Melanesia, Sejarah dan Politik sebuah Gagasan (1)


Gambar 1. Masyarakat Pegunungan Tengah Papua membawa babi dalam sebuah acara bakar batu. Babi menjadi bagian dan ciri penting kebudayaan Melanesia. Foto oleh penerjemah.
Oleh Stephanie Lawson
Diterjemahkan oleh Veronika Kusumaryati

Pengantar dari penerjemah
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di The Journal of Pacific History 48(2013):1-22. Stephanie Lawson bekerja di Departemen Sejarah Modern, Politik dan Hubungan Internasional, Fakultas Seni, Universitas Macquarie. Penerjemahan artikel ini merupakan seri dari penerjemahan kajian-kajian antropologi tentang Papua.  Meski artikel ini tidak secara khusus membahas hubungan antara identitas Melanesia dan Melayu dalam konteks Papua (yang sejak tahun 1963 dijadikan bagian dari Indonesia), artikel ini memberikan latar belakang dan kajian kritis tentang kemunculan istilah Melanesia sendiri. Karena sangat panjang, artikel ini akan dibagi menjadi empat bagian, dengan bagian pertama berfokus pada konstruksi sejarah Melanesia, bagian kedua berfokus pada kontruksi antropologi Melanesia, bagian ketiga tentang “Jalan Melanesia” dan bagian terakhir akan membahas identitas regional dan organisasi the Melanesian Spearhead Group. Penerjemah mengucapkan terimakasih kepada Ibu Stephanie Lawson dan Jurnal Sejarah Pasifik (melalui Ibu Vicki Luker) yang telah mengizinkan publikasi dari penerjemahan ini, juga kepada Ibiroma Wamla yang memberikan saran-saran untuk penyuntingan. Semoga artikel ini memberi kontribusi bagi perdebatan tentang Melanesia dan ke-Melanesia-an di Tanah Papua. Saran dan kritik bisa dialamatkan ke pravdavero@gmail.com. Wa.. wa.. wa..

Gambar 2. Pembagian Wilayah Pasifik menjadi tiga wilayah geokultural menurut Jules-Sébastien César Dumont D’Urville. Sumber peta: www.pacific-encounters.fr


Pendahuluan
Istilah “Melanesia” merupakan rujukan yang bersifat geografis dan budaya bagi subwilayah kepulauan Pasifik. Melanesia telah menjadi bahasa penggambaran yang biasa digunakan bersama istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut pulau-pulau di wilayah itu, yakni Polinesia dan Mikronesia. Namun, istilah Melanesia sebenarnya lebih dari dari sekadar sebuah istilah penggambaran (descriptor). Istilah “Melanesia” sarat dengan berbagai makna, baik yang bersifat negatif maupun positif.
Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran umum mengenai perkembangan istilah “Melanesia”, mulai dari asal-muasalnya dalam karya-karya etnografi yang bersifat rasialis hingga perkembangan terkini di masa pasca-kolonialisme. Tulisan ini berargumen bahwa meski banyak akademisi melihat istilah “Melanesia” sangat problematik karena asosiasi sejarahnya dengan eksplorasi dan penjajahan Eropa serta ideologi rasisme yang menyertainya, istilah “Melanesia” telah mendapatkan makna dan relevansi yang positif terutama bagi mereka yang dikelompokkan sebagai Melanesia.
Representasi wilayah-wilayah dunia dalam istilah-istilah geografi, budaya, ekonomi, politik, sejarah, keilmuan, dan sastra telah banyak mengalami pergantian dan perubahan[1]. Namun ada beberapa kategori representasional yang bertahan bahkan setelah istilah itu banyak mendapat pertanyaan dan kritikan. Salah satu representasi yang paling populer dan bertahan lama adalah pembagian wilayah kepulauan Pasifik menjadi tiga kelompok geokultural, yakni Polinesia, Melanesia dan Mikronesia. Pembagian ini sendiri sudah bertahan selama hampir 200 tahun. 
