Baca Kumcer Impian di Tepi Bakaro seperti Makan Papeda

oaleh; Ibiroma Wamla

Luar biasa, buku kumcer Manokwari yang berisi 14 cerpen anak-anak Manokwari ini, bercerita tentang kisah kehidupan sehari-hari dengan gaya bahasa Melayu Papua yang kental. Cerpen genre remaja ini kadang terselip mop[i] khas Papua. Membaca kumcer Manokwari membuat saya teringat pada majalah-majalah remaja antara tahun 1980 – 1990-an.

Kumcer remaja ini merupakan sastra pinggiran, di luar mainstream dan di terbitkan secara indie. Seperti sastra dengan bahasa daerah di wilayah lainnya di Indonesia. Lokalitas seperti ini di harapkan dapat membawa satu pembaruan bagi perkembangan sastra dan bahasa Melayu Papua yang selama ini terpinggirkan.

Cerpen di Papua hanya berkembang di tahun 1980 sampai pertengahan tahun 1990-an, dua orang cerpenis yang saya masih ingat adalah alm Yance Inggamer yang juga sering memakai nama Jingga Kamboja dan Linda Korwa. Salah satu cerpen Jingga Kamboja berjudul Dewi Insoraki dan di muat di harian Tifa Papua, cerpen ini berkisah tantang Insoraki yang merantau dari Biak ke Jayapura untuk kuliah. Di Jayapura Isoraki mengalami shock culture, dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru dan dinamikanya. Sedangkan Linda, kegemrannya menulis cerpen membuat ia kemudian menjadi wartawan di salah satu media nasional. Profil Linda pernah di muat di harian Tifa Irian. Setelah pertengahan tahun 1990-an hingga kini, tak pernah lagi ada harian yang memuat cerpen di media mereka.

Empat belas cerpen dalam kumcer Manokwari ini banyak berkisah tentang kekinian kehidupan sehari-hari anak dan remaja di Papua. Kadang muncul sifat “kepala batu” anak Papua yang unik, membantah dengan logikanya, seperti dalam cerpen Cita-Cita Kecil untuk Bapa dan Mama, “Obet kenapa terlambat lagi? Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu baru sampai di sekolah?” Tanya ibu Dinnar sambil memegang rotan.

“Maaf ibu guru Obet pu rumah tara ada jam. Jadi Obet terlambat” jawab Obet sambil garu-garuk kepala. (hal 20). Dialog seperti ini sering muncul dalam cerita-carita “kabualan” maupun dalam mop, dalam pergaulan dan keseharian anak-anak Papua. Beberapa nama tokoh yang di munculkan dalam kumcer ini sudah akrab di telinga masyarakat, Obet dan Yaklep adalah dua tokoh dalam cerita mop di beberapa harian yang terbit di Jayapura.

Tentang Melayu Papua

Pesan yang di sampaikan dalam kumcer ini mudah di tangkap misalnya tentang semangat, persahabatan, dan hubungan sosial yang di kemas dengan gaya remaja saat ini. Kekinian itu bisa dilihat dalam penggunaan kata, bro, online, download, facebook, dan juga kata serapan seperti menimpali, lekas, bergeming, celetuk, mubajir, tumben, kata-kata ini dulu tidak di kenal dalam kosa kata Melayu Papua. Kata serapa yang muncul ini bisa menunjukkan perubahan atau pergeseran penggunaan kosa kata Melayu Papua.

Kumcer Manokwari merupakan karya yang berani mengangkat kembali gaya bahasa Melayu Papua yang memiliki sejarah panjang di tanah Papua. Setelah harian Tifa Irian tidak terbit lagi, praktis tidak ada media yang memuat tulisan-tulisan dengan menggunakan bahasa Melayu Papua.

Melayu Papua bukan hanya sekadar dialek, tetapi lebih dari itu, Melayu Papua telah menjadi bahasa yang meyatukan suku-suku yang ada di Papua. Bahkan saat ini bahasa Melayu Papua telah menjadi bahasa ibu pada beberapa suku di Papua.

