatkan pada istilah ini. Pidato PBB Mara menggambarkan Jalan Pasifik sebagai pelajaran dalam perilaku model dari bekas negara jajahan dan kekuatan kolonial seperti yang terlihat dari proses kemerdekaan yang dialami oleh negara-negara Pasifik, yang pada saat itu tidak melibatkan satu pun negara Melanesia.Tak diragukan lagi bahwa Mara memikirkan kekerasan yang lekat pada proses kemerdekaan negara-negara Afrika dan beberapa negara Asia, terutama di subbenua Asia.
Terkait dengan Pasifik, kita akan melihat sebentar lagi bahwa pandangan khas Mara tentang Jalan Pasifik saat ini sangat kontras dengan aspek wacana Melanesia yang mengarah pada dan mencakup masa kemerdekaan dan yang secara eksplisit antikolonial. Jalan Mara juga menggambarkan pentingnya kepemimpinan tradional yang nilai-nilai terbaiknya digambarkan dan dilestarikan sebagai basis dari tindakan politik. Dalam visi Mara, tentu saja, gaya kepemimpinan yang disukai adalah Polinesia. Hau’ofa juga mencatat bahwa di dalam politik internal Tonga, Samoa dan Fiji, “pemimpin kadang menekankan unsur aristokrasi pribumi dari tradisi kepemimpinan mereka karena di sanalah kepentingan mereka dapat terwujudkan.”[18]
Hau’ofa secara jelas meletakkan struktur politik dominan Fiji dalam kerangka sistem Polinesia. Jalan Mara mencakup unsur-unsur elitis yang bukan hanya secara implisit menjadikan bentuk hirarki Polinesia sebagai titik rujukan, namun juga sebuah pemahaman bahwa hirarki Polinesia memberikan harmoni dan kesepahaman antara penjajah dan yang dijajah berdasar pada komitmen bersama pada nilai-nilai sosio-politik yang konservatif.[19] Lagi-lagi, hal seperti ini hampir tidak pernah dikatakan untuk Jalan Melanesia atau pun kastom Melanesia.
Sangat penting untuk mencatat di sini bahwa transformasi Jalan Pasifik menjadi sesuatu yang mirip dengan wacana kritis pascakolonial adalah perkembangan terakhir yang kebanyakan diartikulasikan oleh orang-orang asing seperti Ron Crocombe yang mengambil frase Mara namun membelokkannya ke arah yang sangat berbeda.[20] Crocombe mengidentifikasi sekelompok inti elit dari negara-negara Pasifik yang menemukan Jalan Pasifik, setidaknya pada masa awal terbentuknya wacana ini, berguna bagi mereka, seperti untuk Fiji, Tonga dan Samoa.  Hal ini terutama terjadi karena negara-negara ini adalah negara-negara yang baru merdeka. Mereka berada tepat di pusat wacana ini, memberi substansi dan bentuk wacana Jalan Pasifik.[21] Crobombe mengamati bahwa Jalan Pasifik berlaku terutama pada negara-negara kelompok berbahasa Inggris yang terdiri dari pulau-pulau tropis di selatan Pasifik dan kurang penting atau kurang berarti bagi pulau-pulau Pasifik yang lain. Bagi negara-negara ini, relevansi Jalan Pasifik tergantung pada alasan dan koneksi mereka dengan kelompok inti. [22]
Crocombe juga mencatat bahwa ciri utama dari kelompok negara ini adalah sistem keturunan kepala suku yang sangat kuat.  Dalam wacana Jalan Pasifik, perbedaan antara mereka yang memiliki hirarki keturunan bertingkat dan masyarakat egalitarian yang terbangun dari bawah di Pasifik Barat –Melanesia – cenderung diminimalisir demi perkembangan kesatuan Pasifik yang membutuhkan penekanan perbedaan internal dan memaksimalkan kesamaan.[23]
Crocombe menyatakan bahwa ideologi kepala suku yang tersebar dari kelompok pulau inti menunjukkan bahwa struktur sosiopolitik yang sangat hirarkis memiliki kekuatan dan pengaruh ke kawanan negara yang lebih besar, hingga pada tingkat bahwa gagasan kepala suku telah menjadi bagian yang diterima dari Jalan Melanesia. Meski dalam konsepsi Jalan Melanesia, ada ketegangan antara penghargaan atas hak istimewa dan kesetaraan.[24] Maka analisis Crocombe mendukung argumen bahwa dasar pemikiran Jalan Pasifik sangatlah bersifat Polinesia.