Pada awalnya, pembagian ini dilakukan oleh penjelajah-penjelajah Perancis, terutama Jules-Sébastien César Dumont D’Urville. Namun banyak orang mengetahui bahwa  D’Urville membuat pembagian ini berdasarkan sistem yang sudah ada sebelumnya yang lebih berdasar pada faktor-faktor kultural dan rasial daripada faktor geografi.[2]  Bahkan, kata “Melanesia” yang berarti “pulau-pulau yang hitam” memiliki resonansi dan hubungan yang kuat dengan pemikiran ras/rasial pada saat itu.
Dalam kajian-kajian terkini –yang lebih sesuai dengan standar intelektual dan moral masa kini dan juga apresiasi terhadap kenyataan bahwa ras adalah konstruksi sosial—, gagasan tentang ras dan rasisme adalah sebuah anathema (kutukan). Tentu saja, sentimen penolakan yang ditunjukkan oleh para akademisi masa kini terhadap rasisme para penjelajah awal telah membuahkan tulisan-tulisan yang secara khusus mempertanyakan pembagian Polinesia/Melanesia. Bahkan beberapa ahli menyarankan untuk meninggalkan penggunaan istilah ini sama sekali.[3]
Beberapa yang lain menggunakannya dengan segan dan sangat hati-hati. Orang-orang ini sangat sadar bahwa mereka berisiko mereproduksi pembagian antara Melanesia dan Polinesia (serta Mikronesia)[4] yang bersifat rasialis. Tetapi orang-orang ini terus menggunakan istilah-istilah Melanesia/Polinesia/Mikronesia karena tidak ada alternatif yang lebih baik. Seorang ahli Mikronesia mengatakan bahwa bertahannya istilah-istilah ini membuktikan kekuatan dari wacana-wacana kolonial. Namun begitu, ia berpendapat bahwa memang tidak ada istilah lain yang lebih memuaskan daripada ketiga istilah ini.[5] 
Beberapa ahli yang lain menolak pembagian Polinesia/Melanesia dengan dasar pemikiran bahwa pembagian etnis dan budaya menurut ketiga kategori ini tidaklah terlalu meyakinkan apalagi jika diselidiki secara sungguh-sungguh.Nicholas Thomas mencatat bahwa lebih dari 20 tahun yang lalu muncul sebuah konsensus terutama di antara para antropolog tentang betapa tidak membantunya dan bahkan palsunya pembagian wilayah Pasifik menjadi wilayah etnis dan kebudayaan Melanesia dan Polinesia[6]. Di saat yang hampir bersamaan, Oscar Spate berargumen bahwa keanekaragaman di dalam wilayah yang disebut Melanesia sendiri sangat tinggi sehingga istilah Melanesia ini hanyalah sebagai sebutan gampang yang seharusnya sudah ditinggalkan.[7]
 Ahli lain, Ian Campbell justru melihat bahwa argumen itu terlalu berlebihan.  Menurutnya, meluruhnya batas-batas wilayah kebudayaan dan geografi tidak bisa digunakan untuk menolak perbedaan-perbedaan mendasar yang tetap terlihat di antara ketiga wilayah budaya-geografi ini. Lebih jauh dia mengatakan bahwa meski skema Melanesia-Mikronesia-Polinesia memiliki asal-usul dari gagasan-gagasan antropologi abad ke-18 yang cacad atau pun dikembangkan oleh teori-teori rasialis abad 19, hal itu tidaklah terlalu penting dibanding fakta bahwa istilah-istilah itu mungkin berguna bagi orang yang mempercayainya, tak peduli apapun asal-muasalnya.[8]
Apapun penolakan yang disuarakan kaum akademisi terhadap pembagian tiga wilayah ini, orang-orang yang dikelompokkan ke dalam wilahah-wilayah ini sendiri belum menyuarakan secara tegas penolakan mereka. Clive Moore mengatakan bahwa Melanesia adalah sebuah kenyataan di wilayah barat daya Pasifik yang baru saja didekolonisasi, di mana orang-orang mendeskripsikan dirinya dan masa depannya sebagai orang Melanesia.[9] Tarcisius Kabutaulaka, seorang akademisi kelahiran Kepulauan Solomon juga mengatakan bahwa meski asal-muasalnya dari Eropa dan bersifat rasis, Melanesia adalah istilah yang memberdayakan dan menjadi fokus dari identitas orang-orang yang dikelompokkan ke dalam wilayah Melanesia.[10]
