Oleh; Chrisma
Fernando Saragih*
Peta Bahasa Bahasa di Papua (Peta SIL) |
“We need
history more than money.”
(Dr. Myles Munroe)
Pengantar
Papua adalah wilayah yang
memiliki suku-suku lokal terbanyak. Dalam area ini terdapat ± 271 suku bangsa bila
keberadaan suku bangsa itu dihitung berdasarkan jumlah bahasa daerah di wilayah
ini. Sayangnya, sampai saat ini informasi tentang sejarah suku-suku ini yang
meliputi asal-usul, persebaran dan hubungan tali-temali antara satu suku dan
suku yang lain, belum dapat ditelusuri
dan disusun secara ilmiah. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, tetapi
paling tidak ada 3 (tiga) faktor utama: (i) kurangnya kajian ilmiah yang
dilakukan; (ii) kurangnya ketersediaan dana penelitian, dan; (iii) banyak
histori semakin hilang dari memori generasi penerus suku-suku Papua.
Menelusuri sejarah suku-suku Papua
bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Paling tidak dengan mengatasi 3 (tiga)
faktor utama di atas serta faktor-faktor pendukung lainnya, sejarah asal-usul,
persebaran dan hubungan tali-temali antara satu suku dan suku yang lain dari suku-suku
di Papua dapat ditelusuri. Hanya saja, penelurusan sejarah suku-suku di Papua,
baik secara praktis, teoritis maupun metodologis, tidak dapat dilakukan oleh
satu kajian ilmu tertentu dalam waktu yang singkat. Usaha ini harus melibatkan
berbagai multi-disiplin ilmu dalam menarik kesimpulan tentang berbagai fakta
sejarah dari suku-suku Papua tersebut.
Salah satu bidang ilmu yang dapat
dipakai untuk mengkaji sejarah suku-suku di Papua adalah bidang ilmu Linguistik
(ilmu Kebahasaan). Linguistik adalah bidang ilmu yang berfokus dalam
mempelajari secara sinkronis maupun diakronis bahasa-bahasa manusia. Pendekatan
sinkronis dipakai untuk mengkaji situasi atau fenomena bahasa pada suatu masa,
sedangkan pendekatan diakronis dapat dipakai untuk membandingkan situasi atau
fenomena bahasa dalam dua kurun waktu, misalnya dengan membandingkan situasi
atau fenomena bahasa pada masa kini dan masa lalu. Dengan demikian penelusuran
sejarah suku-suku di Papua yang meliputi asal-usul, persebaran dan hubungan
tali-temali antara satu suku dan suku yang lain dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan studi linguistik ini. Dan, objek kajian yang akan
digunakan untuk menelusuri sejarah suku-suku Papua adalah bahasa-bahasa daerah
yang digunakan oleh suku-suku tersebut. Tulisan singkat ini akan membahas secara
umum bagaimana penelurusan sejarah suku-suku Papua dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan bidang ilmu Linguistik.
Pembagian Suku-suku Papua berdasarkan
Bahasa Daerah
Sekilas telah dipaparkan di atas,
Papua-Indonesia memiliki ± 271 bahasa daerah. Jumlah bahasa ini dapat digunakan
sebagai sebuah variabel dalam menentukan jumlah suku yang ada di Papua. Dengan
demikian, Papua memiliki ± 271 suku bangsa. Suku-suku Papua ini berdasarkan
sistem kesenian dikelompokan ke dalam 7 (tujuh) wilayah kesatuan kultural,
yaitu: (i) Saireri; (ii) Domberai; (ii) Bomberai; (iv) Mee–Paqo; (v) Lani–Paqo;
(vi) Tabi, dan; (vii) Anim–Ha. Sedangkan berdasarkan tipe kepemimpinan,
suku-suku di Papua ini dikelompok menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: (i) Sistem
Kepemimpinan Campuran, (ii) Sistem Kepemimpinan Pria Berwibawa; (ii) Sistem
Kepemimpinan Raja-Raja, dan; (iv) Sistem Kepemimpinan Ondoafi (Mansoben, 1995)
Secara linguistis, suku-suku
Papua dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: suku-suku yang
menggunakan bahasa daerah yang berasal dari kelompok bahasa Austronesia dan
suku-suku yang menggunakan bahasa daerah dari kelompok bahasa Non-Austronesia
atau sering juga disebut Papuan. Suku-suku
yang menggunakan bahasa daerah dari kelompok Austronesia secara dominan menetap
di wilayah-wilayah pesisir pantai Papua dengan karakteristik sistem
kebudayaannya yang cukup berbeda dari suku-suku yang menggunakan bahasa daerah
dari kelompok bahasa Non-Austronesia yang secara dominan tersebar di wilayah
pegunungan. Keadaan demografis dan etnografis ini, sedikit banyaknya, telah
membentuk dikotomi suku-suku Papua menjadi “orang pantai” dan “orang gunung”,
meskipun istilah-istilah ini dapat menjebak. Misalnya, ada suku-suku Papua yang
menggunakan bahasa daerah yang berasal dari kelompok bahasa Non-Austronesia
yang menetap di pesisir pantai. Suku-suku ini, secara sosial, tidak menerima
apabila disebut sebagai “orang gunung”.
