Bahasa dan Tradisi Lokal yang Tragis

Oleh: Ibiroma Wamla *)
antarafoto.com

ARUS perubahan budaya yang deras masuk membuat sebagian masyarakat kuatir akan hilangnya adat dan budaya Papua. Sebuah kekuatiran yang sangat mendasar, bayangkan saja ada puluhan chanel TV, media cetak, radio online, dunia maya yang bisa diakses di Papua tanpa terbendung.

Dari bahasa, pakaian hingga cara berpikir orang Papua perlahan-lahan mulai tergantikan. Karl Muller dalam salah satu acara talk show di TV mengatakan “Orang Papua berusaha mengejar kemajuan, tetapi mereka meninggalkan nilai-nilai adat dan tradisinya”.

Kekuatiran akan hilangnya nilai-nilai dalam tradisi lokal sangat berlasan, sebab adat, tradisi dan budaya bukanlah penuturan, atau cerita kosong. Melainkan konsep, ide, filosofi yang diwariskan dari leluhur Tanah Papua sebagai bagian diri kita sendiri sebagai makhluk sosial. Maka tak heran jika Goethe, sastrawan besar Jerman mengatakan “Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa mampu memanfaatkan akalnya”.

Tidak ada satu orangpun yang dapat membantah bahwa Papua sangat kaya dengan adat dan budaya, terbentang dari Fakfak ke Merauke, dari Mapia sampai ke Kimaam. Kekayaan kebudayaan yang mencapai ratusan ini tidak dimiliki oleh wilayah lain dibelahan bumi ini.

Di belahan bumi lain, bangsa-bangsa urban berusaha mengumpul tradisi, adat dan budaya, mereka mambangun budayanya sebagai satu kebanggan sebuah bangsa. Bahkan ada yang mengklaim tradisi bangsa lain sebagai tradisi bangsanya.

Adat dan tradisi dalam Sastra Lisan dapat dipakai sebagai instrumen politik dan kehidupan sehari-hari di Papua. Dua tokoh besar di Indonesia yakni Soekarno dan Soeharto pun menggunakan folklor lisan sebagai instrumen politik selama masa pemerintahannya. Folklor lisan dapat memberikan dampak yang luar biasa kepada masyarakat karena budaya oral dan tradisi lisan yang masih kuat.

Pengetahuan etika, moral, dan semangat kerja keras dahulu bisa diperoleh dalam pendidikan adat (inisiasi). Hal ini tidak ada dalam pendidikan moderen. Lewat inisasi maka para pemuda dapat belajar keperdulian yang kuat terhadap lingkungan sosial juga dapat juga memupuk kecintaan terhadap tradisi yang ada dalam masyarakatnya.

Dalam adat dan tradisi lokal secara kolektif mengabadikan, mengungkapkan atau menyampaikan pesan yang penting bagi keret, klen pada suatu masa untuk masa yang akan datang. Adat dan tradisi lokal yang dimaksud di sini adalah bagian suatu nilai lokal, yang disebarluaskan turun-temurun di antara anggota keret dan klen bentuk lisan (tutur) sebagai alat bantu mengingat.

Adat dan tradisi lokal bisa berupa cerita prosa (mite), dongeng, legenda, nyanyian rakyat, pantun, mapun syair. Adat dan tradisi lokal dapat dipergunakan sebagai bahan penganalisaan tata kelakuan suatu keret atau klen. Dalam Adat dan tradisi lokal tersimpan ide-ide, ingatan, masa lampau (sejarah), mitologi, sistem proyeksi, pengesahan budaya, pendidikan pedagogik, serta norma yang berlaku dan diterima oleh keret dan klennya.

Soekarno Presiden RI I pernah mengatakan “Jasmerah” jangan sekali-kali melupakan sejarah, kemudian dalam Pidato HUT Proklamasi 1966, ia mengakatkan lagi “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.”

Dalam konteks Papua, Mambesak membangun filosofi, “bernyanyi untuk hidup, dahulu, sekarang dan nanti” dari dua pandangan (Soekarno dan Mambesak) tersebut terdapat benang merah yang sama yaitu adat dan tradisi lokal menghubungkan generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Adat dan tradisi lokal diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada kehidupan masa lampau di Papua, proses tranformasi pemikiran, perkataan, dan perilaku itu dituturkan ketika sore menjelang api di nyalakan di tungku, semua laki-laki duduk dan mulai mendengar.

Hilangnya Adat dan tradisi ini merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam kehidupan orang Papua. Batas-batas tanah tidak lagi diketahui, kawin sesama fam menjadi hal bisa, mengambil yang bukan haknya menjadi hal yang biasa, begitu pun dengan kekerasan terhadap perempuan. 