Melanesia juga muncul secara menonjol di dalam penamaan organisasi dan identitas regional, seperti yang terlihat jelas dalam gagasan “Jalan Melanesia” atau pun organisasi MSG (The Melanesian Spearhead Group), sebuah organisasi politik subregional. Penggunaan istilah Melanesia ini juga berhubungan dengan wacana dan organisasi regional yang lebih besar seperti “Jalan Pasifik” dan Forum Kepulauan Pasifik (the Pacific Islands Forum) juga dua organisasi subregional lainnya: the Micronesian Chief Executives’ Summit (Pertemuan Puncak Kepala-Kepala Pemerintahan Mikronesia) yang bertemu pertama kali pada tahun 2003 dan yang baru saja terbentuk Polynesian Leaders’ Group (PLG, Kelompok Pemimpin-Pemimpin Polinesia), yang berkumpul pertama kali di Samoa pada bulan Desember 2011.[11] Maka, terlihat bahwa organisasi politik resmi dari pengelompokan-pengelompokan subregional penduduk Kepulauan Pasifik mengikuti formula asli Dumont d’Urville.
Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan singkat mengenai munculnya pembagian wilayah Pasifik yang dipaksakan oleh dan dengan pandangan Eropa. Tulisan ini juga akan membahas asosiasinya yang cukup problematis dengan pemikiran soal ras dan persoalan-persoalan lain yang pada akhirnya menjadi besar. Salah satu isu yang paling menonjol dalam diskusi ini terutama dalam kajian perbedaan organisasi sosial politik antara Melanesia/Polinesia. Diskusi dalam tulisan ini akan berfokus pada dua istilah ini karena pertentangan antara Melanesia/Polinesialah yang menurut saya paling kontroversial dan karena selama ini pemahaman akan Melanesia selalu datang dari perbandingan dengan Polinesia.
Sayangnya, tidak banyak ruang untuk mendiskusikan persoalan identitas Mikronesia, meski hal itu penting juga dalam diskusi yang lebih luas tentang identitas regional dan subregional. Bagi saya, sangat penting untuk mempertanyakan gagasan yang lebih luas yang terkandung dalam istilah “Jalan Pasifik” karena istilah ini lebih mengutamakan dan memberikan hak-hak istimewa pada ke-Polinesia-an sehingga dengan melakukannya, mereka telah memberi sumbangan pada peningkatan/promosi identitas Melanesia yang khas.
Dengan latar belakang ini, diskusi akan mengarah pada istilah “Jalan Melanesia”, diskursus tentang kastom dan wantokisme yang telah mendasari munculnya identitas politik yang sangat kuat dan khas bernama Melanesianisme di masa sekarang, yang pada akhirnya mendukung perkembangan organisasi-organisasi politik regional. Meski judul artikel ini agak luas, artikel ini tidak mengklaim sebagai sebuah sejarah yang detail atau analisis politik yang memadai mengenai gagasan Melanesia.
Artikel ini tidak bisa menyentuh persoalan-persoalan kompleks dalam konseptualisasi dan teorisasi identitas, termasuk karakter yang berlapis-lapis dari identitas di dalam Melanesia sendiri dan wilayah Pasifik. Tulisan ini bermaksud memberikan sketsa atas kontur yang lebih luas atas persoalan-persoalan utama yang diambil dari kajian-kajian literatur dalam bidang sejarah, ilmu politik dan antropologi yang sebenarnya juga menjadi bagian penting dari sejarah dan politik gagasan Melanesia.

