Oleh Stephanie Lawson
Diterjemahkan oleh Veronika Kusumaryati
Pengantar dari penerjemah
Bagian
pertama dari tulisan ini telah memberikan pengantar dan sejarah munculnya
pembagian wilayah Pasifik menjadi tiga wilayah geokultural: Polinesia,
Mikronesia dan Melanesia. Di antara ketiga wilayah ini, Melanesia merupakan
wilayah dan istilah yang paling kontroversial. Di dalam studi antropologi,
salah satu kajian yang paling berpengaruh pada masyarakat Melanesia adalah artikel
Marshall Sahlins, seorang antropolog Amerika yang menulis sebuah artikel
berjudul “Poor Man, Rich Man, Big Man, Chief: Political Types in Melanesia and
Polynesia” (1963, bisa diterjemahkan sebagai “Orang Miskin, Orang Kaya, Orang
Besar, Kepala Suku: Jenis-jenis Kepemimpinan Politik di Melanesia dan
Polinesia”). Bagian ini akan berangkat dari artikel Sahlins untuk melihat
dinamika politik regional terutama yang berkenaan dengan orientasi politik para
pemimpin Polinesia. Bagian ini juga merupakan latar belakang dan studi
geopolitik atas munculnya persaingan antara “Jalan Pasifik” yang banyak
dipercaya oleh negara-negara Polinesia dan “Jalan Melanesia” yang nantinya akan
menjadi satu wacana politik baru dari para intelektual dan negara-negara
Melanesia. Bagi Stephanie Lawson, penulis artikel ini, kita tidak akan bisa memahami kebangkitan
Melanesia sebagai sebuah kategori politik tanpa melihat situasi geopolitik yang
lebih luas di Pasifik, terutama interaksi antara Polinesia-Melanesia.
Artikel Sahlins mendapat perhatian kritis yang
sangat besar. Banyak pengkritiknya berusaha secara keras untuk menunjukkan
banyaknya perkecualian dalam generalisasi Sahlins. Mereka menyoroti berbagai
macam jenis kepemimpinan, terutama di dalam kategori masyarakat Melanesia
sendiri.[1]
Keanekaragaman merupakan salah satu aspek paling menonjol dari masyarakat
Melanesia. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan homogenitas masyarakat
Polinesia. Meski demikian, pernyataan ini sering diikuti dengan pernyataan
bahwa meski beraneka ragam, ada juga keseragaman dalam aspek tertentu yang
membuat masyarakat Melanesia itu bisa dikelompokkan sebagai Melanesia. Dengan
asumsi seperti inilah, banyak kajian tentang Melanesia dan atau kepulauan
Pasifik sering bermula.[2]
Salah satu ciri yang menonjol dari konstruksi
etnologis Melanesia/Polinesia terletak pada pembedaan politik, yang dicatat
dengan sangat tepat oleh salah satu pengkritik Sahlins, Nicholas Thomas sebagai
oposisi antara sistem-sistem politik kompetitif dan egalitarian Melanesia
dengan sistem bertingkat kepala suku Polinesia. Kedua sistem politik ini
diasosiasikan dengan dua jenis tipe kepemimpinan:orang besar (big men) yang mendapat pengaruh dengan
cara politik faksional dan manipulasi hubungan pertukaran resiprokal, dan
kepala suku yang posisinya berasal dari keturunan.[3]
(Mansoben (1989) menggunakan istilah pria berwibawa untuk
menyebut big men. Untuk chief dia menggunakan ondoafi yang banyak digunakan dalam sistem kepemimpinan wilayah Tabi di Tanah Papua. Karya Johszua R. Mansoben berjudul Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya merupakan studi cukup lengkap tentang sistem politik suku-suku di Tanah Papua.Pen.).