Kedua kelompok bahasa di atas
masih dapat lagi dibagi menjadi sub-sub kelompok atau sub-rumpun yang lebih
kecil yang biasanya diistilahkan dengan filum/fila atau lebih kecil lagi, yang
diisitilahkan dengan stock. Kelompok
Bahasa Austronesia adalah kelompok, yang dalam perkembangan terakhir, dapat
dikelompokan menjadi satu kelompok besar yang berasal dari proto bahasa
Austronesia, karena semua bahasa-bahasa ini berasal dari satu garis nenek
moyang bahasa. Sayangnya, hal ini tidak berlaku bagi kelompok bahasa yang
termasuk dalam bahasa-bahasa Non-Austronesia atau Papuan. Bahasa-bahasa Non-Austronesia secara genetis tidak berasal
dari satu proto bahasa. Kenyataannya, istilah “Non-Austronesia” yang digunakan
hanya sebuah label untuk mengelompokan bahasa-bahasa yang tidak termasuk dalam
kelompok bahasa Austronesia di Papua-Indonesia (juga Papua New Guinea). Hanya
saja, sub-bagian ini tidak akan membahas secara detail pembagian filum dan stock dari kedua kelompok besar
bahasa-bahasa di Papua ini.
Kelompok bahasa Austronesia di
Papua dapat dibagi menjadi kelompok kecil bahasa-bahasa Austronesia di
semenanjung Bomberai sering disebut Central
Malayo Polynesian dan kelompok sub-rumpun bahasa-bahasa Austronesia di
bagian utara pulau Papua biasa disebut sub-rumpun Eastern Malayo-Polynesian. Sub-rumpun Eastern Malayo-Polynesian dibagi lagi menjadi kelompok
bahasa-bahasa Austronesia di sebelah barat Teluk Cenderawasih biasa disebut
kelompok South Halmahera-West New Guinea dan
kelompok bahasa Austronesia di sebelah timur Teluk Cenderwasih, biasa disebut Oceanic. Semua bahasa Austronesia ini
berasal dari satu nenek moyang bahasa yaitu proto Austronesia. Sedangkan
bahasa-bahasa Non-Austronesia di Papua dibagi menjadi filum Trans New Guinea
yaitu bahasa-bahasa yang secara dominan digunakan oleh suku-suku di pegunungan
tengah, filum Papua Barat (West-Papuan)
yaitu bahasa-bahasa Non-Austronesia yang digunakan oleh suku-suku di Kepala
Burung dan filum Teluk Cenderawasih (Geelvink
Bay) yaitu bahasa-bahasa yang digunakan secara dominan oleh suku-suku di
sekitar daerah Mamberamo dan Sarmi. Semua bahasa Non-Austronesia berasal dari
nenek moyang bahasa yang berbeda-beda. Upaya pengklasifikasian bahasa-bahasa
Non-Austronesia ke dalam satu keluarga masih menjadi perdebatan para ahli
bahasa hingga kini. Selain itu, ada juga bahasa-bahasa yang belum dapat
diklasifikasikan ke dalam kelompok Austronesia maupun Non-Austronesia yang
sering disebut sebagai kelompok terasing/isolates/unclassified
(lihat, Foley 1986, 2000; Lauder dan Ayatrohaédi, 2006; Wurm, 2007).