Ahli lain juga mengidentifikasi gagasan inti yang melandasi Jalan Pasifik yang terikat dengan kelompok elit dengan koneksi kuat di Polinesia. Kritik Howard tahun 1983 terhadap ‘sosialisme Melanesia’ sesungguhnya memberikan ruang yang sangat besar pada diskusi Jalan Pasifik, menggambarkannya sebagai bercita rasa Polinesia, dengan resonansi elit ni-Vanuatu yang dididik di Universitas Pasifik Selatan  yang telah menjadi tempat bagi popularisasi gagasan Jalan Melanesia.[25]
Di karya yang lain, Hooper dan Huntsman mendiskusikan kemunculan gagasan Jalan Pasifik sebagai sesuatu yang membedakan orang-orang Pasifik dengan yang lain, terutama orang Eropa. Namun mereka mencatat bahwa istilah ini “cukup umum untuk mengumpulkan gagasan kesatuan berdasar pada tradisi dan keturunan yang sama.”[26] Implikasi penting dari pernyataan ini adalah Jalan Pasifik lebih cocok bagi Polinesia daripada Melanesia.
Hooper dan Huntsman juga merujuk pada analisis Howard. Mereka menyetujui gagasan bahwa Jalan Pasifik sangat jelas mendukung kepentingan elit tradisional di tempat seperti Fiji, Tonga dan Samoa Barat. [27] Lagipula, kelompok pulau inti diidentifikasi dengan istilah yang secara efektif bernama Jalan Polinesia.

Kesimpulan sementaranya, Jalan Pasifik seperti yang diartikulasikan oleh Mara penuh dengan nilai-nilai yang dipercaya oleh pemimpin-pemimpin politik Tonga dan Samoa. Hal ini berdasar pada model kepemimpinan khas yang muncul di tingkat nasional di setiap negara – sebuah model yang cocok dengan gambaran antropologis konvensional model Polinesia.[28] Titik rujukan utama dari wacana Jalan Pasifik di Fiji/Tonga/Samoa dan sifatnya yang khas Polinesia, termasuk unsur kuat konservatisme sosial dan politik, mungkin merupakan salah satu alasan di antara alasan lain yang membuat diskursus Melanesianisme muncul sebagai ekspresi alternatif identitas sejak pertengahan tahun 1970-an ketika banyak negara Melanesia bergerak menuju negara merdeka.  
Di bagian berikutnya kita akan membahas secara khusus kemunculan “Jalan Melanesia” yang dimulai dengan tulisan-tulisan Bernard Narokobi, seorang intelektual PNG hingga populernya istilah wantokisme di wilayah yang dianggap sebagai Melanesia.




[1] Sebagai contoh, lihat Anne Chowning, ‘Leadership in Melanesia,’ The Journal of Pacific History 14:2(1979), 66-84; Bronwen Douglas, ‘Rank, power and authority:a reassessment of tradional leadership in South Pacific societies,’ The Journal of Pacific History 14:1(1979), 2-27.
[2] Sebagai contoh, lihat I.I. Langness and John C. Weschler (ed.), Melanesia: readings on a culture area (Scranton 1971):10-11. Lihat juga Bruce M. Knauft, From Primitive to Postcolonial in Melanesia and Anthropology (Ann Arbor 1999).
[3] Thomas, “The force of ethnology’, 28.
[4] Ibid.