Kajian Thomas menyoroti bahwa prinsip evolusi yang
digunakan untuk memahami keberagaman sosial di banyak analisis sistem politik
(termasuk Sahlins) menghasilkan skala linear perkembangan sistem politik dengan
jenis kepemimpinan Polinesia yang lebih hirarkis dan bertingkat-tingkat berada
di tingkat yang lebih maju dan tinggi daripada sistem politik Melanesia yang
kondisinya dianggap lebih tribal dan kurang teratur, dan yang selalu dilihat
dari segi ketiadaan (tidak ada raja, tidak ada tentara, dan lain-lain. Pen.). Sebagai tambahan, karena jenis
kepemimpinan Polinesia mirip dengan model aristokrasi [Barat], jenis
kepemimpinan ini dirasa lebih bisa diterima (setidaknya di kajian dan
tulisan-tulisan gaya lama).[4]
Berkaitan dengan atribut politik, seorang akademisi
bahkan menggunakan pembedaan ini dalam aspek berfungsinya lembaga-lembaga
negara sekarang. Di tengah kudeta militer di Fiji, hampir runtuhnya sistem
negara di Kepulauan Solomon, dan konflik yang terus-menerus terjadi di PNG dan
Vanuatu, Benjamin Reilly berargumen, “Kebanyakan negara Melanesia dilanda
penyakit di mana negara tidak berfungsi dengan baik, pertumbuhan ekonomi
negatif, konflik etnis terus terjadi, pemerintahan lemah dan kudeta militer.”
Perbedaan yang mencolok terjadi di negara Polinesia
yang “terbukti menjadi negara pascakolonial yang relatif berhasil, dengan
pemerintahan yang cukup stabil, keberlanjutan kebijakan dan pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik meski tak spektakuler dan tergantung dengan bantuan asing”.[5]
Perbedaan mencolok yang digambarkan Reilly dan kesimpulannya telah banyak
ditentang.[6]
Namun yang penting, argumentasi Reilly menggambarkan bagaimana pembagian
antropologis, meski telah dikritik karena menggeneralisasi stereotip regional
berdasarkan dikotomi kasar[7]masih
banyak digunakan dalam studi politik dan terus-menerus dipakai oleh para
akademisi dan orang-orang yang ingin memahami perbedaan gaya politik dan nasib
politik negara-negara di wilayah ini.[8]
Sekarang kita akan masuk ke soal identitas regional
yang lebih besar yang tercermin dalam istilah “Jalan Pasifik”, yang meski ingin
mencakup semua kepulauan Pasifik sesungguhnya adalah ekspresi identitas yang
sebagian besar mengambil dari model Polinesia. Tujuan membicarakan Jalan
Pasifik ini adalah untuk menyoroti bagaimana negara-negara kepulauan Pasifik
mempercayai pembedaan Polinesia/Melanesia dan bagaimana pembedaan ini memainkan
peran dalam sejarah dan politik hubungan regional di masa kolonial dan
pasca-kolonial.
Gambar 2. Poster untuk Festival Seni Pasifik tahun 2016. Sumber foto: http://www.creativenz.govt.nz. |
Dasar Polinesia “Jalan
Pasifik”
Jalan Pasifik sekarang ini merupakan
salah satu frase klise. Sama seperti istilah ‘surga’ –sebuah deskripsi romantis
yang dilekatkan pada pulau-pulau Pasifik secara umum. Istilah surga secara khusus
ditujukan untuk Polinesia. Istilah ini dibuat oleh para penjelajah awal Eropa.
Istilah ini jarang sekali diterapkan untuk Melanesia.
Gagasan Jalan Pasifik diciptakan oleh perdana
menteri pertama Fiji Ratu Sir Kamisese Mara di sebuah pidato di Sidang Umum PBB
pada bulan Oktober 1970, tak lama setelah Fiji bergabung dengan PBB sebagai
negara merdeka. Pidatonya memberi hormat pada negara-negara Pasifik – Samoa,
pulau Cook, Nauru dan Tonga – yang semuanya mendapatkan kemerdekaan dengan
relatif mudah dibanding negara-negara lain yang harus melalui jalan penuh
kekerasan dan kekacauan. Menyangkut soal pelepasan dari penguasa kolonial
sebelumnya, Mara mengatakan, “Kami berpikir bahwa inilah Jalan Pasifik, baik
secara geografis maupun ideologis.”[9]
Seperti yang digambarkan di tulisan saya yang lain,[10] Jalan Pasifik segera menggambarkan identitas politik kolektif hampir semua negara kepulauan Pasifik di masa pasaca kolonial. Ia mengklaim karakter Pasifik yang khas yang berdasar pada nilai-nilai sosial dan politik yang hampir sama, yakni toleransi dan konsensus. Dengan wacana yang semakin banyak diproduksi oleh para ahli di luar Pasifik, Jalan Pasifik mendapatkan konotasi antikolonial seperti wacana tentang nilai Asia atau Jalan ASEAN di Asia timur dan tenggara. Jalan ASEAN juga mengambil beberapa watak budaya yang dianggap sama di antara negara-negara di wilayah itu, menekankan identitas regional yang merdeka vs. Barat yang dominan secara geopolitik.