Perjalanan panjang pengenalan Melayu Papua di Papua di perkenalkan oleh para pedagang Cina, Gujarat dan India sejak abad ke 14, salah satu pedagang Cina yang mencatat perjalanannya adalah Chu Ju Kua dalam bukunya Chu fan Chi. Perdagangan yang semakin berkembang membawa para pedagang berbahasa Melayu semakin intensif ke timur khususnya di wilayah selatan Papua. Selain itu Ternate dan Tidore memliki peran sosial yang penting karena memiliki hubungan kekerabatan dengan Papua di sekitar tahun 1453[ii].

Di abad ke enambelas para penjelajah, pelaut Eropa asal Spanyol, Portugis dan Belanda yang menuju arah timur, menggunakan bahasa Melayu agar bisa menjalin kontak dengan penduduk asli. Salah satu pelaut Eropa yang  berasal dari Portugis dan juga sebagai pejabat gubernur Ternate sejak tahun 1512, Don Jorge de Menezes diantara tahun 1526-1527[iii] berlabuh di Waigeo kemudian menuju Waisai memberi nama Pulau Kasuari ini “Ilhas dos Papuas” yang artinya Pulau Orang Berambut Keriting. Di tahun 1537, nama Ilhas dos Papuas kemudian pertama kali muncul dalam di peta yang di buat di Portugis tetapi tidak di ketahui siapa nama pembuat peta tersebut.

Pada tahun-tahun berikutnya, orang Papua yang bisa berkomunikasi dengan bahasa Melayu misalnya terjadi di pulau Yapen tahun 1705. Atau ketika Belanda membangun benteng Fort du Bus 24 Agustus 1828 di kampung ­Lobo, Fakfak, para pekerja yang membangun benteng tersebut menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat[iv].

Melayu Papua merupakan komposisi bahasa yang unik, gabungan dari beberapa bahasa Melayu lainnya seperti, Melayu Maluku, Melayu Sanger dan Melayu Timor. Menurut Gorys Keraf, Melayu Papua lebih mendekati Melayu Larantuka, namun ada juga penelitian yang mengatakan bahwa Melayu Papua lebih dekat ke Melayu Helmahera. Banyak kosa kata dari Maluku, Sangir atau Manado (Sulawesi Utara) yang mengalami proses transliterasi sesuai kondisi Papua selain itu ada juga serapan kosa kata dari Portugis, Belanda dan Spanyol. Dalam proses transliterasi ini terjadi perubahan struktur dan penghilangan huruf sesuai dengan bahasa daerah setempat.

Transliterasi yang terjadi dalam Melayu Papua melahirkan beberapa varian Melayu Papua, yaitu; varian Melayu Papua Selatan, Melayu Papua Utara dan Melayu Papua Tengah, varian Melayu Papua ini sangat berbeda jauh atau banyak perbedaan dengan bahasa Indonesia standart. Perbedaan dapat di lihat dalam bentuk fonologi, morfologi, tata bahasa dan semantik. Di Papua, bahasa Indonesia baku ternyata sangat terbatas pemakaiannya, sementara bahasa Melayu lebih luas pemakaiannya, di pakai hingga ke kampung di pedalaman Papua dan bahkan ada yang sudah menjadikannya sebagai bahasa ibu.

Sebaagai langkah awal kekeliruan penggunaan kata dan tata bahasa yang kurang tepat dalam kumcer Manokwari dapat di maklumi. Karena Melayu Papua masih sebatas bahasa yang di kaji secara Ilmiah, tetapi belum ada buku yang menjelaskan tata bahasa dan kosa kata Melayu Papua. Dan sampai saat ini baru bahasa Inggris di dinas Proinsi Papua yang menerbitkan buku ajar dengan menggunakan Bahasa Melayu Papua.

