Judul : Antologi Cerpen: Aku Peluru Ketujuh
Penulis : Topilus B. Tebai
Penerbit : Komunitas Sastra Papua (Ko’Sapa) bekerjasama
dengan Gerakan Papua Mengajar (GPM)
Tebal
: 110 halaman
Cetakan
: 1 – April 2017
ISBN
: 978-602-61395-0-4
Harga Buku :
Jawa dan Bali Rp. 40.000,-
Ada sebuah
pepatah (adagium) mengatakan “banyak jalan menuju Roma” yang artinya banyak
cara untuk meraih apa yang diharapkan. Demikian juga untuk menyuarakan apa yang
sedang terjadi di Papua. Mulai dari realitas kemiskinan, keterbelakangan,
ketidakadilan, penindasan, ketimpangan, pemburuan buronan pejuang kebenaran bak
binatang buruan, razia membabi buta, penembakan, pembunuhan, deforestasi
ilegal, eksploitasi sumber daya alam, ekspansi besar-besaran, dan masih banyak
lagi. Semuanya itu agar kemudian mendapat titik terang, harus disuarakan. Harus
disebarluaskan supaya masyarakat luas tahu dan tergerak nuraninya.
Bagaimana
cara menyuarakannya? Salah satunya adalah tentu seperti yang dilakukan Topilus
B. Tebai yaitu dengan menuangkanya dalam kumpulan (antologi) beberapa cerpen
yang dikemas secara gamblang dan luwes. Dalam 19 cerpen yang disuguhkannya,
penulis dengan kontemplasif mengimplisitkan kepedihan yang dirasakan masyarakat
Papua pada umumnya. Penulis seakan membangunkan setiap pembaca yang masih pulas
di stadium kesadaran naif, pun kesadaran magis. Apa yang disuratkan sekaligus
juga disiratkan dalam 19 cerpen oleh sang penulis adalah upaya penyadaran untuk
kemudian setiap pembaca bisa beralih ke kesadaran kritis, dan jeli melihat
segala bentuk ketidakadilan.
* * *
Tebai bisa
dikatakan paham dengan apa yang sedang terjadi di Papua masa sekarang ini. Dari
pemahaman itu, ia berani memprediksikan bahwa seperti apa dan bagaimana Papua
kedepannya jika persoalan yang terus sedang terjadi di bumi cendrawasih tidak
lekas diseriusi. Contoh dalam cerpen yang dikasih judul “KM. Perubahan”.
Metaforanya adalah banyak perusahaan-perusahaan asing mulai tergiur dengan
sumber daya alam Papua. Mereka dengan rakusnya datang kesana, mengeksplorasi
dan mengeksploitasi SDA disana. Sementara itu, para pemangku kepentingan (yang
adalah sebenarnya putra daerah) seakan membiarkan dan menyilahkan para penjarah
itu dengan leluasa merampok apa yang dimiliki bangsa Papua demi pihak
perusahaan dan kroni-kroninya.
Tak kebanyakan orang yang sadar dan “berteriak” meminta keadilan
yang berdaulat. Tapi resistensi dari sekelompok ini pun sering dibungkam dan
diredam oleh pemerintah pusat dengan menawarkan beberapa program (yang
me”loyo”kan militansi) dari sekelompok manuver tadi. Semua program yang
ditawarkan oleh pusat, termasuk didalamnya adalah Otsus, UP4B, Raskin, Bansos,
dan seterusnya terbilang berkedok gerobak progresif. Padahal nyatanya itu
merupakan upaya pemerintah pusat untuk terus menjaga keutuhan integral NKRI,
menguasai tanah Papua, dan terus menjarah seluruh kekayaaan alam Papua. Orang
Papua dapat apa? Sementara selain alienasi masyarakat sipil (pemilik ulayat),
korban yang ditewaskan kaki tangan dari negara disetiap area penambangan pun
terus melejit jumlahnya. Ambulan hampir setiap hari meronggong membawa mayat
masyarakat pribumi.
Apa yang
dipredikasikan oleh Tebai dalam cerpennya yang pertama dengan judul “KM.
Perubahan” akan nyata. Dan itu sudah dimulai. Akan tambah parah jika pemerintah
masih tak sadar akan hal ini dan menekannya. “Ketika teriakan-teriakan
kesakitan itu kurasakan tepat dibawahku, aku menikam turun. Dan kudapati tanah
Papua penuh dengan orang dari berbagai suku bangsa di dunia. Ada orang Amerika,
orang-orang dari Eropa, dari Jepang, Korea, Singapura, Australia, juga
Indonesia. Mereka begitu cepat datang ke tanah ini sepeninggal orang Papua yang
kini tengah berlayar ke Papua baru (halaman 5).”
Selain itu,
dalam cerpennya yang ke 17 dengan judul “Pembunuh Bayangan”. Disana Tebai
menempatkan dirinya sebagai pembunuh bayangan itu sendiri, yang adalah
pengintai, penyamar, dan pembunuh. Merekalah yang selama ini menumpas (baik
orang-orang yang berpengaruh maupun masyarakat sipil biasa) di Papua. Bahkan di
luar tanah Papua. Pelan tapi pasti. Hari ini disini, besok disana, lusa dan
hari-hari selanjutnya di tempat-tempat lain.