Seperti yang digambarkan di tulisan saya yang lain,[10] Jalan Pasifik segera menggambarkan identitas politik kolektif hampir semua negara kepulauan Pasifik di masa pasaca kolonial. Ia mengklaim karakter Pasifik yang khas yang berdasar pada nilai-nilai sosial dan politik yang hampir sama, yakni toleransi dan konsensus. Dengan wacana yang semakin banyak diproduksi oleh para ahli di luar Pasifik, Jalan Pasifik mendapatkan konotasi antikolonial seperti wacana tentang nilai Asia atau Jalan ASEAN di Asia timur dan tenggara. Jalan ASEAN juga mengambil beberapa watak budaya yang dianggap sama di antara negara-negara di wilayah itu, menekankan identitas regional yang merdeka vs. Barat yang dominan secara geopolitik.
Wacana kawasan yang cukup luas dari Jalan Pasifik
ini telah dilengkapi (bukannya dilawan) dengan berbagai formulasi nasional
seperti anga fakatonga (Jalan Tonga),
fa’a Samoa (Jalan Samoa), dan vakaviti (Jalan Fiji). Meski memfokuskan
diri pada istilah identitas pribumi yang lebih sempit, istilah-istilah ini
berhubungan dengan artikulasi kawasan yang lebih besar dan berkontribusi pada
argumen kawasan ini, terutama bagaimana setiap istilah menggambarkan kekuatan
kepala suku tradisional yang dilekatkan pada jenis organisasi politik
Polinesia.[11]
Wacana ini, seperti kawan-kawan Asia mereka, telah
dikontraskan dengan –bahkan diartikulasikan sebagai oposisi dari—praktik dan
gagasan demokratis, yang bagi pembela-pembela lembaga tradisional sering
disebut sebagai asing, baik di dalam konteks politik lokal maupun kepulauan
Pasifik secara lebih besar.[12]
Wacana kastom di masyarakat Melanesia
juga memiliki konotasi anti-penjajahan yang diciptakan sebagai oposisi dari
gagasan, nilai-nilai, praktik dan institusi Barat seperti yang akan kita lihat
berikut. Namun wacana kastom tidak
mengindikasikan sikap antidemokratik yang eksplisit seperti Jalan Pasifik.
