Keprihatinan dan perjuangan masyarakat Papua adalah keprihatinan dan perjuangan warga manusia yang terus menerus hidup di bawah kekuasaan represif yang mengontrol dan mengendalikan kehidupan harian. Berbagai sikap dan bentuk perlawanan masyarakat Papua, yang kemudan diberi label GPK, GPL dan sebagainya akan menjadi lebih terang kalau dipahami dalam konteks kepentingan pemerintah Indonesia baik pada zaman pemerintahan Soekarno dan terlebih lagi pada masa rezim Orde Baru. Tidak mengherankan kalau gerakan masyarakat Papua yang mengembangkan seni-budaya asli Papua pun dianggap sebagai aksi masyarakat yang potensial mengancam kepentingan pemerintah. Penangkapan dan pembunuhan Arnold Clements Ap, seorang antropolog, penyair dan musisi ternama, pada April 1984 oleh tentara hanyalah satu contoh dari sekian banyak tindakan represi pemerintah Indonesia yang sudah jauh melampaui batas-batas kemanusiaan.
Nama Arnold Clements Ap tidak populer di telinga orang Indonesia, tapi nama yang sama sempat membuat penguasa Orde Baru gerah. Ia dijebak lari keluar dari penjara, lalu Kopassandha dikirim untuk membunuhnya di tepi pantai. Seperti di wilayah-wilayah yang tinggi tingkat represi militernya, rakyat Papua sudah bisa menduga apa yang akan terjadi terhadap orang seperti Arnold Ap, yang begitu setia dan konsisten dengan gerakan kebudayaannya. Bahkan Arnold sendiri pernah kepada teman-temannya menegaskan konsekuensi macam apa yang akan menyertai aktivitasnya.
Sekalipun orang-orang pada umumnya dan orang-orang istimewa macam Arnold sudah menduga apa yang akan terjadi, namun hanya rezim penguasa, tepatnya tentara, yang bisa memastikan kapan dan konsekuensi macam apa yang akan menimpa orang-orang yang setia pada perjuangan kemanusiaan. Tak ada yang menduga kalau tentara begitu cepat merenggut nyawa pejuang pembebasan ini. Usianya saat itu baru 38 tahun.
Akhir November 1983 Arnold masih dipercaya memimipin rombongan keseniannya untuk menyambut kedatangan tamu, para istri atase perwira militer asing yang dipimpin istri Jenderal L.B. Moerdani, yang berkunjung ke Papua. Arnold sama sekali tidak berpikir kalau kesenian yang dibawakan pada hari itu akan menjadi aktivitasnya yang terakhir dalam seluruh rangkaian gerakan kebudayaan yang dibangun bersama teman-temannya. Keesokan harinya rombongan pasukan berpakaian preman mengambil Arnold dari rumah kediamannya. Tidak jelas Arnold akan dibawa ke mana. Keluarganya hanya diberitahu bahwa Arnold akan di bawa ke satu tempat.
Tapi gerombolan penculik terlalu gegabah jika menganggap tidak ada satu pun orang tahu keberadaan Arnold setelah diambil dari rumahnya. Tidak lama berselang harian Sinar Harapan memberitakan peristiwa penangkapan dan penahanan itu. Hanya segelintir orang Indonesia yang bereaksi atas tragedi tersebut, termasuk Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) waktu itu. Dalam pernyataannya ia menggugat supaya penangkapan dan penahanan Arnold Ap diproses sesuai hukum yang berlaku. Pernyataan YLBHI dan dua tulisan yang diturunkan Sinar Harapan dalam satu minggu terbitannya sudah cukup untuk membuat tentara, tepatnya Kopassus (Kopassandha waktu itu) marah. Sinar Harapan terancam bredel, kalau tidak segera minta maaf dan bersedia mendengarkan “kebenaran” cerita versi tentara.
Berita tentang penangkapan dan penahanan Arnold menggerakkan pemuda Papua yang sedang belajar di Jakarta. Ottis Simopiaref dan tiga temannya melancarkan protes ke DPR-RI. Aksi pembelaan terhadap kejadian yang dialami Arnold Ap tersebut membuat pihak intelijen Kopassandha semakin gerah. Pengawasan dan upaya penangkapan terhadap keempat pemuda tersebut semakin intensif. Menyadari keselamatan mereka terancam, keempat pemuda Papua minta suaka pada Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Setelah dua minggu berlindung di sana, mereka berhasil diterbangkan ke Belanda.