Cepat,
teliti, rapi, aman, dan terpercaya. Itu kredibelku sebagai pembunuh. Boss
percaya aku. Kau? Bagiku, kau tidak lebih dari seonggok daging segar, dengan
embun darah berceceran di tanganku, yang membuat air liurku menetes, ingin
segera memangsamu, menghirup darah segarmu. Hidupmu begitu mudah kucekat
(halaman 83). Taktik yang juga menjadi motto mereka adalah: satu pembunuhan,
100 kematian. Satu pembunuhan, 100 perpecahan. Ada juga semacam unsur adu domba
yang lantas mereka hasilkan.
Selain 2
cerpen yang dibahas disini, juga terdapat 17 cerpen lainnya, yaitu: Tamu Tengah
Malam; Peluru di Kaki Bukit; Wanita Rel Kereta; Luka; Ulat; Pipit di Bingkai
Jendela Kamarku; Gila; Malaria Sanggenafa; Sonia; Aku Penguasa Dunia; Sang
Pahlawan; Andai Aku Seorang Indonesia; Bersama Labobar; Sang Monster; Aku
Peluru Ketujuh; Dari Penjara Abepura; dan Ertzbeg. Semuanya berjumlah 19
cerpen. Kesemuanya itu mengusik ingatan kita tentang penderitaan fisik dan luka
batin orang Papua.
* * *
Kelebihan
dari buku ini, menurut saya, terletak pada “lain dari yang lain”nya genre buku
ini. Tebai menyuarakan perlawanan, dan nuansa batinnya lewat jalur literasi
(cerpen). Memang ada beberapa cerpenis dan novelis lain yang juga dari Papua,
tapi fokus serta kreativitas mereka tidak sekayak Tebai. Ini sebelumnya belum lazim.
Tebai seakan memilih jalan baru yang relnya berbeda. Selain itu pilihan jenis
serta ukuran kertas juga apik.
Sedangkan
kelemahan dari buku ini, menurut saya, terletak pada gambar sampul buku ini.
Ada beberapa: pertama lighting dari objek (sketsa) di gambar sampul
bagian depan kalah dengan latar. Warna dasar latar yang berwarna kuning juga
menurut saya kurang pas. Disamping itu, masalah pemerataan paragraf di sampul
bagian belakang dan dua halaman terakhir. Kemudian, lagi yaitu salah penulisan
nama penulis di sampul bagian depan dan ditepi kanan kertas kanan bawah (footer)
pada setiap halaman. Disana ditulis Teopilus B Tebai. Padahal Topilus B. Tebai.
Juga, buku ini dicetak dalam jumlah yang sedikit. Sebabnya adalah kekurangan
biaya percetakan. Ke depan, buku ini perlu dicetak lagi dengan catatan lebih
dulu meralat beberapa hal yang dirasa kurang sekarang.
* * *
Bahasa yang
digunakan dalam buku ini tak runyam, enak dibaca, gamblang, lalu lintas tanda
bacanya tertib, sehingga siapa pun yang membacanya bisa dengan lekas terhentak
kesadarannya. Apalagi mereka (yang membacanya) adalah orang Papua sendiri, atau
orang non-Papua yang mengikuti dengan cermat perkembangan di Papua.
Tidak menutup kemungkinan pemahaman mereka lantas berlipat ganda. Ada juga di
beberapa bagian yang penggunaan bahasanya menggunakan Bahasa Melayu Papua, tapi
itu oleh penulis diberi penanda dan disertai dengan note di tepi bawah
di akhir tulisan.
Buku
antologi cerpen ini sangat penting untuk dibaca oleh semua kalangan dalam
rangka penyadaran. Sudah rahasia umum Papua sangat sarat dengan pelbagai
persoalan. Adalah penderitaan, ketersingkiran, kekerasan, pembunuhan,
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penghinaan martabat manusia Papua di atas
tanahnya sendiri, dan seterusnya. Membaca beberapa cerpen yang disuguhi penulis
dalam buku ini, akan membuat kita semakin paham benar akan realitas di tanah
Papua.
Sebagai
informasi, dengan jumlah yang terbatas, untuk di pulau Jawa dan Bali, buku
dijual hanya di Jogja dan Semarang. Untuk dapat buku ini di Jogja, bisa
dihubungi melalui Contact Person (CP) Ini: 082138197625 (Herman) dan
082137813093 (Mikael). Semarang, bisa dihubungi melalui 082243871115 (Shelly).
Untuk kota-kota lain, ongkos kirim tanggung sendiri. Di Papua buku hanya dijual
di Jayapura. Harga di Jayapura akan disesuaikan dengan biaya pengiriman buku.
Dan untuk dapat buku tersebut di Jayapura, bisa dihubungi melalui 081344165704,
081248716487 (Ko’Sapa). (Herman E. Degei)
0 Komentar