Estetika dari Eksotika Timur
Oleh; Sihar Ramses Simatupang
Walau pameran patungnya yang bertajuk “Tribal Art” mempertemukan
timur dan barat, tetap saja nuansa timur yang lebih kental terasa.
Seniman Antonius Kho memang berbekal latar belakang filosofi timur yang
begitu kuat hingga merangsang penciptaannya.
Patung-patung yang dibuatnya mengingatkan pada totem yang kerap
dijumpai di Papua. Bentuknya yang mengukir, berputaran halus, sedikit
pun tak menyisakan sudut simetris yang tajam pada karya-karyanya.
Yang unik, adalah pernyataan seniman lukis yang kini “jadi pematung”
itu: Asia adalah bulatan dan Barat adalah kotak atau prisma, Barat tak
mengenal estetika yang lebih dibentuk oleh rasa. Barat sangat perduli
waktu, di Timur waktu lentur, kontemplatif, walau terkesan jam karet.
“Saya tujuh tahun tinggal di Jerman, dari sana saya tahu bahwa
masyarakat Eropa, atau bahkan Barat, sangat logis dan matematis dalam
pemikirannya. Di sana juga saya tak memakai arloji,” kata Antonius
tersenyum, saat dijumpai di Jakarta.
Bentuk semacam ini sebenarnya sudah dia jalani belasan tahun lalu.
Namun, perjalanan di Eropa, justru membuat dia semakin yakin pada
identitasnya. Hingga pamerannya di Galeri Mon Décor, Jakarta, dia
mengaku tak ingin melirik bentuk simetris, atau medium lainnya yang
“lebih modern”.
Ada dua bentuk proses kreatif yang dilakukannya untuk mengeksplorasi
kayu itu: kayu alami, atau kayu yang ditempelkan medium lain dengan
teknik kolase. Namun pada kedua pola itu, tekstur kayu memang ingin
tetap dia pertahankan. Bahannya antara lain dari kayu Bersian, Suar,
atau Waru.
Di mana corak dan nuansa Barat? “Ya, warna cat tetap warna dari
Barat. Warna-warna muda, biru muda, hijau muda. Seperti salju,” ujarnya.
Dia juga tak mengingkari latar seni rupa modern khususnya patung sangat
berpengaruh di kalangan seniman timur, termasuk dirinya.
Identitas
“Saya memang lama tinggal di Yogyakarta. Saya tertarik pada basik
tradisi seni rupa di sana,” ujar perupa itu. Kekagumannya teknik pahat
kayu (walau seperti tradisi Indonesia lainnya, lebih bernuansa
dekoratif) menjadi latar pilihan karyanya itu.
Kho lalu bicara tentang identitas. Di tengah arus global, dia melihat
karyanya yang justru lebih bernuansa Asia seharusnya – sebagaimana
totem Papua, cara ukir di Jawa dan Batak walau masih dekoratif – terasa
kental dan khas sebagai identitas. Walau melihat banyak seniman Asia
yang “kebarat-baratan” dalam penuangan karyanya, dia tetap menggali
identitas itu.
Tema yang diangkat dalam karyanya yang dipamerkan hingga 28 Agustus
ini pun sangat mengarah ke persoalan manusiawi. Lihatlah tajuk
“Bersahaja” (2005), “Bunga Kehidupan” (2005). Karya lainnya, Reborn,
dengan medium kayu, dia memperlihatkan sosok bayi yang di dalam rahim,
yang punya makna tentang reinkarnasi manusia. Sebuah pertumbuhan dan
kebangkitan baru atas kematian.
Caranya melihat unsur filosofis ini membuat karyanya, seperti simbol
lelaki dan perempuan, lingga dan yoni, tak lagi berwujud seksualitas
harafiah, tapi lebih kepada simbolik sakral. Seperti metafora atas
peristiwa pertemuan langit dan bumi, langit yang memberikan hujan kepada
bumi, diberikannya kesuburan agar tanaman, segala yang meriap dan yang
hidup di atas tanah dapat tumbuh dan hidup.
Jean Couteau, kritikus seni, mengomentari bahwa dengan latar
lukisannya, Antonius Kho dalam pameran ini tetap memperlihatkan logika
dua dimensi pada karya patungnya. Dia tak menanggapi volume yang dibuat
khusus dari sisi depan, belakang, pinggir. Karyanya berada di antara
genre “in the round” dan “relief”, sebuah ukiran di atas dasar yang
datar.
Couteau, malah melihat corak Kho terasa kosmopolit, sebagai cermin
pendidikan di luar negeri. Prinsip seni rupa memang modern, namun
simbolisme lebih gamblang sehingga mendekati karakter pada seni di
Afrika atau Pasifik, di mana tak mementingkan detail, melainkan lebih
mengacu pada daya ekspresi simbolik.
Sumber; http://www.sinarharapan.co.id/