Sementara itu di Papua, tentara belum juga berhasil mengorek informasi dari Arnold Ap tentang bukti keterlibatannya dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dengan sendirinya tidak ada dasar kuat untuk membenarkan penangkapan dan penahanannya selama berbulan-bulan. Segala cara sudah ditempuh, tapi bukti tetap tak diperoleh. Karena memang sudah menjadi sasaran untuk disingkirkan, maka rencana lain pun mulai disusun. Bukti keterlibatan dan sebagainya menjadi tidak penting; satu-satunya persoalan sekarang adalah membuktikan bahwa Arnold Ap dengan satu atau lain cara pantas dihukum.
April 1984 seorang polisi asal Papua berhasil membujuk Arnold Ap dan keempat temannya untuk melarikan diri dari tahanan Polda. Pelarian, lebih tepatnya rencana perburuan, berjalan mulus kecuali bagi dua teman Arnold. Satu memutuskan berpisah di tengah jalan dan kemudian selamat, sementara satunya terbawa ombak ketika harus berenang mencapai perahu yang akan membawa mereka ke suatu tempat. Beberapa hari Arnold Ap dan kedua temannya didamparkan di pegunungan Cylops, sebelum katanya akan dibawa ke tempat yang lebih aman. Selama beberapa hari itu Arnold Ap mendapatkan pasokan makanan yang diantar dengan perahu yang juga dipakai untuk melarikan diri.
Selang beberapa hari perahu datang lagi, kali ini bukan makanan yang dibawa melainkan gerombolan pasukan Kopassandha lengkap dengan senjata. Tanpa perlawanan berarti tentara menyarangkan tiga butir peluru di tubuh Arnold. Dalam keadaan luka parah Arnold dibawa dengan perahu menuju Jayapura.
Mungkin tidak akan ada yang tahu kematian Arnold kalau saja perawat tidak memeriksa kamar jenazah RSAD Aryoko hari itu. Dengan berani perawat tersebut mengabarkan kematian Arnold Ap kepada teman-temannya. Karena berita sudah menyebar dan masyarakat terlanjur tahu, tentara pun terpaksa menyerahkan jasad Arnold pada keluarganya. Ratusan masyarakat Papua mengiringi kepergian jasad Arnold Ap menuju tempat perisitirahatannya terakhir sambil bergandengan tangan dan menyanyikan lagu pujian. Arnold Ap meninggal, tapi perjuangan dan gerakan kebudayaan yang pernah dibangun memberi inspirasi yang terus bergema melampaui sungai, gunung dan lautan.
Arnold ApArnold Ap
Mambesak Mendesak Pembebasan Kultural
Arnold Ap lahir di Pulau Numfor, dekat Biak, pada1945. Ia mengambil bidang studi geografi di Universitas Cenderawasih, dan sangat tekun mempelajari seluk-beluk Papua yang luar biasa kaya. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang tekun. Seorang pembimbingnya, Dr. Malcolm Walker menganggap Arnold sebagai “orang yang punya prinsip” dan konsisten dengan komitmennya untuk belajar memahami dan mengembangkan kebudayaan masyarakatnya. Kesan serupa juga muncul dari beberapa sarjana dari luar negeri dan pejuang HAM Indonesia yang pernah bertemu dengannya. Sementara rekan-rekannya di Papua sendiri menganggap Arnold sebagai perwujudan budaya Papua.
Gagasan Arnold untuk mulai membangun strategi gerak kebudayaannya berawal dari langkah sederhana sebagai anak muda. Awal 1970-an Arnold Ap dan beberapa teman mahasiswanya mendirikan group band Manyori (Burung Nuri). Meskipun warna kebarat-baratan masih kental dalam permainan musiknya, namun kelompok yang terdiri dari tiga personil ini – Arnold Ap, Joupi Jouwei dan Sam Kapissa – cukup populer. Atas desakan teman-temannya Arnold kemudian bersedia memberikan pelayanan pada jemaat Gereja Kristen Injil dengan memainkan lagu-lagu rohani di gereja. Perjumpaannya dengan lagu-lagu gereja yang kuat berkiblat pada gaya Eropa mengusik Arnold. Semangatnya sebagai orang Papua menggugah Arnold untuk mencoba menciptakan lagu dan irama musik gereja yang berakar dari kebudayaannya sendiri.
