Papua Berkisah; Menyelami Perjalanan Anak Papua di Tahun 80-an

Ibiroma Wamla

Papua Berkisah adalah suguhan gado-gado yang unik, penulis berani menggabungkan beberapa, bahasa Indonesia, Melayu Jakarta, Jawa dan Melayu Papua dangan alur cerita yang menghanyutkan. Apalagi dengan tema, Papua, tentu menjadi daya pikat tersendiri, ya seperti gado-gado racikan Papua. Saulus memulai kisahnya dari lembah Palim (Baliem), tempat ia berjumpa dengan Lisa kekasinya.

Ketika membaca, catatan pendek tentang isi novel di blog penulis, saya mulai beraba-raba situasi tahun 80-an di Wamena, pada tahun itu mobil dan motor masih bisa di hitung dengan jari alias tak lebih dari sepuluh. Kabut bisa menyelimuti kota hingga jam 8 atau jam 9 pagi, sore hari sekitar jam 3 angin Kurima bertiup dengan kencang mengantar udara lembab dari selatan Agamua. Kalau ada orang yang baru datang, tentu harus siap jaket dan tidur dengan selimut tebal. Sering kali kami mendengar siaran perkiraan cuaca di radio atau di menonton tv hitam putih --yang waktu itu hanya di miliki oleh satu dua orang saja, suhu di Wamena berkisar antara 15-18 derajat celsius.

Di lembah besar ini Orang Palim (Baliem), hidup dalam lembah besar yang di kelilingi bukit dan gunung-gunung. Mereka menamakan lembah besar itu Agamua, kemudian muncul nama Wamela dalam peta ekspedisi Archbol di tahun 1939 yang kemudian menjadi nama kota Wamena. Kota unik ini menyimpan kisah kehidupan ratusan tahun yang silam, mulai dari sistem ladang, hingga cara memenuhi kebutuhan-sehari.  Di daerah pegunungan ini, terdapat dua mata air asin yang dapat digunakan sebagai bumbu untuk memasak.

Meskipun sudah sering di lewati para ekspedisi, namun pemerintah Belanda mulai masuk dan membuka pos pemerintah Agamua pada tahun 1958. Hal ini menyebabkan pembangunan di Agamua berjalan lambat. Secara perlahan perubahan terjadi di pertengahan tahun 90-an dan di pertengahan tahun 2000-an. Perubahan yang memakan waktu yang cukup panjang, akibat hanya satu ada sistem transportasi yaitu lewat udara.

Pada tahun 80-an di kota Agamua ada 6 SD di Inpres Mulele, SD YPK , SD YPPK, SD Negeri, SD Wesaput hingga kelas tiga, dan SD Wesama. Sedangkan SMP ada 4, SMP Negeri 1, SMP Negeri 2, SMP YPK, SMP YPPK dan SMP Yapis, sedangkan pendidikan menengah atas hanya satu SMA Negeri di akhir 80-an sekitar tahun 1989 baru di bangun SMA PGRI, SMA Yayasan Kristen dan SMEA Yapis. Anak yang bersekolah di Jaman Belanda dan antara tahun 1960 hingga 1961, terdata dengan foto-foto, sehingga mudah mengenalinya apa lagi yang bersekolah pada jaman itu bisa di hitung yang berhasil dan saat ini banyak yang bekerja di pemerintahan di Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo. Sedangkan mereka yang bersekolah dan menamatkan SMA dipertengahan tahun 1980-an tidaklah sudah mengenalinya, karena SMA masih satu.

Banyak anak-anak Palim dan mereka yang merantau dari daerah Barat (Tiom, Bokondini, Kelila) dan Selatan (Kurima, Yali), pada masa itu yang menjadi anak piara (anak angkat) dari guru atau pegawai perintah, atau yang sekdar membantu di rumah. Mereka menjadi anak angkat karena ingin bersekolah namun rumahnya jauh, kadang membutuhkan sehari hari atau lebih untuk bisa bersekolah di kota. Jumlah penduduk yang sedikit pada waktu itu membuat hampir semua orang di kota Agamua saling mengenal, seperti jarum jatuh, suaranya pun terdengar.

Kota Agamua tidaklah besar, dengan setengah hari berjalan kaki, kita sudah bisa mengeliling kota ini. Di pertengahan tahun 90-an, Bupati JB Wenas, mengeliatkan perubahan kota, ia memindahkan pasar Nayak yang berjarak 100 m dari bandara ke pinggir kota Agamua pasar itu dinamakan pasar Jibama. Akibat pemindahan ini, pasar-pasar kaget mulai bermunculan, di Wouma, Potikelek dan di Sinakma. Migran semakin mambanjiri kota Agamua dan pembangunan mulai di arahkan ke barat dan utara Agamua.