Berkaitan dengan Jalan Pasifik, referensi awal Mara
berfokus terutama pada negara-negara pulau, yakni Fiji, Tonga dan yang nantinya
disebut Samoa Barat. Dua negara yang terakhir dianggap sangat Polinesia atau
setidaknya sesuai dengan model sosiopolitik hirarkis yang digambarkan oleh
banyak kajian antropologi. Fiji sedikit lebih kompleks. Meski sering dimasukkan
ke dalam kategori Melanesia, banyak kajian akademik menunjukkan adanya percampuran
antara pengaruh Melanesia dan Polinesia.[13]
Lebih penting dari sekadar perspektif politik, Fiji juga telah didominasi
setidaknya pada abad 19 oleh elit kepala suku dari bagian timur Fiji yang
memiliki hubungan dekat dengan Tonga dan Samoa. Bahkan, sebelum penjajahan Inggris,
bagian timur Fiji dijajah oleh Tonga dan Ratu Sir Kamisese Mara diberi gelar
Samoa, Tamasese.[14]
Gambar 3. Ratu Sir Kamisese Mara dan Pangeran Charles: Tiada lagi Penjajah dan Terjajah? Sumber foto: http://www.radionz.co.nz/ |
Maka, meski bagian barat dan tengah Fiji sering
digambarkan sebagai Melanesia terutama dalam hal ciri-ciri fisik orangnya dan
struktur sosial politik mereka yang lebih egalitarian dan berskala kecil,
wilayah timur yang lebih dominan secara politik menampakkan gaya yang lebih
khas Polinesia, lengkap dengan sistem politik yang hirarkis dan berskala besar dan
dipimpin oleh kepala suku besar otokratik yang statusnya lebih banyak
ditentukan oleh keturunan—semua ciri yang sangat akrab dengan lensa
interpretasi Eropa dan yang membuat para pejabat kolonial awal melihat Fiji
timur sebagai lebih ramah pada apa yang mereka sebut sebagai pemerintahan yang
baik.[15]
Mara sendiri adalah seorang kepala suku besar dan
mengganggap dirinya Polinesia. Sebuah catatan harian lapangan dari masa
bertugasnya sebagai kepala distrik kolonial di provinsi Ba pada tahun 1957
tidak memberikan rasa ragu sedikit pun atas identitas dirinya vs. orang-orang
Fiji di provinsi itu dan daerah lain yang dia sebut sebagai Melanesia. Bercerita
tentang kesulitan yang dia hadapi dalam meyakinkan komunitas lokal bahwa gedung
sekolah yang baru harus dibangun di tempat tertentu daripada di tempat yang
mereka sukai, Mara menulis,
“Saya mengadopsi perilaku otokratik untuk dapat
menghadapi perubahan pikiran khas Melanesia yang telah menciptakan beberapa
faksi untuk ngotot mempertahankan sebuah tempat yang sangat sulit diakses meski
berbagai alasan telah diajukan untuk melawannya. Saya telah sering menghadapi
perilaku Melanesia yang keras kepala tanpa alasan yang jelas di Namosi. Saya
melihat bahwa orang-orang yang hidup keras seperti suku-suku pedalaman ini
tidak terlalu suka dengan dialektik. Namun begitu, mereka merespon dengan cepat
dan bersedia mengikuti komando/perintah otokratik.”[16]
Terlebih penting dalam konteks politik kawasan di masa pascakolonial, Mara memperlihatkan permusuhan yang cukup besar terhadap partisipasi dalam urusan-urusan regional oleh negara Melanesia terbesar, Papua Nugini (PNG) setelah mereka mendapatkan status pemerintahan sendiri pada tahun 1970-an. Komisi Tinggi Australia di Suva melaporkan sebuah wawancara dengan Mara pada tahun 1971 sebelum pembukaan rapat Forum Pasifik Selatan di Wellington.
Mara dilaporkan keras dalam oposisinya terhadap
berbagai bentuk partisipasi PNG. Hal ini terjadi saat seorang warga PNG Oala
Rarua sedang dipertimbangkan untuk menduduki posisi sekretaris jendral Komisi
Pasifik Selatan,yang didukung secara kuat oleh Australia. Untuk Mara, terpilihnya
Oala akan menjadi akhir dari Komisi ini. Laporan ini juga mengatakan,
“Raja Mara sangat sadar akan darah aristrokrasi
Polinesia. Dia adalah saudara darah dari perdana menteri Samoa Barat dan Tonga.
Saya percaya bahwa dia melihat PNG dalam gambaran negara primitif dan karena
mereka besar, mereka akan mendapatkan kursi kepemimpinan regional di Pasifik
dan bukan negara-negara Polinesia yang lebih maju. “[17]
Ciri penting lain dari Jalan Pasifik Mara adalah
bahwa sejak dari awal artikulasinya ia tidaklah bersifat antikolonial, meski
sepertinya istilah ini terlihat menekankan identitas antikolonial seperti yang
akhir-akhir ini dilekatkan pada istilah ini. Pidato PBB Mara menggambarkan
Jalan Pasifik sebagai pelajaran dalam perilaku model dari bekas negara jajahan
dan kekuatan kolonial seperti yang terlihat dari proses kemerdekaan yang
dialami oleh negara-negara Pasifik, yang pada saat itu tidak melibatkan satu
pun negara Melanesia.Tak diragukan lagi bahwa Mara memikirkan kekerasan yang
lekat pada proses kemerdekaan negara-negara Afrika dan beberapa negara Asia,
terutama di subbenua Asia.