Ranah Budaya

Patut di apresiasi juga bahwa kumcer Manokwari tidak jauh memasuki ranah budaya, karena seringkali banyak penulis yang keliru memahami nilai dalam budaya Papua, atau keliru menggunakan bahasa dalam mendiskripsikan arti dari bahasa tersebut. Ada banyak contoh kekeliruan yang sering terjadi misalnya tentang honai, Sali, atau tentang kekeasan terhadap perempuan. Para penulis tersebut lebih banyak menggunakan bahan yang di temukan dalam dunia maya (internet) tanpa verifikasi atau tanpa menggunakan buku yang pas.

Contoh tabel dalam makalah; “Mengenal Suku Bangsa di Pegunungan Tengah Papua”
Apa yang tampak saat ini terjadi karena perubahan sosial yang terjadi sangat cepat dan tidak bisa di bendung. Untuk memasuki ranah budaya, maka yang di perlukan memahami tahap-tahap perubahan sisoal yang terjadi dan mencari bahan, jurnal, kliping media masa, dan buku yang tepat. Jangan sekali-kali menggunakan tulisan di situs gratis, karena banyak yang kopi paste dan keliru, begitu pula dengan catatan-catatan perjalanan. Ada banyak buku dan makalah yang keliru misalnya; makalah yang di tulis seorang dosen jurusan geografi dangan gelar S.P.d.MSi dari salah satu universitas di Jakarta “Mengenal Suku Bangsa di Pegunungan Tengah Papua” dalam makalah ini ia menulis “Suku Nayak” mungkin yang di maksud adalah suku Dani di Lembah Baliem. Sejak awal sudah salah apalagi isinya, marga, keret dan adatnya salah semua.

Bahasa-bahasa di Papua memiliki struktur yang rumit dan agak susah di terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Mirip bahasa inggris, penggunaannya pun tergantung pada konteks dan waktu. Tidak bisa di tejemahkan “lurus-lurus” saja.

Sebagai penutup kumcer Manokwari merupakan karya yang perlu di miliki oleh perpustakaan di sekolah-sekolah di Papua dan juga dapat di pergunakan oleh guru sebagai bahan ajar sastra. Acemo Cembub, Abresso…. Hormat di bri!

[i] . Stand Up komedi khas budaya Melanesia, Papua. Kemudian berkembang menjadi MOP (merujuk pada April MOP, karena pada masa pemerintahan Belanda, stand up komedi atau mop sering di pentaskan pada hari hari besar) Mop kembali dipopulerkan oleh grup Mambesak dalam berbagai peringatan hari-hari besar kenegaraan seperti 17 Agustus, dan dalam acara Pelangi Budaya di RRI Jayapura dll. Pada tahun 2007 mop (Top MOP) mejadi acara  di salah satu stasiun TV Lokal Papua, dan di tahun2009 salah satu tv lokal lainnya, juga menjadikan mop dengan tokoh Mr. Chico sebagai mata acara unggulannya. Dari Merauke muncul mop Epenka, Cupen to, hingga saat ini, yang tak paham sejarah MOP, mereka mengakronimkan mop menjadi mulut orang pintar, membuat orang pusing atau menggunakan mob dengan huruf b.

[ii]Hubungan kekerabatan antara Papua dan Tidore bisa di lihat dalam cerita Kurabesi. Saat itu Kurabesi di minta bantuannya untuk membantu Tidore berperang melawan Ternate dan peperangan itu di menangkan oleh Tidore. Untuk menghargai bantuan Kurabesi maka ia dinikahkan dengan anak sulltan Tidore.

[iii] Lihat; The Rise of Portuguese Power in India (1497-1550). Richard Stephen Whiteway (1967, 1989). Susil Gupta, London.