 
Gambar 3. Jules-Sébastien César Dumont D’Urville. Sumber: Guampedia.com


Konstruksi Sejarah Melanesia
Para ahli kepulauan Pasifik sangat sadar bahwa skema Dumont d’Urville yang membagi wilayah Pasifik menjadi tiga bagian bukanlah semata latihan dalam analisis geografi fisik. Justru, dia mengklaim bahwa skemanya memberikan model alami karena skema d’Urville dibuat berdasarkan “jenis dan karakteristik penduduk daripada sekadar pembagian geometris.”[12] Tcherkézoff mencatat bahwa sebelum Dumont d’Urville, Johann Reinhold Foster telah merumuskan pengelompokan dua jenis penduduk asli Laut Selatan, yang mempersiapkan dasar bagi pembagian Melanesia-Polinesia. Unsur-unsur estetik/seni, moral dan intelektual hingga perbedaan rasial dibuat dengan orang-orang Melanesia ditempatkan sebagai orang-orang yang lebih rendah dari segi kebudayaan dibanding orang-orang Polinesia.  Meski di dalam dua kategori ini terdapat banyak variasi.[13]
Menyangkut bentuk organisasi sosial politik, Dumont d’Urville jelas-jelas mempercayai bahwa orang-orang Polinesia,
“jauh lebih maju dalam hal peradaban: monarki-monarki Polinesia terlihat sangat teratur dan tampaknya telah sangat lama berdiri. Kasta dipisahkan satu sama lain dengan hak-hak istimewa tertentu. Berbagai macam upacara dan adat-istiadat yang meskipun dengan asal-muasal yang tidak begitu jelas dirayakan dengan pertunjukan yang luar biasa indah, yang membuktikan bahwa orang-orang ini telah meninggalkan keadaan alaminya bertahun-tahun yang lalu untuk membangun masyarakat-masyarakat yang luas. “[14]

Deskripsi ini sangat kontras dengan interpretasinya tentang orang-orang Melanesia yang dianggapnya tidak memiliki terlalu banyak variasi dalam struktur bahasa, juga tidak menampakkan kemajuan dalam hal struktur sosial dibanding tetangga Polinesia and Mikronesianya atau pun penerimaan mereka yang lebih ramah terhadap Eropa. “Dibanding Polinesia dan Mikronesia, [Melanesia] jauh lebih dekat dengan negara barbar. Mereka tidak memiliki badan pemerintahan, tidak ada hukum dan tidak ada praktik keagamaan formal. Semua lembaga masyarakat mereka tampaknya masih dalam tahap awal/janin.”[15]
Istilah “Polinesia” yang berarti “banyak pulau” dan Mikronesia yang berarti “pulau-pulau kecil” merujuk secara langsung pada karakter geografis mereka terutama dalam hal ukuran wilayah dan sebaran pulau-pulau itu di Pasifik. Tetapi Melanesia yang bearti “pulau-pulau yang hitam” merujuk secara khusus pada warna kulit penghuninya yakni ras kulit hitam Oseania.[16]
Dumont d’Urville menjelaskan batas-batas geografis dari setiap pengelompokan ini kecuali bahwa pada versi aslinya mengenai Melanesia –juga dideskripsikan sebagai Oseania selatan—, ia memasukkan juga Australia sehingga Aborigin Australia dan orang-orang dari pulau di Selat Torres sebagai Melanesia.[17] Sekarang hal ini sudah tidak berlaku lagi, dengan Melanesia sekarang hanya terbatas pada wilayah pulau Papua (Papua Nugini dan Papua Barat serta pulau-pulau kecil yang mengelilinginya), pulau-pulau Solomon, Vanuatu, Kaledonia Baru dan kadang secara agak ambigu Fiji.