Peran Ilmu
Linguistik dalam Penelusuran Sejarah Suku-Suku Papua
Bidang ilmu Linguistik memiliki
peran yang cukup penting dalam menyingkap sejarah asal-usul suku bangsa. Hal
ini karena objek kajian ilmu Linguistik, bahasa, merupakan salah satu identitas
bagi setiap suku. Dengan kata lain, setiap suku, umumnya, memiliki satu bahasa
sebagai pembeda dengan suku lain.
Fakta unik tentang bahasa adalah
bahasa selalu tersebar bersamaan dengan tersebarnya suku (etnik) penggunanya.
Dengan kata lain, setiap kali satu kelompok orang/suku berpindah atau menyebar
dari satu tempat ke tempat yang lain karena berbagai alasan, kelompok ini akan membawa
serta bahasa mereka. Tepatnya, bahasa berpindah saat penggunanya berpindah. Contohnya,
ketika satu kelompok berpindah meninggalkan kelompok lamanya di lokasi A dan kemudian
membentuk kelompok baru di lokasi B, bahasa yang dipakai di lokasi A akan
dibawa oleh kelompok yang berpindah tersebut untuk dipakai juga di lokasi B.
Dengan demikian, bahasa di lokasi A kini juga berada di lokasi B. Perpindahan
bahasa dari lokasi A ke lokasi B dapat menyebabkan bahasa ini berubah baik
menjadi sebuah variasi dalam bahasa yang sama yang dikenal dengan istilah dialek atau bahkan membentuk sebuah
bahasa baru. Kemungkinan yang kedua dapat terjadi bila satu bahasa berpindah
dalam jangkaun wilayah yang luas dan dalam waktu yang cukup lama.
Dengan melihat kenyataan di atas,
hal ini berarti bahwa ketika sebuah bahasa dipelajari secara tidak langsung
suku penggunanya pun dipelajari. Misalnya, kajian tentang asal-usul dan persebaran
suatu bahasa akan menyingkapkan asal-usul dan penyebaran suku penggunanya. Bahkan
hasil kajian ini dapat digunakan untuk mengungkap eksistensi suku tersebut, misalnya
apakah suku tersebut “asli” dari lokasi tersebut atau hanya “pendatang” dari
suatu tempat yang lain. Di sinilah letak peran penting bidang ilmu Linguistik
dalam menyingkapkan sejarah suku-suku termasuk di dalamnya sejarah suku-suku
Papua.
Dengan
menggunakan pendekatan linguistik diakronis dan ditunjang dengan pendekatan linguistik
sinkronis yang berfokus pada pengkajian bahasa-bahasa daerah di Papua yang
dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar di atas, sejarah suku-suku Papua yang
meliputi asal-usul, perjalanan migrasi, originalitas dan keeksistensian secara
tidak langsung dapat dipelajari.
Metode
Linguistik untuk Penelurusan Sejarah Suku-Suku Papua
Memang, seperti telah uraikan di
atas, kajian linguistik tidak secara spesifik bertujuan untuk mengkaji sejarah
suku-suku, melainkan bertujuan untuk mengkaji bahasa-bahasa dari suku-suku
tersebut. Hasil kajian bahasa-bahasa ini yang kemudian dapat digunakan untuk
menyingkapkan sejarah suku-suku tersebut.
Beberapa cabang ilmu Linguistik
yang dapat digunakan untuk kepentingan penelusuran sejarah suku-suku Papua
meliputi: (i) studi linguistik historis-komparatif, dan; (ii) studi linguistik
tipologis. Gabungan kedua sub-bidang linguistik ini dapat membantu penyingkapan
sejarah suku-suku Papua terutama terkait dengan asal-usul, perjalanan migrasi
dan keeksistensian suku-suku tersebut.