[5] Benjamin Reilly, ‘State functioning and state failure in the South Pacific’, Australian Journal of International Affairs 58:4(2004), 479.
[6] Sebagai contoh, lihat David Chappel, ‘”Africanization” in the Pacific blaming others for disorder in the periphery?’, Comparative Studies in Society and History 47:2(2005), 286-317.
[7] Lihat Douglas, ‘Rank, power and authority’, 16.
[8] Lihat juga John Henderson, ‘The future of democracy in Melanesia:what role for outside powers?’, Asia Pacific Viewpoint 44:3(2003), 225-41.
[9] Ratu Sir Kamisese Mara, The Pacific Way: a memoir (Honolulu 1997), 238.
[10] Stephanie Lawson, ‘Postcolonialism, neo-colonialism and the “Pacific Way”:a critique of (un)critical approaches’, Sate, Society and Governance in Melanesia Program (hereinafter SSGM), Discussion Paper 4(2010), 1-2.
[11] Ibid.
[12] Stephanie Lawson, Tradition versus Democracy in the South Pacific: Fiji, Tonga and Western Samoa (Cambridge, UK1996).
[13] Analisis Chowning tentang kepemimpinan dalam masyarakat Melanesia tidak memasukkan Fiji karena Fiji beririsan dengan analisisnya tentang Polinesia. Lihat Chowning, “Leadership in Melanesia’, 67.
[14] Mara, the Pacific Way, 9. ‘Tamamase’ adalah gelar kepala suku di Samoa.
[15] Lihat Stephanie Lawson, The Failure of Democratic Politics in Fiji (Oxford 1991).
[16] Sumber berasal dari Robert Norton, catatan dari Nasional Arsip Fiji, Colonial Secretariat Confidential Files.
[17] Australia, Department of Foreign Affairs, Inward Correspondence, Australian High Commission, Suva to Foreign Minister, Canberra (4/7/1971), A1838, 280/18 PART 1. Beberapa tahun setelahnya Mara dan Perdana Menteri pertama PNG Tuan Michael Somare menjadi teman dekat, namun pada tahap awal ini Mara sepertinya memiliki gagasan keterbelakangan Melanesia.
[18] Epeli Hau`ofa, ‘The future of our past’, Bulletin of the Unesco Regional Office for Education in Asia and the Pacific 27(1986), 153.
[19] Lihat Stephanie Lawson, ‘”The Pacific Way” as postcolonial discourse: towards a reassessment’, The Journal of Pacific History 45:3(2010), 297-314.
[20] Ron Crocombe, The Pacific Way: an emerging regional identity (Suva 1976). Untuk analisis tentang bentuk wacana Jalan Pasifik Crocombe, lihat Lawson, ‘”Pacific Way” as postcolonial discourse’.
[21] Tentu saja Polinesia terdiri dari banyak sekali pulau, bukan hanya Fiji, Tonga dan Samoa namun tiga negara ini yang sedang menjadi fokus analisis.
[22] Crocombe, The Pacific Way, 9.
[23] Ibid., 11.
[24] Ibid., 6.
[25] Michael Howard, ‘Vanuatu: the myth of Melanesian socialism’, Labour, Capital and Society 16:2(1983), 183.
[26] Antony Hopper dan Judith Huntsman, ‘History and the representation of Polynesian societies’, dalam Jukka Siikala (ed.), Culture and History in the Pacific (Helsinki 1990), 11, garis miring ditambahkan.
[27] Ibid.
[28] Pada saat itu, Fiji telah ditempatkan dalam model ini karena dominasi politik figur kepala suku dari bagian timur negeri ini namun hal ini tidak berlaku lagi. Mara dan elit kepala suku dalam masa kekuasaannya telah meninggal dunia, kelembagaan kepala suku telah ditempatkan di bawah diktaktor militer dan Fiji sekarang lebih berorientasi ke kelompok Melanesia

Posting Komentar

0 Komentar