Gagasan di balik pembagian wilayah ini sangat dikenal terutama di kalangan para ahli Pasifik, termasuk fakta bahwa pemikiran ras/rasial merembes ke dalam gagasan-gagasan Eropa soal pembedaan umat manusia selama masa eksplorasi dan imperialism Eropa hingga abad 20.[18] Orang-orang Eropa sering membagi umat manusia ke dalam hierarki di mana orang Eropa menduduki posisi paling tinggi.  Namun pemikiran orang Eropa soal perbedaan di antara umat manusia tidaklah selalu seperti itu.[19] Sebagian besar pemikiran etnologi Jerman pada periode itu yang dipengaruhi oleh Romantisisme Jerman sangatlah anti-rasis dan sangat menentang teori pembedaan manusia berdasarkan karakter biologis.[20] Penolakan Johann Herder atas ras biologi jarang didiskusikan dalam konteks pemikiran Eropa soal pembedaan manusia dan hal ini penting ditegaskan di sini sebagai lawan atas terlalu homogenitasnya sejarah gagasan Eropa dalam konteks studi Pasifik.
 “Saya ingin memberikan suatu harapan bahwa pembedaan yang telah dibuat –dari keinginan mulia untuk mencapai tingkat ketepatan ilmiah tertentu– antar berbagai kelompok umat manusia tidak akan bisa terus menerus dilakukan. Beberapa, sebagai contoh, telah berpikir untuk menggunakan istilah ras untuk empat atau lima pembagian menurut daerah asal atau pun warna kulit. Saya tidak melihat adanya alasan kuat untuk menggunakan istilah ini. Ras merujuk pada pembagian asal-muasal yang dalam kasus ini tidak ada atau yang di setiap wilayah atau warna kulit, rasnya bermacam-macam. Dalam analisis akhir, mereka pada dasarnya adalah aneka ragam warna dari satu gambaran besar yang melampaui usia dan bagian bumi.”[21]
Meskipun mempertimbangkan variasi pemikiran ini penting dalam melihat Eropa, jelas bahwa pembatasan awal yang bersejarah dari pulau-pulau di Pasifik dan terutama Melanesia/Polinesia berdasar pada pemikiran rasial yang ingin dijauhi oleh para akademisi masa kini. Seperti yang akan kita lihat, hal ini tidak mengurangi pentingnya istilah ini bagi banyak akademisi yang terlibat dalam analisis sosial politik kontemporer atau bagi mereka yang identitasnya dilekatkan dengan istilah-istilah ini.

 
Gambar 4. Para kepala suku Tonga dan Fiji beserta istri-istri mereka (dari kiri: Ratu Edward Cakobau, Ratu George Cakobau, Raja Taufaahau Tupou, Ratu Kamisese Mara, Ratu Penaia Ganilau, Pat Raddock). Foto ini diambil pada tanggal 3 Juli, 1967 di Tonga saat pemberian mahkota pada Raja Taufa'ahau Tupou IV. Sumber: www.babasiga.blogspot.co.id. 

Konstruksi Antropologis Melanesia
Di antara kegiatan akademis yang berkembang di universitas-universitas Eropa dan Amerika Utara sejak abad 19, antropologi budaya sepertinya merupakan disiplin yang memiliki pendekatan yang paling egalitarian dalam studi pembedaan umat manusia. Bahkan antropologi menekankan nilai egalitarianisme ini. Franz Boas, intelektual yang menjadi pewaris tradisi pemikiran Romantisisme Jerman, mengembangkan istilah “kebudayaan” sebagai penentu paling penting bagi tindak-tanduk manusia. Sebagai konsekuensinya, budaya adalah aspek unik/khas sebuah komunitas/kelompok manusia yang bisa membedakan satu dengan yang lain. Namun, bagi Boas, semua kebudayaan manusia dianggap sama/setingkat.