Terkait dengan Pasifik, kita akan melihat sebentar
lagi bahwa pandangan khas Mara tentang Jalan Pasifik saat ini sangat kontras
dengan aspek wacana Melanesia yang mengarah pada dan mencakup masa kemerdekaan
dan yang secara eksplisit antikolonial. Jalan Mara juga menggambarkan
pentingnya kepemimpinan tradional yang nilai-nilai terbaiknya digambarkan dan
dilestarikan sebagai basis dari tindakan politik. Dalam visi Mara, tentu saja,
gaya kepemimpinan yang disukai adalah Polinesia. Hau’ofa juga mencatat bahwa di
dalam politik internal Tonga, Samoa dan Fiji, “pemimpin kadang menekankan unsur
aristokrasi pribumi dari tradisi kepemimpinan mereka karena di sanalah
kepentingan mereka dapat terwujudkan.”[18]
Hau’ofa secara jelas meletakkan struktur politik
dominan Fiji dalam kerangka sistem Polinesia. Jalan Mara mencakup unsur-unsur
elitis yang bukan hanya secara implisit menjadikan bentuk hirarki Polinesia
sebagai titik rujukan, namun juga sebuah pemahaman bahwa hirarki Polinesia memberikan
harmoni dan kesepahaman antara penjajah dan yang dijajah berdasar pada komitmen
bersama pada nilai-nilai sosio-politik yang konservatif.[19]
Lagi-lagi, hal seperti ini hampir tidak pernah dikatakan untuk Jalan Melanesia
atau pun kastom Melanesia.
Sangat penting untuk mencatat di sini bahwa transformasi
Jalan Pasifik menjadi sesuatu yang mirip dengan wacana kritis pascakolonial
adalah perkembangan terakhir yang kebanyakan diartikulasikan oleh orang-orang
asing seperti Ron Crocombe yang mengambil frase Mara namun membelokkannya ke arah
yang sangat berbeda.[20]
Crocombe mengidentifikasi sekelompok inti elit dari negara-negara Pasifik yang
menemukan Jalan Pasifik, setidaknya pada masa awal terbentuknya wacana ini,
berguna bagi mereka, seperti untuk Fiji, Tonga dan Samoa. Hal ini terutama terjadi karena negara-negara
ini adalah negara-negara yang baru merdeka. Mereka berada tepat di pusat wacana
ini, memberi substansi dan bentuk wacana Jalan Pasifik.[21]
Crobombe mengamati bahwa Jalan Pasifik berlaku terutama pada negara-negara
kelompok berbahasa Inggris yang terdiri dari pulau-pulau tropis di selatan
Pasifik dan kurang penting atau kurang berarti bagi pulau-pulau Pasifik yang lain.
Bagi negara-negara ini, relevansi Jalan Pasifik tergantung pada alasan dan
koneksi mereka dengan kelompok inti. [22]
Crocombe juga mencatat bahwa ciri utama dari
kelompok negara ini adalah sistem keturunan kepala suku yang sangat kuat. Dalam wacana Jalan Pasifik, perbedaan antara
mereka yang memiliki hirarki keturunan bertingkat dan masyarakat egalitarian
yang terbangun dari bawah di Pasifik Barat –Melanesia – cenderung diminimalisir
demi perkembangan kesatuan Pasifik yang membutuhkan penekanan perbedaan
internal dan memaksimalkan kesamaan.[23]
Crocombe menyatakan bahwa ideologi kepala suku yang
tersebar dari kelompok pulau inti menunjukkan bahwa struktur sosiopolitik yang
sangat hirarkis memiliki kekuatan dan pengaruh ke kawanan negara yang lebih
besar, hingga pada tingkat bahwa gagasan kepala suku telah menjadi bagian yang
diterima dari Jalan Melanesia. Meski dalam konsepsi Jalan Melanesia, ada ketegangan
antara penghargaan atas hak istimewa dan kesetaraan.[24]
Maka analisis Crocombe mendukung argumen bahwa dasar pemikiran Jalan Pasifik
sangatlah bersifat Polinesia.