[iv] Lihat; MELAYU PAPUA DAN INJIL DI TANAH PAPUA, Izak Morin; http://www.sastrapapua.com/2012/02/melayu-papua-dan-injil-di-tanah-papua.html

Referensi;

Sawaki, Y. (2005) Languages and Linguistics in Papua. UNIPA. Papua

Sawaki. Y. (2005) Melayu Papua: Tong Pu Bahasa. UNIPA. Papua

Warami. H. (2005) Linguistika: Bentuk Partikel Bahasa Melayu Papua. UNUD. Bali

Burung, W. (2008). Melayu Papua: A Hidden Treasure. International Conference on Language Development, Language Revitalization and Multilingual Education in Ethnolinguistic Communities, 1-3 July 2008, Bangkok, Thailand.

Foley, W. A. (1986). The Papuan languages of New Guinea. Cambridge: Cambridge University Press.

Reesink, Ger P. 1999. A grammar of Hatam, Bird’s Head Peninsula, Irian Jaya. Canberra: Pasific Linguistics.

Roosman, R. S. (1982). Pidgin Malay as spoken in Irian Jaya. The Indonesian Quarterly 10 (2): pp. 95 – 104.

Saragih, C.F. (2013). Personal Pronoun Usage in Papuan Malay (An Anthropological Linguistic Study) in Noken: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra dan Sosial–Budaya Vol. 1. No.1 pp. 39 – 59. Manokwari: Fakultas Sastra dan Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Papua, Universitas Negeri Papua

Saragih, C.F. Forthcoming. Preliminary Notes on the History and Development of Papuan Malay. Paper to be presented in Workshop of Languages in Papua 3 on 21 – 24 January 2014 in Manokwari: Universitas Negeri Papua.

Donohue, M. Papuan Malay. In: Gensler, O. (Ed.), Malay/Indonesian Linguistics. Curzon Press London, in press.

Donohue, M., Sawaki, Y., 2007. Papuan Malay pronouns: forms and functions. Oceanic Linguistics 46, 253–276.

FORTGENS,1. 1917. Kitab arti logat Ternate; Woordenlijst van het Ternatesch (met Maleisch-Nederlandsche verklaringen). Semarang: Van Dorp. 89 p.

FRAASSEN, F. VAN. 1981. A historical introduction to the literature. The North Moluccas: An Annotated Bibliography. by K. Polman. (Koninklijk InStitull,t voor Taal, Land-en Volkenkunde Bibliographical Series 11). Dordre;ht: Foris.

A concise history of North Maluku and a detailed history of scientific research in Malulcu, commenting on the relative quality of various works listed in Polman's bibliography (1981).

GRIMES, BARBARA DIX. 1991d. Language contact and the development of regional Malays: Insights from Ambon. Paper presented at the Sixth Internalional Conference on Austronesian Linguistics, Honolulu, May 20-24.

Compares the phonology and morphology of Ambonese and standard Malay. Then proposes a framework in which to analyze contact-induced language change with special reference to Ambonese Malay.

AJAMISEBA, D.C. 1994. Keadaan bahasa-bahasa di Irian Jaya: Klasifikasi, ciri, dan distribusinya. Maluku dan Irian Jaya, ed. By E.K.M. Masinambow. Jakarta: Lembaga Dmu Pengatahuan Indonesia.

Brief overview of some of the notable characteristics of the Papuan languages of Irian Jaya, with examples of several languages. Includes descriptions of pronominal systems, verbal morphology, word order and counting systems. In Indonesian.

APITULEY. c., et al. 1981. Struktur Bahasa Ternate. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Donohue, M., 2002b. Tobati. In: Lynch, J., Ross, M., Crowley, T. (Eds.), The Oceanic Languages. Curzon Press, Richmond, pp. 186–203.

Anceaux, J. C. (1961). The linguistic situation in the islands of Yapen, Kurudu, Nau and Miosnum, New Guinea. S-G Ravenhage: Martinus Nijhoff.

Dol, P. (2007). A grammar of Maybrat. A language of the Bird’s Head Peninsula, Papua Province, Indonesia. Canberra. Pacific Linguistics.