Surga Kecil Tiada Damai


 Oleh: Theresia.F.F. Tekege
Photo: Peta Papua dengan wilayahnya


Disana, seorang pria Papua dengan usianya yang sangat muda telah terkapar raganya, Tangannya terpotong, kakinya di lukai, dadanya berlubang, darahnya mengalir deras. Iya, lelaki paruh baya itu telah dibunuh. Sengaja oleh sekelompok masyarakat di depan mata kelompok yang menamakan dirinya KEAMANAN di Papua.

Akh….  Kedamaian dan Keadilan hanyalah Nama yang menghiasi bumi Surga ini.

**********
Mentari hilang di lereng gunung Cycloop. Gemuruh suara angin mengantarnya pergi dan sang senja menjemputnya kembali ke peraduan malam. Aku  duduk menyepi di kamar. 

Handphoneku bunyi pertanda sms masuk, dengan cepat aku mengambil hp dari meja belajarku, ternyata sms dari kekasihku; Any namanya ‘’Sayang kita jumpa ka, lama tak bersua, aku merindukanmu’’ begitu isi smsnya. 

Dan tanpa menunggu waktu terlewat aku membalas smsnya ‘’Okelah Sayang, sa siap sekarang, jemput saya di asrama eee’’. 

Selesai mandi sa cek Hp lagi, eee ada sms masuk, ‘’Kekasihku, tanpa kau mandi pun, kau sudah relative cantik dan manisnya, aku mencintaimu apa adanya dan cukup kau berikan aku senyum kala aku tiba di pintu gerbang asramamu’’, baca isi pesannya saja sa su senyum, iya, kekasihku emang sang juara gombal. Ahahahahaha.

Tanpa menunggu waktu berlalu, kekasihku Andy sudah menjemputku di pintu gerbang asrama, tanpa diminta aku memberikan senyum tulusku untuknya. 
 
Semilir angin malam melagu menerpa dedaunan, motor satria membawa kami melaju menuju pantai kursi panjang Dok II Jayapura. Jalan terlihat begitu ramai, gemuruh bunyi kendaraan di kota ini seakan tak mengenaal waktu yang terlewat sia-sia. Gedung-gedung berAC milik para kapitalis berdiri dengan megahnya  di kota ini. Sedangkan mutiara-mutiara hitam pemilik surga kecil ini duduk di emperan toko dan diruas jalan yang beratap langit mengadu nasib.

Anak sulung tanah ini yang mengenakan garuda telah lama tidur. Mungkin karena lelah ataukah terlelap karena kerakusan bahagia? Entahlah. 

Di taman Imbi, beberapa mutiara-mutiara hitam yang tercampakkan entah karena kurangnya biaya hidup, ataukah karena kurangnya binaan orangtua, atau juga mungkin karena keinginan mereka yang tak pernah terkabul, anak-anak remaja, laki-laki dan perempuan join mencium lem aibon yang berakhir dengan penangkapan dan di jerat kasus ganja, dan menjalani sisa hidup mereka di balik jeruji besi.

Sekejap motor melaju dan kami tiba di pantai kursi panjang dok 2 Jayapura, semilir angin kembali diam, ombak di pantai kembali diam menghargai malam, bintang-bintang dilangit merelakan sinarnya turun meriasi bumi, dipinggiran pantai ini banyak orang menepi melepaskan lelah. 

Di Pantai yang juga terletak dalam kota masih saja kami menemukan sang kapitalis menguasai bumi kita, mereka berjualan bakso, es buah, pentolan tusuk, pop ice semuanya memakai gerobak. 

15 menit berlalu, Jagung-kacang, jagung-kacang, jagung-kacang begitu kami dengar suara itu muncul dari arah selatan, kekasihku berpaling dan menghentikan langkah si penjual hendak membeli.

Berapa ini mama? Tanya kekasihku. Rp.5.000 Nak, jawab ibu. Sambil ibu menyiapkan jagung dan kacang yang kami beli,Saya meluncurkan satu pertanyaan untuk ibu, Ma, dari tahun berapa mamaa jualan disini? Dari tahun 2014 nak, begitu jawaban dari balik wajahnya yang mulai keriput. Mama Asal mana? Tanyaku, Dari Waropen anakku.

Begitu percakapan belum selesai, kami mendengar suara mobil Patroli milik Polresta Jayapura berbunyi dengan Kasarnya dan berhenti di pojok utara pantai Dok II.

‘’Kurang ajar, Anjing, Babi, Goblok kamu’’. Begitu kata-kata yang kami dengar ketika beberapa orang polisi turun dan mengayungkan sepatu laras mereka ke badan pemuda-pemuda Papua yang duduk menikmati minuman keras di bibir pantai.