Ahli lain juga mengidentifikasi gagasan inti yang melandasi Jalan Pasifik yang terikat dengan kelompok elit dengan koneksi kuat di Polinesia. Kritik Howard tahun 1983 terhadap ‘sosialisme Melanesia’ sesungguhnya memberikan ruang yang sangat besar pada diskusi Jalan Pasifik, menggambarkannya sebagai bercita rasa Polinesia, dengan resonansi elit ni-Vanuatu yang dididik di Universitas Pasifik Selatan yang telah menjadi tempat bagi popularisasi gagasan Jalan Melanesia.[25]
Ahli lain juga mengidentifikasi gagasan inti yang melandasi Jalan Pasifik yang terikat dengan kelompok elit dengan koneksi kuat di Polinesia. Kritik Howard tahun 1983 terhadap ‘sosialisme Melanesia’ sesungguhnya memberikan ruang yang sangat besar pada diskusi Jalan Pasifik, menggambarkannya sebagai bercita rasa Polinesia, dengan resonansi elit ni-Vanuatu yang dididik di Universitas Pasifik Selatan yang telah menjadi tempat bagi popularisasi gagasan Jalan Melanesia.[25]
Di karya yang lain, Hooper dan Huntsman
mendiskusikan kemunculan gagasan Jalan Pasifik sebagai sesuatu yang membedakan
orang-orang Pasifik dengan yang lain, terutama orang Eropa. Namun mereka
mencatat bahwa istilah ini “cukup umum untuk mengumpulkan gagasan kesatuan
berdasar pada tradisi dan keturunan yang sama.”[26]
Implikasi penting dari pernyataan ini adalah Jalan Pasifik lebih cocok bagi
Polinesia daripada Melanesia.
Hooper dan Huntsman juga merujuk pada analisis
Howard. Mereka menyetujui gagasan bahwa Jalan Pasifik sangat jelas mendukung
kepentingan elit tradisional di tempat seperti Fiji, Tonga dan Samoa Barat. [27]
Lagipula, kelompok pulau inti diidentifikasi dengan istilah yang secara efektif
bernama Jalan Polinesia.
Kesimpulan sementaranya, Jalan Pasifik seperti yang
diartikulasikan oleh Mara penuh dengan nilai-nilai yang dipercaya oleh
pemimpin-pemimpin politik Tonga dan Samoa. Hal ini berdasar pada model
kepemimpinan khas yang muncul di tingkat nasional di setiap negara – sebuah
model yang cocok dengan gambaran antropologis konvensional model Polinesia.[28]
Titik rujukan utama dari wacana Jalan Pasifik di Fiji/Tonga/Samoa dan sifatnya
yang khas Polinesia, termasuk unsur kuat konservatisme sosial dan politik,
mungkin merupakan salah satu alasan di antara alasan lain yang membuat
diskursus Melanesianisme muncul sebagai ekspresi alternatif identitas sejak
pertengahan tahun 1970-an ketika banyak negara Melanesia bergerak menuju negara
merdeka.
Di bagian berikutnya kita akan membahas secara
khusus kemunculan “Jalan Melanesia” yang dimulai dengan tulisan-tulisan Bernard Narokobi,
seorang intelektual PNG hingga populernya istilah wantokisme di wilayah yang dianggap sebagai Melanesia.
[1] Sebagai contoh, lihat Anne
Chowning, ‘Leadership in Melanesia,’ The
Journal of Pacific History 14:2(1979), 66-84; Bronwen Douglas, ‘Rank, power
and authority:a reassessment of tradional leadership in South Pacific
societies,’ The Journal of Pacific
History 14:1(1979), 2-27.
[2] Sebagai contoh, lihat I.I.
Langness and John C. Weschler (ed.), Melanesia:
readings on a culture area (Scranton 1971):10-11. Lihat juga Bruce M.
Knauft, From Primitive to Postcolonial in
Melanesia and Anthropology (Ann Arbor 1999).
