Mengenai Buku Meregenerasi Manusia Asmat

Buku Meregenerasi Manusia Asmat

Keberadaan kondisi geografis yang unik. Memiliki hamparan lumpur berrawah di kawasan Wilayah selatan Pulau Papua. Namanya Asmat, cukup terkenal dan dikenal di berbagai belahan dunia. Ketenaran nama Asmat itu disebabkan karena memiliki keunikan. Selain kondisi geografis yang ekstrim dibanding belahan Utara Pulau Papua, juga disebabkan oleh ketenaran ukiran dan karya budaya manusia Asmat.

Berragam karya ukiran dan ciri khasnya dikenal sebagai manusia berbudaya yang menghasilkan karya seni natural. Hasil karya natural itu mengharumkan ketenaran nama ‘Asmat’ di muka bumi.

Konon kita tak lupa, para Turis nasional hingga mancanegara berbondong-bondong mengunjungi wilayah naturalistik ini. Tidak ada tujuan lain, selain menikmati karya seni yang dipajang dalam berbagai ajang dan ceremonial tertentu.

Hasilnya, karya-karya budaya natural itu terkesan elok dan mempesona. Para pengunjung, tamu, wisatawan lokal, turis asing dan berbagai peneliti mengabadikannya dalam berragam karya. Berupa foto, video, tulisan, karya lagu serta karya ilmiah kian meluas dan tersebar di belahan seantero bumi. Melalui karya-karya inspirator itulah Asmat dikenang hampir sepanjang waktu.

Bukti-bukti sejarah itu semakin kental dan menyatu bila kita mengunjungi wilayah terpencil di kawasan Indonesia Timur ini. Ataupun ketika kita berada di Museum Budaya Asmat yang terletak di Jantung Kota Agats, Ibukota Kabupaten Asmat maupun setiap waktu bila kita mengunjungi sejumlah museum dan kurator budaya Asmat yang tersebar di Indonesia atau sejumlah negara lainnya. Jika hasil budayanya telah menghantarkan keharuman nama Asmat, maka pertanyaannya adalah, bagaimana dengan nasib kehidupan manusia Asmat?

Bertolak dari keharuman nama, kata orang, ketenaran nama belum tentu membahagiakan manusianya.

Demikian juga dengan keharuman nama Asmat, belum tentu memberi kenyaman bagi manusia Asmat. Seperti yang dibahas dalam buku ini, aspek kehidupan manusia Asmat di bidang pendidikan, tidak setenaran nama Asmat. Lain kata, keunikan budaya Asmat belum tentu memiliki keunikan dalam keberpihakan kepada warga, perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Buktinya, sejak wilayah ini dimekarkan awal tahun 2000-an, persoalan pelayanan pendidikan oleh pemerintah masih mewarnai aspek kehidupan masyarakat.

Dalam buku setebal 354 halaman ini, mengkisahkan jatuh bangun aspek pendidikan di Asmat. Masih terjadi persoalan seputar sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan serta siswa-siswi dan masyarakat, metode dan dana (SATEMEDAN) pendidikan.

Harapan pemerintah daerah untuk memperbaiki aspek kehidupan pendidikan masyarakat di lembaga formal, seolah hanya menjadi proyek semata. Oknum oknum yang menjabat dan ditugaskan di Dinas Pendidikan Asmat, menjadi penghalang bagi peserta didik untuk belajar dan berkembang maju. Hasilnya, ketenaran dan keharuman nama Asmat belum menjamin kehidupan pendidikan manusia Asmat, seperti kisah dan pengalaman duka pendidikan di wilayah Papua atau Indonesia umumnya. Berragam persoalan pendidikan itu masih dibiarkan atau terbiarkan. Pertanyaan ke depan adalah, kemanakah arah dan tujuan hidup manusia Asmat?

Mengapa Buku Ini Ditulis? Tidak ada alasan dan maksud untuk menulis buku ini. Kecuali hanya akibat perjalanan yang panjang dalam liputan berita, seperti dalam pengantar saya (penulis), buku ini muncul dengan sendirinya.

Saya berpikir, jika tulisan-tulisan itu tidak dikemas menjadi satu paketan buku atau dokumentasi tertentu, maka kisah-kisah itu akan terkubur. Malah berpeluang kebebasan para koruptor dan penjahat kekuasaan terus bertindak semaunya.