Mereka di caci maki, di tendang bahkan dipukul dengan kerasnya dan mendorong mereka menaiki mobil patroli dan pergi tinggalkan pantai. Entahlah apa salah mereka dan dibawa kemana?

Mama serui melanjutkan percakapan, Anak kita jualan di kupang sini saja, kalau kita orang Papua yang bawa meja Jualan itu banyak persyaratan urus surat in surat itu tapi kalau rambut lurus dong yang mo bawa gerobak ka, mas-mas bakso pulang pergi dengan gerobak bakso pake motor ka, Trapapa skali. 

"Baro dong kenapa larang kita orang Papua bawa peralatan jualan eeee anak?" Tanya mama Serui. Dengan singkat Andy kekasihku menjawab,’’ Ma, mama tau too, tong di Papua ini kita sedang dijajah, entah itu lewat agama yang kini PGGP hanya jadi Hiasan semata, Lewat pendidikan seperti SD-SMA yang tiap hari Seninnya Upacara dan diwajibkan setiap jam sekolah menggunakan bahasa Indonesia, budaya yang tiap harinya anak-anak muda bukannya latihan  Yospan, Gaidai tapi semua anak Papua berlomba latihan Aster, dangdut, dll, dan di bidang perekonomian, contoh kecilnya seperti mama sekarang ini, Jualan dengan apa apanya tanpa perhatian dari Pemda berupa Perda dan orang luar dengan gampangnya membangun toko besar sana-sini.’’ 

Memang mama kalau kita mau Merdeka, kita harus mulai mandiri dari sekarang untuk hiasi hidup kita diatas tanah yang kaya akan susu dan madu ini.

‘’Iya terima kasih anak, mama pamit lanjut jualan dulu eeeee." Begitu jawabannya kala meninggalkan kami dua.

Hari semakin malam. Dentang waktu semakin jalan dengan cepatnya, "Sayang, sudah malam ini, kita pulang ka?’’ tanyaku sembari menuju tempat parkiran motor. ‘’Ayo sudah,’’ kekasihku mengiyakan.

****************

Motor melaju sangat cepat, dan kami dua tiba di Abepura.

Beberapa kendaraan yang lewat berlari kencang seakan mereka panik. Motor terus melaju hingga tiba di Lampu Merah Perumnas I Waena, disini terlihat beberapa polisi berdiri dengan mengenakan pakaian dan senjata lengkap dengan atributnya, entahlah apa yang terjadi, kami terus melaju hingga tiba di perempatan jalan depan Asrama Mimika.

Motor kami dihentikan oleh Polisi yang juga berjaga disekitaran tempat itu, jalan terlihat begitu sepi, dan kami ditanya asal daerah kami, dengan singkat kekasihku menjawab, dari Papua. Mereka menyuruh kami pulang dan saat kami masih berbincang Motor matic Mio melintas di depan kami kearah Perumnas III.

Entahlah disana, depan SMA Katolik Teruna Bakti orang terlihat begitu ramai, motor Mio yang lewat ditahan mereka, belum 5 menit setelah motor melaju, terdengar suara, ‘’ Tolong….Tolong… Tolong dan Tolong..’’ 

Para penikmat penjajahan yang berdiri dengan atribut lengkap, mendengar suara berteriak minta tolong, tapi pura-pura tuli dan membiarkan suara itu terus menjerit.

Hampir 20 menit setelah teriakan minta Tolong, beberapa orang bersenjata lengkap mengecek lokasi suara tadi berasal, ternyata disana, di depan SMA Teruna Bakti, seorang pria Papua dengan usianya yang sangat mudah telah terkapar raganya, tangannya terpotong, kakinya di lukai, dadanya berlubang, darahnya mengalir deras. Iya, Lelaki Paruh baya itu telah dibunuh sengaja oleh sekelompok masyarakat di depan mata sang koloni yang menamakan dirinya KEAMANAN di Papua.

*****************

Karena takut, kekasihku bergegas dengan cepat, mengantarku pulang dan ia kembali ke asramanya. Ketika tiba karena masih trauma dan ketakutan sa berdoa ‘’TUHAN, inikah yang orang menyebutnya Surga kecil, Itu kah Surga yang terus mengalirkan air mata dan darah? Itukah Surga yang tanpa kedamaian dan keadilan? itukah surga yang anak Negerinya bagai anak tiri? Tuhan hanya satu pintaku, jika esok matahari terbit di ufuk Timur, dan bersama gemuruh ombak siang hari, kibaskan juga jubahMu, menyapu bersih semua jenis manusia, hewan dan makhluk lain yang datang mengotori halaman Bangsaku Papua. Amin ‘’


*Penulis adalah salah satu mahasiswi pada kampus USTJ di Hollandia

Posting Komentar

0 Komentar