Pendekatan ini mensyaratkan ditinggalkannya paradigma evolusi sosial yang menjadi paradigma utama antropologi sebelumnya. Sebelum Boas, antropologi sosial percaya bahwa suku-suku primitif, apabila berada di dalam kondisi yang tepat, dapat diperadabkan.[22] Boas secara metodik juga melawan komparativisme. Ia ngotot mengatakan bahwa setiap aspek budaya hanya bisa dipahami dalam konteksnya sendiri. Sayangnya, pendekatan ini tidak membuat antropolog berhenti melakukan komparativisme yang bersifat tidak adil, atau menggunakan analisis evolusi dalam kajian antropologinya seperti yang tercermin dalam tulisan Marshall Sahlins tentang jenis-jenis sistem politik di Melanesia dan Polinesia yang sangat berpengaruh.[23]
Sahlins membedakan Melanesia dan Polinesia berdasarkan garis pembagian geografis. Ia mengatakan bahwa “di Fiji dan sekitarnya, Melanesia dan Polinesia meluruh secara budaya tetapi percampuran unsur barat dan timur dari dua propinsi di Fiji memberikan gambaran yang sangat kontras di dalam beberapa aspek budayanya.” Dalam sebuah artikel, dia menulis, “Orang-orang Polinesia menjadi terkenal karena bentuk-bentuk pangkat dan sistem kepala suku yang rumit, sementara kebanyakan masyarakat Melanesia telah meruntuhkan kemungkinan ini di tingkat yang paling dasar.”[24]  Dia menambahkan, “Diukur dari beberapa dimensi, perbedaan di antara bentuk organisasi politik Polinesia yang telah maju dan Melanesia yang terbelakang sangat jelas terlihat sebagai perbedaan dalam hal skala.”[25] Maka istilah Melanesia yang ‘terbelakang” vs. Polinesia yang relatif lebih maju diutarakan dengan jelas. Hal ini menggambarkan antara lain bahwa pemikiran antropologis dalam tahap ini belum terlalu berubah dari asumsi-asumsi awal.
Perbedaan lain di antara dua jenis organisasi politik yang disebutkan Sahlins berdasar pada penyamaan ‘orang besar’ (big men) Melanesia dengan kaum borjuis Barat dan kepala suku Polinesia dengan bangsawan-bangsawan feodal Eropa. Meski mengakui bahwa penggambaran ini bersifat karikatural dan mungkin tidak adil bagi latar belakang Melanesia dan Polinesia yang secara sejarah tidak dapat diperbandingkan, dia tetap menekankan gagasan ini:
“Orang besar Melanesia …menggabungkan kepentingan pada kesejahteraan umum dan kepentingan diri serta kalkulasi ekonomi. Tatapan orang besar ini…terpaku pada satu kesempatan besar. Setiap tindakan publiknya dirancang untuk kompetisi/bertarung dengan yang lain, untuk mempertunjukkan posisinya yang merupakan hasil kerjanya sendiri. Karikatur historis kepala suku Polinesia adalah feodal daripada kapitalis. Penampilannya, sikap lagunya hampir bersifat bangsawan… Setiap tindakan publiknya adalah gambaran dari kehalusan budi pekertinya, cerminan dari silsilah kebangsawanannya. Di dalam setiap tindakannya , ia selalu menunjukkan kemuliaan diri dan keturunan yang sesungguhnya dan hak yang tak terbantahkan atas kekuasaan itu… . Secara sederhana bisa dikatakan bahwa di setiap bagian tubuhnya, ia adalah seorang kepala suku. “[26]

Paragraf ini menurut akademisi Tonga Epeli Hau’ofa bukan hanya tak berdasar namun juga berlebihan dalam hal perlakuannya pada bentuk politik Melanesia.