Studi linguistik
historis-komparatif dengan metode analisisnya yang meliputi metode
perbandingan, metode rekonstruksi dan metode pengelompokan dapat digunakan
untuk: (i) membandingkan korenspondensi bahasa yang satu dan bahasa yang lain
di Papua; (ii) merekonstruksi bahasa-bahasa purba dari suku-suku Papua; (iii)
mengelompokan bahasa-bahasa daerah di Papua ke dalam kelompok-kelompok yang
memiliki tali kekerabatan, dan; (iv) mengkaji persebaran migrasi bahasa-bahasa
daerah dari suku-suku Papua. Objek penelitian dari studi linguistik
historis-komparatif adalah data bahasa yang berupa fonem (bunyi bahasa) dan morfem (kosakata bahasa). Pengkajian
kedua bentuk linguistik ini yang akan digunakan untuk menentukan sejarah
suku-suku Papua. Studi linguistik historis-komparatif ini akan ditunjang dengan
studi linguistik tipologis dengan metode pengklasifikasian bahasa-bahasa daerah
ke dalam tipe-tipe berdasarkan struktur sintaksis dari bahasa-bahasa daerah
tersebut.
Peran
Pemerintah, Akademisi, Pemangku Jabatan dan Masyarakat dalam Penelusuran
Sejarah Suku-Suku Papua
Apa yang dapat dilakukan oleh
bidang ilmu Linguistik di atas bukan jawaban akhir bagi penelusuran sejarah
suku-suku Papua. Seperti telah disinggung di bagian pengantar, usaha
penelurusan sejarah suku-suku Papua bukan milik satu kajian ilmu tertentu.
Usaha ini harus melibatkan berbagai kajian ilmu. Bahkan lebih dari itu, usaha
ini harus melibat semua pihak baik peneliti (akademisi), pemerintah, stakeholders dan masyarakat suku-suku
Papua sendiri. Kerjasama pihak–pihak ini sedikit banyaknya dapat membantu untuk
mengatasi 3 (tiga) masalah utama di atas yang (sedang) menghalangi upaya
penelusuran sejarah suku-suku Papua.
Oleh karena itu peran gabungan
semua pihak ini sangat penting. Para akademisi/peneliti dapat menjadi sumber-daya
yang bekerja sama sesuai dengan bidang ilmu masing-masing demi mengungkapkan
fakta-fakta sejarah suku-suku Papua. Pihak pemerintah dan stakeholders, di sisi lain, dapat berkontribusi sebagai sumber-dana
demi menunjang kelangsungan usaha ini dan masyarakat suku-suku Papua dapat
menjadi sumber-data dalam menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan.
Penutup
Bagi peradaban manusia, kebutuhan
akan sejarah lebih penting daripada kebutuhan akan uang. Sejarah berfungsi
sebagai pengarah dengan informasi masa lalu yang berguna untuk membangun hidup
yang lebih baik di masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, upaya menelusuri
sejarah adalah sebuah upaya mulia. Hal ini juga berlaku bagi penelusuran
sejarah suku-suku Papua. Salah satu cara untuk menelusuri sejarah suku-suku
Papua yaitu dengan menelusurinya melalui kajian-kajian ilmu Linguistik. Akan
tetapi, hasil kajian ilmu Linguistik saja masih belum dapat memberikan
keterangan lembaran sejarah yang utuh tentang suku-suku Papua. Oleh karena itu,
keterlibatan semua pihak akademisi dari berbagai bidang ilmu, pemerintah, pemangku
jabatan dan masyarakat suku-suku Papua sangat diperlukan untuk mendukung upaya
ini.
Rujukan
Pustaka
Foley,
W.A. (1986). The Papuan Languages of New Guinea. Cambridge: Cambridge
University Press.
Foley, W.A.
(2000). The languages of New Guinea. Annual Review of Anthropology 29:
357–404. Online URL: http://dx.doi.org/10.1146/annurev.anthro.29.1.357
Lauder,
M. R. M. T. dan Ayatrohaédi. (2006). The Distribution of Austronesian and
Non-Austronesian Languages in Indonesia: Evidence and Issues. Dalam Austronesia
Diaspora and The Ethnogeneses of People in Indonesia Archipelago, Proceedings
of the International Symposium edited by Truman Simanjuntak et.al. Jakarta:
LIPI Press
Mansoben,
J.R. (1995). Sistim Politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI-RUL
Wurm,
S. A. (2007). Australasia and the Pacific. Dalam Christoper Morseley (editor),
Encyclopedia of World’s Endangered Languages edited by. New York: Roudledge.
*Dosen Linguistik pada Fakultas Sastra dan Budaya,
Universitas Papua
0 Komentar