Atas dasar pemikiran tersebut, saya merasa berprihatin terhadap pendidikan di Asmat. Awal penulisan buku ini dilakukan dengan cara menjadi penulis dalam kasus, kisah dan peristiwa pendidikan yang terjadi di wilayah Asmat sejak tahun 2007 hingga 2010 lalu. Hampir selama 3 tahun lebih hanya bekerja di Asmat, salah satu produknya dalam buku yang berada di tangan bapa ibu sekarang ini. Terkait dengan pertanyaan, mengapa saya menulis buku ini? Saya teringat pada pekerjaan saya selama tahun –tahun lalu, saya tak pernah menyadari pekerjaan harian sebagai kontributor majalah atau tabloid tertentu, akan menghasilkan satu dua buku.

Ide dan karya-karya berupa tulisan kian bertambah dan menumpuk. Saya berpikir, alangkah baiknya tulisan -tiap aspek kehidupan orang Asmat itu- dibukukan dan dipublikasikan ke pasaran agar menjadi catatan dokumentasi yang kelihatan. Dan kali ini, saya melakukannya menjadi sebuah buku dengan judul “Meregenerasi Manusia Asmat”.

Mengapa pada buku perdana Asmat ini saya memberi judul demikian? Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kisah perjalanan saya dari Paniai Ke Asmat.

Di Paniai, pada suku Mee selalu pendidikan dan sekolah diibaratkan seperti salah satu cara untuk melakukan generasi manusia. Artinya dengan sekolah, seseorang mendapat banyak hal, termasuk kehidupan pribadi dan keturunannya. Seorang yang bersekolah, akan memiliki pendidikan yang bermartabat dan berwibawa, sehingga bermanfaat bagi sesamanya.

Hal kedua adalah, di Paniai, seorang anak disekolahkan untuk menjadi lelaki atau perempuan besar. Dalam bahasa Mee disebut “Ogai” tidak hanya diterjemahkan semata sebagai “Pegawai” tapi lebih pada orang yang berguna dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Keprihatinan terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya itu bermaksud, bisa menyelamatkan orang. Lain kata, pendidikan hadir sebagai penyelamat manusia di tengah era kemajuan dan serba globalisasi.

Dengan maksud itu, perlu juga melakukan generasi ulang. Regenerasi. Melakukan proses ulang terhadap proses pendidikan yang sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 1950-an di Asmat dan bahkan kini lebih hancur oleh manusia dan sistim di jaman otonomi daerah. Maka itu buku ini terkesan, penting melakukan generasi ulang. Menata kembali aspek pendidik yang bersasaran pada manusia Asmat dan Papua umumnya.

Harapan. Menjadi orang besar, atau menjadi pemimpin, tidak muda. Bukan juga sebagai berkat yang turun dari langit kepada seseorang, marga, suku atau bangsa tertentu. Menjadi pemimpin, kelompok masyarakat maupun individu yang mampu menolong sesamanya, seperti jaman sekarang ini, diharapkan bila seseorang mengalami proses pendidikan yang benar dan baik.

Jaman sekarang, di negara manapun, pendidikan menjadi nomor satu untuk mengejar kemajuan dan kecerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi tujuan tersebut, setiap daerah atau wilayah di manapun, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan proses pendidikan bagi rakyatnya. Kecuali bila oknum pejabat pemerintah atas nama rakyat dan Negara menjadi pelit atau goblok, maka sistim pendidikan tak berjalan normal.

Melihat kasus-kasus yang terjadi di Asmat dalam rentang waktu liputan saya (penulis), maka kesalahan fatal terletak pada pemerintah. Terlebih oknum pejabat dan kroninya seolah bekerjasebagai buaya pemangsa SATEMEDAN pendidikan di Asmat.

Melihat kasus-kasus ini, harapan khusus dalam buku ini hanya satu. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Asmat terlebih oknum Dinas Pendidikan Kab Asmat, agar mulai sekarang dan ke depan, berhenti mencari kepentingan pribadi dan golongan tertentu. 

Singkat kata, kemajuan manusia Asmat juga wajib diukur dari kemajuan tingkat pendidikan yang bukan dipresentasiu melalui data-data statistik semata seperti selama ini terjadi. Kemajuan suatu bangsa dapat juga diukur berdasar kenyaman hak berpendidikan. Setidaknya warga kampung juga memliki hak dan mampu membaca, menulis dan menghitung (3M) melalui proses pendidikan yang diselenggarakan di wilayah lumpur dan berrawa ini. 


(Penulis, Willem Bobi)

Posting Komentar

0 Komentar