“Seluruh tulisan ini merupakan sebuah pembandingan pseudo-evolusi yang sangat terang. Di dalam istilah Sahlins, pembandingan antara sistem politik Polinesia yang lebih maju dan Melanesia yang terbelakang. Tulisan ini masuk dalam kelompok literatur Oseania setidaknya kembali ke masa 200 tahun lalu yang ditulis oleh para penjelajah, navigator, gelandangan pelaut, misionaris, pejabat-pejabat kolonial dan orang-orang seperti itu yang meromantisir Polinesia dan merendahkan Melanesia. “[27]

Selain mencatat pengaruh tulisan Sahlins yang sangat kuat di seluruh Pasifik, Hau’ofa juga menyoroti potensi pembagian ini dalam memperkuat rasisme Polinesia yang sudah sangat lama terhadap Melanesia.[28] Aspek ini memunculkan diskusi yang sangat menarik namun belum tereksplor dengan baik, yakni soal identitas kawasan. Isu ini jarang dibahas secara publik apalagi dituliskan sebagai sebuah artikel.[29] Namun tak disangsikan lagi bahwa diskusi ini telah menjadi arus bawah dan mungkin menjadi satu faktor di antara faktor lain yang mendorong munculnya identitas Melanesia yang lebih positif di masa pasca-kolonial. Kita akan kembali ke diskusi ini di bagian berikutnya.





[1] Perdebatan akademis tentang representasi Pasifik selama lima puluh tahun terakhir bisa dilihat dalam karya Bernard Smith European Vision and the South Pacific, 1768 -1850 (1960) hingga karya Epeli Hau`ofa, A New Oceania: Rediscoreing Our Sea of Islands (1993) dan Arif Dirlik What is in a Rim? Critical Perspectives on the Pacific Rim Idea (1993). Anda juga melihat karya Geoffrey Clark (ed.),‘Dumont d’Urville’s Divisions of Oceania: Fundamental Precincts or Arbitrary Consruct’, edisi khusus Journal of Pacific History 38:2 (2003).
[2] Lihat “Divisions of Oceania” dalam edisi khusus JPH untuk penerbitan kembali artikel asli tahun 1832 dan juga komentar-komentarnya, Jules-Sébastien César Dumont D’Urville, “On the islands of the Great Ocean, hal. 163-74, Geoffrey Clark, ‘Dumont d’Urville’s Oceania, 155-61, Serge Tcherkézoff, ‘A long and unfortunate voyage towards the “invention” of the Melanesia/Polynesia distinction 1595-1832’, 175-96.
[3] Bronwen Douglas, Across the Great Divide: Journeys in History and Anthropology (Amsterdam 1998), 5-7.
[4] Geoffrey M. White and Ty Kawika Tengan, “Disappearing worlds: anthropology and cultural studies in Hawaii and the Pacific”, Contemporary Pacific 13:2 (2011), 386.
[5] David Hanlon, ‘The ‘sea of little lands’: examining Micronesia’s place in ‘our sea of islands’, Contemporary Pacific 21:1(2009), 92.
[6] Nicholas Thomas, “The Force of ethnology: origins and significance of the Melanesia/Polynesia division,” Anthropology Today 30:1 (1989), 27.
[7] O.H.K. Spate, Paradise Lost and Found (Canberra 1988), 1. Hal yang sama dinyatakan oleh Richard Landsdown, ‘Introduction’ dalam Richard Landsdown (ed.), Strangers in the South Seas: the idea of the Pacific in Western Thought (Honolulu 2006), 10.
[8] Ian Campbell, “On the historical reality of cultural distinctions in Oceania”, dalam Jean-Yves Faberon and Armand Hage (eds.), Mondes Océaniens: Études en l’Honneur de Paul de Deckker (Paris 2010), 305-06.
[9] Clive Moore, New Guinea: Crossing Boundaries and History (Honolulu 2003), 3-4.
[10] Dikutip dari Ron Crocombe, The South Pacific (Suva 2001), 146.
[11] Bangsa Samoa Barat secara resmi mengubah nama mereka menjadi Samoa pada tahun 1997 dan penggunaan terakhirlah yang akan dipakai untuk artikel ini.
[12] Dumont d’Urville, On the Islands, 173.
[13] Tcherkézoff, “A long and unfortunate voyage’, 193.
[14] Dumont d’Urville, In the Islands, 166.
[15] Ibid., 169.
[16] Ibid., 165.