Karena lembah Agamua datar maka bupati memasukkan becak dan di khususkan bagi pemuda-pemuda Agamua untuk mengemudinya. Ia juga mencetuskan Festival lembah Baliem, dalam festival ini terdapat veverapa rangkaian acara antara lain karnaval dan pawai bunga, peragaan perang suku, lomba menuip pikon (musik tradisional). Selain mendatangkan becak, ia mengirim para pemuda untuk belajar membuat sepatu di Bandung, pelatihan pembuatan keramik—karena potensi tanah liat yang cocok untuk bahan baku keramik. Untuk potensi pertanian, di lakukan kerja sama dengan PT. Freeport. Dalam seminggu berton-ton sayuran organik pun dinikmati para pekerja freeport. Antara pertengahan tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an, terjadi kamaceran pembangunan, dan sekarang yang terlihat hanyalah pembangunan fisik.

Kisah perjalanan anak  Agamua di pertengahan tahun 80-an dalam Papua Berkisah mengingatkan kembali pada sejumlah anak-anak Papua yang tersebar di beberapa kota studi di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, Salatiga, Surabaya dan Malang.

Di tahun 80-an kehidupan anak Papua yang keluar untuk merantau (sekolah, kuliah), atau sebagai atlit tidak semudah sekarang. Selain di biayai pemerintah, banyak yang menggunakan biaya sendiri dari orang tua. Banyak kisah yang menyedihkan, dari bertahan yang tidak hingga dua hari sampai yang bekerja sebagai penjaga rumah, satpam, untuk membiayai kuliah mereka. Banyak kisah unik dan lucu, misalnya ketika salah satu anak dari Agamua yang baru ke Jawa di tahun 1990, setelah tiba di Surabaya, ia melanjutkan perjalanan ke terminal Joyoboyo Surabaya. Di terminal, tanpa bertanya lebih banyak ia langsung mencarter bis menuju Jogjakarta, ia tiba di kota dengan selamat. Suatu ketika ia mencaritakan peristiwa perjalananya itu, kami pun tertawa terbahak-bahak.

Di awal Papua Berkisah, beberapa cerita kilas balik dari Saul Tibul mengajak pembaca masuk dalam suasana tahun pertengahan tahun 80-an di Agamua. Saul, anak dari suku Mek di Selatan Agamua, ia mungkin merentau ke Agamua—tak ada penjelasan mengapa ia berada di Agamua dalam usia 22 tahun. Ia seperti pemuda misterius.

Saul mencintai lisa Mote (gadis Enarotali), yang ia kenal dalam sebuah sebuah perjumpaan di pasar Sinakma (?), perjumpaan ini berlajut dalam rajutan cinta yang mengantar mereka untuk meninggalkan Agamua menuju Jawa. Cinta telah membuatnya nekat, menuju Jawa untuk mencari kenalannya naya dengan modal alamat. Suatu yang luar biasa bagi pemuda di Agamua pada waktu. Dan mungkin hanya Saul yang melakukan kenekatan itu, dan kisahnya itu hanya terekam oleh orang-orang dekatnya. Melakukan perjalanan keluar Papua di tahun 80-an bukanlah hal yang mudah apalagi tanpa tujuan yang pasti.

Banyak konflik dan benturan antara anak dan bapak yang muncul setelah Lisa ibunya Eva meninggal, Papua Berkisah mengajak pembaca melihat benturan budaya antara anak dan bapak itu, “orang zaman sekarang mudah sekali membuang barang. Rusak sedikit saja dibuang untuk kemudian membeli yang baru. Sementara zaman Saulus muda dulu, orang terbiasa memperbaiki barang yang rusak. Saulus yankin sikap ini ada pengaruhnya terhadap cara orang zaman sekarang menyingkapi hubungan asmara mereka (hal 79)”. Benturan budaya, merupakan gambaran dari sebagian kehidupan anak Papua dan keluarganya yang pernah hidup di luar Papua.

Sayangnya di beberapa bagian, Papua Berkisah kurang mendalami kondisi sosial dan perubahannya (alur waktu) di Agamua dan Papua. Begitu pula saat memasukkan Bahasa Melayu Papua, seperti gado-gado yang kurang bumbu. Tatapi Papua Berkisah sudah berani tampil beda, dan itu patut mendapat acungan jempol, Lau’k, Tabeaa…Terimakasih untuk Swastika Nohara yang telah mengirim buku Papua Berkisah, semoga akan semakin banyak karya yang lahir dari imajinasi mu.

Kunjungi juga; www.sastrapapua.com

Foto; www.sabai95.wordpress.com