[3] Thomas, “The force of
ethnology’, 28.
[4] Ibid.
[5] Benjamin Reilly, ‘State
functioning and state failure in the South Pacific’, Australian Journal of International Affairs 58:4(2004), 479.
[6] Sebagai contoh, lihat
David Chappel, ‘”Africanization” in the Pacific blaming others for disorder in
the periphery?’, Comparative Studies in
Society and History 47:2(2005), 286-317.
[7] Lihat Douglas, ‘Rank,
power and authority’, 16.
[8] Lihat juga John Henderson,
‘The future of democracy in Melanesia:what role for outside powers?’, Asia Pacific Viewpoint 44:3(2003),
225-41.
[9] Ratu Sir Kamisese Mara, The Pacific Way: a memoir (Honolulu
1997), 238.
[10] Stephanie Lawson,
‘Postcolonialism, neo-colonialism and the “Pacific Way”:a critique of
(un)critical approaches’, Sate, Society
and Governance in Melanesia Program (hereinafter SSGM), Discussion Paper
4(2010), 1-2.
[11] Ibid.
[12] Stephanie Lawson, Tradition versus Democracy in the South
Pacific: Fiji, Tonga and Western Samoa (Cambridge, UK1996).
[13] Analisis Chowning tentang
kepemimpinan dalam masyarakat Melanesia tidak memasukkan Fiji karena Fiji
beririsan dengan analisisnya tentang Polinesia. Lihat Chowning, “Leadership in
Melanesia’, 67.
[14] Mara, the Pacific Way, 9. ‘Tamamase’ adalah gelar kepala suku di Samoa.
[15] Lihat Stephanie Lawson, The Failure of Democratic Politics in Fiji
(Oxford 1991).
[16] Sumber berasal dari Robert
Norton, catatan dari Nasional Arsip Fiji, Colonial
Secretariat Confidential Files.
[17] Australia, Department of
Foreign Affairs, Inward Correspondence, Australian High Commission, Suva to
Foreign Minister, Canberra (4/7/1971), A1838, 280/18 PART 1. Beberapa tahun
setelahnya Mara dan Perdana Menteri pertama PNG Tuan Michael Somare menjadi teman
dekat, namun pada tahap awal ini Mara sepertinya memiliki gagasan
keterbelakangan Melanesia.
[18] Epeli Hau`ofa, ‘The future
of our past’, Bulletin of the Unesco
Regional Office for Education in Asia and the Pacific 27(1986), 153.
[19] Lihat Stephanie Lawson,
‘”The Pacific Way” as postcolonial discourse: towards a reassessment’, The Journal of Pacific History
45:3(2010), 297-314.
[20] Ron Crocombe, The Pacific Way: an emerging regional
identity (Suva 1976). Untuk analisis tentang bentuk wacana Jalan Pasifik
Crocombe, lihat Lawson, ‘”Pacific Way” as postcolonial discourse’.
[21] Tentu saja Polinesia
terdiri dari banyak sekali pulau, bukan hanya Fiji, Tonga dan Samoa namun tiga
negara ini yang sedang menjadi fokus analisis.
[22] Crocombe, The Pacific Way,
9.
[23] Ibid., 11.
[24] Ibid., 6.
[25] Michael Howard, ‘Vanuatu:
the myth of Melanesian socialism’, Labour,
Capital and Society 16:2(1983), 183.
[26] Antony Hopper dan Judith
Huntsman, ‘History and the representation of Polynesian societies’, dalam Jukka
Siikala (ed.), Culture and History in the
Pacific (Helsinki 1990), 11, garis miring ditambahkan.
[27] Ibid.
[28] Pada saat itu, Fiji telah
ditempatkan dalam model ini karena dominasi politik figur kepala suku dari
bagian timur negeri ini namun hal ini tidak berlaku lagi. Mara dan elit kepala
suku dalam masa kekuasaannya telah meninggal dunia, kelembagaan kepala suku
telah ditempatkan di bawah diktaktor militer dan Fiji sekarang lebih
berorientasi ke kelompok Melanesia.
0 Komentar