[17] Ibid., 166. Untuk Dumont d’Urville, ‘mereka yang berada di tingkat paling bawah di ras Melanesia adalah penduduk asli Australia dan Tasmania’. Ibid., 170.
[18] Lihat Bronwen Douglas dan Chris Ballard (ed.), Oceania and the Science of Race 1750-1940 (Canberra 2008).
[19] Lihat Stephanie Lawson, Culture and Context in World Politics (Basingstoke, UK 2006), 85-90.
[20] Matti Bunzl dan H. Glenn Penny, ‘Introduction: rethinking German anthropology, colonialism, and race’, dalam H. Glenn Penny dan Matti Bunzl (ed.), Worldly Provincialism: German Anthropology in the Age of Empire (Ann Arbor 2003), 2.
[21] Johann Gottfried Herder, ‘Ideas for a Philosophy of the history of mankind,’ tr. F.M. Barnard, dalam F.M. Barnard, Herder on Social and Political Culture: A Selection of Texts (Cambridge, UK 1969), 284.
[22] Sebuah teks klasik dalam topik ini antara lain George W. Stocking Jr. Race, Culture and Evolution: essays in the history of anthropology (Chicago 1992).
[23] Marshall D. Sahlins, “Poor man, rich man, big man, chief: political types in Melanesia and Polynesia’, Comparative Studies in Society and History 5:3(1963), 285-303.
[24] Ibid., 286.
[25] Ibid., 289.
[26] Ibid.
[27] Epeli Hau`fa, ‘Anthropology and Pacific Islanders’, Oceania 45:4 (1975), 285.
[28] Ibid., 286. Hau`ofa mungkin memikirkan karya akademisi Maori Te Rangi Hiroa (aka Tuan Peter Buck) yang telah mengklasifikasikan orang-orang Polinesia sebagai Europoid (bandingkan dengan Negroid Melanesia) and menggambarkan mereka dengan istilah-istilah yang heroik dan penuh pujian seperti ‘orang-orang yang tinggi dan atletis’ yang dalam sejarahnya telah menunjukkan kemampuan dan keberanian menembus lautan Pasifik di bagian tengah dan timur yang tak terjelajahi. Peter Buck, Vikings of the Sunrise (Wellington 1954) 17-19. Sebaliknya, tulisan Meleisea tentang buruh Melanesia di Samoa di awal abad 20 mengindikasikan bahwa beberapa orang Melanesia diterima dengan ramah di sana. Mereka menikahi perempuan lokal dan hidup dengan baik di sana. Lihat Malama Meleisea, ‘The last days of the Melanesian labour trade in Western Samoa,’ The Journal of Pacific History 11:2(1976), 126-32.
[29] Namun lihat karya Margaret Jolly, ‘Imagining Oceania: Indigenous and foreign representations of a sea of islands, ‘Contemporary Pacific 19:2(2007), 525. Di sini ia menyebutkan, meski sangat singkat, kritik atas asumsi bahwa Polinesia lebih superior dibanding Melanesia yang ditulis oleh Albert Wendt dan Vilsoni Hereniko tentang sebuah festival seni Pasifik. Tarcisius Kabutaulaka juga telah mengidentifikasi arus kuat rasisme Polinesia atas Melanesia yang tampak dalam, antara lain, frase-frase tertentu dalam bahasa Samoa dan Tonga. Bukti lain dari mahasiswa-mahasiswa Universitas Pasifik Selatan kebanyakan bersifat anekdot tetapi dengan jelas juga membuktikan bahwa rasisme terhadap mahasiswa Melanesia oleh beberapa mahasiswa Polinesia terasa sangat kuat. Lihat Zubnah Khan dan Eleni Po`ese, ‘Wansolwara: academic rues Islander racism against Melanesians’, Pacific Scoop, 24 Juni 2010, bisa dilihat online di http://pacific.scoop.co.nz/2010/06/wansolwara-academic-rues-islander-racism-against-melanesians/.

Posting Komentar

0 Komentar