Kekacauan terjadi di atas tanah ini karena banyak hukum adat, filosofi, pandangan kehidupan mulai menghilang. Hilang atau terkikisnya hukum adat, filosofi diawali dari tidak digunakannya bahasa daerah, hal ini menyebabkan tidak diajarkan nilai-nilai dalam adat, filosofi (perumpamaan, peribahasa, dongeng) kepada generasi selanjutnya.

Seringkali bila seseorang menggunakan bahasa daerahnya ia diejek, yang lebih parah lagi, tahun 80-an penggunaan bahasa daerah di sekolah dilarang oleh guru karena dianggap kampungan. Akibat diejek dan dilarang, maka ada kecenderungan penutur bahasa daerah berkurang bahkan punah. Hingga saat ini sudah 11 bahasa di Tanah Papua yang hilang. Kehilangan bahasa ini sangat tragis, karena bisa menjadi salah satu indikator, bahwa orang asli Papua telah kehilangan identitasnya.

Dampak dari berkurangnya penggunaan bahasa tersebut adalah hilang atau terkikisnya hukum adat, tradisi lisan yang juga menyebabkan terjadi perubahan makna. Tidak dipakainya bahasa yang mengandung filosofi menyebabkan kemerosotan etika, moral, dan semangat kerja keras menjadi mudah menurun atau lemah dalam perilaku.

Pemerintah Provinsi Papua bukan tidak tahu, di tahun 2007 Domingus Rumbewas kepala Dinas Kebudayaan Papua saat itu, di sela acara pembukaan Festival Adat Papua, di Jayapura mengatakan bahasa adat di Papua terancam punah. Sebab anak muda di Papua cenderung enggan menggunakan bahasa adat. “Bahasa adat di salah satu suku, diperkirakan 30 tahun lagi punah,” (Tempo Interaktif 08/08/2007). Namun hingga saat ini belum ada upaya-upaya yang kongkrit di lakukan untuk mencegah punahnya bahasa daerah di Papua.

Saya kurang tahu apakah anak-anak sekarang paham tentang pesan dalam cerita Nug Nug Wan dari Tbadic dan Injros, atau Nabula Kabula, Nabelan Kabelan dari Lembah Baliem dan Lani, atau siapa itu Beorpict, siapa itu Fumiripict, atau siapa itu Fakoki dan Pasref, Kurabesi, dst.

Atau apakah generasi di wilayah Enarotali, Paniai masih mengenal bentuk-bentuk agiya (noken) sedikitnya ada enam agiya, yakni; goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya. Atau di daerah Lembah Baliem dengan delapan jenis su (noken), apakah generasi sekarang mengerti dan memahami fungsi dari tiap noken tersebut? Jika tidak ada lagi yang tahu maka fenomena ini menunjukkan bawa perubahan yang terjadi saat ini memberi dampak semakin melemahnya fungsi bahasa dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam tradisi lisan Papua.

Walaupun ada banyak lembaga adat yang dibentuk, namun ada diantara lembaga tersebut hanya dimanfaatkan bagi momen-momen tertentu untuk kepentingan beberapa pihak saja. Misalnya, bagi kepentingan kaum pemodal atau politikus yang raskus kekayaan dan jabatan. Sangat disayangkan lembaga adat tidak berupaya menjadi benteng untuk menjaga tradisi, pesan-pesan moral dalam cerita rakyat maupun mite dan dongeng, tetapi hanya menjadi alat bagi kepentingan tertentu.

Hilangnya tradis lokal dan adat itu bisa juga di lihat dari perilaku anak muda Papua yang tegelam dalam budaya pop. Mereka sebaga generasi pewaris nilai-nilai lokal tidak perduli lagi. Fam atau marga diubah seenaknya agar terlihat tren, berbahasa gaya “Jakarta” meniru yang mereka tangkap dari media massa.
Pada suatu akhir, kita hanya bisa bangga hitam kulit, keriting rambut, tetapi isinya sudah tidak Papua lagi, bercampur entah dari mana. Dan kita kumandangkan lagu yang dinyanyikan grup Marya Wabrina “Kuri Pasai”, dongeng Kuri Pasai/ dongeng dari zaman ke zaman/ dongeng kini telah menghilang/ kini entah dimana/ Kuri dimana tubuh mu/ Pasai kau ada dimana/ kami sudah lama menunggu/ kau datang dan kembali//

*) Penulis adalah pelajar adat dan budaya Papua

Sudah pernah dimuat di Harian Suluh Papua

Posting Komentar

0 Komentar