Mulailah Arnold bersama dengan teman seniman lainnya, Damianus Wariap Kuri, menggarap musik gereja dalam irama Biak-Numfor. Pada awalnya upaya tersebut mendapat tentangan dari orang-orang tua jemaat Gereja. Bisa dimaklumi karena misionaris Eropa yang membawa agama Kristen masuk ke kawasan Teluk Saerera sebelumnya telah menganggap kafir hampir seluruh aspek budaya Saerera. Namun tentangan tidak berlangsung lama. Dalam waktu yang cukup singkat gerakan pribumisasi musik liturgi gereja mendapat sambutan dan dukungan. Salah satu dukungan kuat datang dari Dr. Danielo C. Ajamiseba, linguis pertama Papua yang baru menyelesaikan studinya di Amerika Serikat. Dukungan berikutnya datang dari para pendeta muda lulusan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dan para sarjana lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Perkembangan pribumisasi musik liturgi gereja mendorong Arnold Ap untuk semakin tekun berupaya mengembangkan seni-budaya Papua yang lainnya. Karena minat dan bakatnya di berbagai bidang, ia diangkat menjadi Kepala Museum Universitas Cenderawasih oleh pimpinan Lembaga Antropologi, Ign Suharno. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya untuk mematangkan gagasan dan melahirkan karya-karya kreatif. Perhatian Arnold pada seni budaya Papua pun mulai mengembang keluar dari lintas batas Biak-Numfor dan kawasan Saerera. Perjalanannya penelitiannya ke beberapa kampung di wilayah berbagai suku di Papua digunakan sekaligus sebagai kesempatan untuk mencatat dan merekam lagu-lagu, tarian dan ekspresi kebudayaan rakyat lainnya.
Semakin mendalam pengetahuannya, semakin ia tak puas melihat kebijakan dan praktek aparat pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan mempromosikan kebudayaan “asli” Papua. Di satu sisi ia melihatnya sebagai upaya penaklukan. Orang Papua dibiarkan memelihara bentuk-bentuk kebudayaan yang ada – itu pun sangat terbatas – tapi tidak bisa mengembangkan isi apalagi semangat pembebasan yang terkandung di dalamnya. Di sisi lain ia melihat upaya itu semata-mata untuk menjual kebudayaan Papua, lagi-lagi dengan melepas isi dari bentuknya. Kebudayaan Papua sering dipakai oleh para pembuat film, desainer mode dan sebagainya, sebagai bukti “kebudayaan primitif” di Indonesia. Akibatnya rakyat Papua, khususnya para seniman dan pekerja budaya, seringkali tanpa sadar terseret melayani kepentingan promosi semacam itu dengan menciptakan tarian “asli kreasi baru” yang tidak memiliki akar kuat dalam kehidupan masyarakat. Arnold juga prihatin melihat kecenderungan merebaknya lagu-lagu diatonis yang dinilainya jauh dari semangat rakyat Papua yang selalu menyanyikan lagu dalam nada minor.
Lebih dari lima tahun Arnold Ap melakukan studi serius tentang seni tari dan musik Papua sebelum akhirnya bersama beberapa temannya memutuskan untuk mempublikasikan musik dan tari hasil studi mereka. Arnold dan teman-temannya pertama kali menampilkan musik dan tari dalam rangka acara peringatan 17 Agustus 1978 yang diselenggarakan di halaman Lok Budaya, Museum Antropologi Universitas Cenderawasih. Pementasan itu kemudian dicatat sebagai tanggal lahirnya komunitas kerja seni-budaya “Mambesak”. Arnold keberatan terhadap gagasan temannya yang mengusulkan untuk mempertahankan nama Manyori dengan alasan burung Nuri merupakan burung suci yang dihormati oleh masyarakat Biak-Numfor saja. Sedangkan Mambesak, yang berarti burung Cendrawasih, merupakan burung suci yang dihormati oleh masyarakat di seluruh Papua Barat.
Pilihan nama tersebut jelas memperlihatkan keluasan pemahaman Arnold terhadap kebudayaan Papua di satu sisi, sekaligus memperlihatkan kesadaran perjuangan Arnold yang tidak lagi terbatas pada suku tertentu di sisi lain. Dalam rapat pembentukan pengurus pertama di Agustus 1978, Arnold dipilih sebagai koordinator. Sejak saat itu komunitas seni-budaya Mambesak seakan tak pernah berhenti menyelenggarakan berbagai bentuk pementasan di berbagai wilayah Papua Barat, bahkan pernah diutus sebagai wakil kesenian Papua dalam sebuah festival senibudaya yang diselenggarakan di Jakarta.
