Ilustrasi; expresswriters.com |
KAUM realisme sosialis meyakini bahwa sastra mencerminkan kehidupan atau proses sosial. Pada hakikatnya sastrawan tidak bisa terlepas atau melepaskan diri dari kenyataan sosial. Pengarang tidak sekadar menampilkan kembali fakta yang terjadi dalam kehidupan, tetapi telah membalurinya dengan imajinasi dan wawasannya. Oleh karena itu, meskipun tidak akan sama persis dengan kehidupan nyata, karya sastra sering dianggap dan dijadikan fakta sejarah sehingga lahirlah istilah sastra sejarah.
Sastra sejarah merupakan karya sastra yang di dalamnya terkandung nilai-nilai sejarah atau fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dengan mengandalkan kreativitasnya, seorang pengarang menginterpretasikan peristiwa sejarah pada waktu dan tempat tertentu ke dalam karyanya (sastra sejarah). Dalam sastra sejarah, dengan demikian, fakta sejarah telah diolah (dengan imajinasi dan kreativitas pengarang) dan dituangkan kembali melalui tokoh, seting, dan/atau peristiwa yang dibangun. Mungkin, itulah sebabnya muncul pendapat bahwa sastra sejarah hanyalah suatu upaya untuk merekonstruksi peristiwa sejarah yang pernah terjadi, bukanlah sebuah buku referensi sejarah yang ditulis dengan metode sejarah (Junaidi, “Novel Sejarah: Antara Fiksi dan Fakta” dalam Sastra yang Gundah, 2009).
Sekalipun bersifat fiktif dan imajinatif, sebagai karya yang mengangkat peristiwa sejarah menjadi obyeknya, sekurang-kurangnya sastra sejarah memiliki dua manfaat: (1) dari segi pembaca, sastra sejarah dapat digunakan untuk menerjemahkan peristiwa sejarah sesuai dengan maksud dan kadar kemampuan pengarang melalui bahasa imajinernya; dan (2) dari segi pengarang, sastra sejarah dapat menjadi sarana penyampai pikiran, perasaan, dan tanggapannya terhadap peristiwa (fakta) sejarah. Dalam hal yang terkhir ini, sastra sejarah dapat menjadi “dunia” penciptaan kembali sebuah peristiwa (fakta) sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Atas dasar itu, kriteria (harapan) atas sastra sejarah pun ditetapkan oleh para ahli. George Lukacs, misalnya, menulis, novel sejarah harus mampu menghidupkan masa lampau, yang membuat pembacanya mengalami kejadian-kejadian, merasakan suasana sesuai zaman, berhadapan dengan tokoh-tokoh yang dihidupkan, mengenali perasaan-perasaan mereka, semangat mereka, pikiran-pikiran mereka, dan motif-motif perbuatan mereka. Novel sejarah tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman konkret subyektif dalam bentuk gambaran-gambaran (dalam Suharno, “Membudayakan Novel Sejarah”, 2009).
Sementara itu, filosofi penting dalam ilmu sejarah pun mengatakan bahwa masa lampau merupakan pelajaran bagi masa kini dan masa yang akan datang. Apabila berupa kebaikan, masa lampau itu dapat dijadikan contoh untuk masa depan. Sebaliknya, apabila berupa kesalahan, masa lampau itu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang telah melahirkan (karya) sastra sejarah adalah “kerusuhan” Mei 1998. Peristiwa sejarah yang sempat mencoreng nama baik Indonesia dan telah membangkitkan kemarahan dunia itu, oleh sejumlah pengarang, diabadikan dalam sastra sejarah, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel. Denny J.A., misalnya, mengabadikannya dalam Atas Nama Cinta (kumpulan puisi, 2012). Salah satu puisinya, “Sapu Tangan Fang Yin”, bercerita tentang kasus perkosaan seorang gadis keturunan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Dengan mengambil Jakarta sebagai latar tempat peristiwa, pengarang menggambarkan situasi yang miris: rumah-rumah dibakar, toko-toko dijarah, kerumunan massa membuas, serta perkosaan dan penganiayaan merajalela. Saat itu, Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.
Begitu pula yang dilakukan Hary B. Kori’un. Melalui cerpennya, “Luka Beku” (dalam Tunggu Aku di Sungai Duku, 2012: 91—100), Hary memaparkan historisitas kerusuhan Mei 1998. Melalui pendekatan historis, dalam cerpen itu terlihat arti dan makna kesejarahan yang diungkapkan pengarang melalui cerita yang disuguhkannya. Peristiwa kerusuhan yang terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia cenderung hanya menimpa warga Indonesia keturunan Tionghoa. Ihwal terjadinya pelecehan seksual dan perkosaan massal menjadi sorotan tersendiri, baik di dalam negri, terlebih lagi di luar negri, sama halnya dengan penjarahan dan pembakaran, serta tindak kekerasan seksual yang banyak menimpa warga keturunan Tionghoa, khususnya yang berusia muda.
Sementara itu, Ratna Indraswari Ibrahim dan Leila S. Chudori mengemas peristiwa Mei 1998 itu dalam bentuk novel: 1998 (2012) dan Pulang (2012). Bedanya, Ratna (melalui 1998) memilih kisah percintaan dengan latar khusus kerusuhan Mei 1998, sedangkan Leila (melalui Pulang) berkisah tentang sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan dengan latar tiga peristiwa sejarah sekaligus: 30 September 1965 (Indonesia), Mei 1968 (Perancis), dan Mei 1998 (Indonesia).
Keempat (karya) sastra sejarah itu, bila diamati secara mendalam dan sungguh-sungguh, dapat dirasakan adanya perbedaan antara karya sastra yang bersifat fiksi dan sejarah yang bersifat fakta. Karya fiksi lebih mementingkan unsur imajinasi yang bersifat subjektif, sedangkan sejarah lebih mementingkan fakta yang bersifat objektif. Namun, dengan kreativitasnya, keempatnya (pengarang) mampu menyatukan dua hal yang berbeda itu ke dalam karya rekaannya.
Begitulah, pada kenyataannya karya sastra mampu menghadirkan “fakta lain” yang dapat menjadikan fakta sejarah lebih hidup dan kuat. Berkat kekuatan imajinasi pengarang, fakta sejarah yang dikandungnya tidak harus membuat “dunia fiksi” menjadi beku dan kaku, tak berpenghuni, sebab karya sastra tetaplah fiksi, dunia imajinasi. n
*Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 September 2013
0 Komentar