Pada tahun yang sama dengan berdirinya Mambesak, atas usulan Ign. Suharno, Arnold Ap diangkat menjadi penanggungjawab siaran Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra program RRI Jayapura. Siaran tersebut resminya adalah program yang dikelola Universitas Cenderawasih untuk memperkenalkan kebudayaan daerah dan membangkitkan serta mengembangkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan daerah. Tapi kemudian, setelah penunjukan Arnold, program tersebut sepenuhnya diasuh oleh gerakan Mambesak.
Melalui program radio yang dirancang secara kreatif Arnold membangun kesadaran baru rakyat Papua. Dengan cerdik dan jenaka Arnold sering menyisipkan ajakan untuk lebih mengenali akar budayanya sendiri. Tidak jarang Arnold juga menggunakan program siaran radionya untuk menyebarkan analisa sederhana tentang pengetahuan umum. Sebagai sarjana muda geografi yang tertarik pada persoalan ekologi, Arnold melalui corong radionya berusaha merangsang masyarakat Papua pedalaman untuk menjaga kelestarian alam, hutan. Tak jarang melalui corong yang sama Arnold mengecam kebijakan-kebijakan resmi dan tindakan aparat pemerintah yang sering justru merugikan masyarakat Papua, seperti ketika pemerintah memberikan bantuan beras untuk bantuan kelaparan. Ini tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat Papua yang tidak biasa dan tidak memiliki fasilitas memasak beras.
Tiga prinsip yang dijaga Arnold dan berhasil menjadikan program siaran radionya populer di masyarakat, yaitu penggunaan bahasa Indonesia logat Papua (Melayu Papua) sebagai bahasa pengantar, penyajian uraian-uraian pokok tentang unsur kebudayaan Papua serta pengetahuan-pengetahuan aktual, dan ketiga penyiaran lagu rakyat dan cerita-cerita jenaka yang berakar pada kebudayaan rakyat suku-suku di bagian utara. Siaran dan lagu-lagu Mambesak yang diputar dalam program radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra pun merambah melintasi batas telinga masyarakat Papua. Cukup banyak masyarakat Papua di luar negeri merasa mendapatkan semangat perjuangannya kembali ketika mendengarkan program-program radio yang dibawakan Arnold dan teman-temannya. Tapi sebaliknya para penguasa mulai cemas melihat popularitas program radio dan rekaman lagu-lagu yang dihasilkan Mambesak semakin populer.
Kebudayaan Dengan Keringat Sendiri
Arnold bukan hanya seorang seniman. Sebagai intelektual ia terkenal cerdas dan tajam melihat bermacam persoalan. Kepribadian yang kuat dan komitmen yang besar pada gerakan rakyat membuat Arnold tak mau tunduk pada berbagai tawaran yang datang dari luar. Ia paham bahwa aksi-aksi kebudayaan hanya mungkin berkembang menjadi gerakan, jika hidup dari dukungan masyararakatnya sendiri, bukan bergantung pada kekuatan lain. Dan masyarakat hanya akan mendukung jika memang merasa memiliki, atau mendapat tempat dalam gerakan tersebut.
Di samping melakukan penelitian, bermain di pentas dan membuat rekaman, Arnold pun mencurahkan sebagian tenaganya untuk menggalang dana dari masyarakat sendiri. Gagasan tersebut disambut baik oleh teman-temannya di Mambesak. Mereka kemudian menjajakan kaset yang berisi rekaman lagu-lagu rakyat yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Papua atau lagu Papua garapan sendiri. Dengan menjual kaset Mambesak mengayuh dua pekerjaan sekaligus. Di satu sisi niat menyebarkan kasanah musik dan lagu-lagu rakyat Papua yang sudah mulai banyak ditindih dengan budaya asing bisa berjalan dan di sisi lain Mambesak terbantu untuk menjalankan gerakannya dari hasil penjualan kaset yang sama. Sebuah pekerjaan yang berat karena para aktivis tiba-tiba harus menghadapi kepentingan dagang dari pihak produser yang bahkan sempat memicu ketegangan di antara anggota kelompoknya.
Sebelum meninggal, Arnold Ap sempat menyaksikan perkembangan gairah rakyat Papua, yang ingin menghirup kesegaran roh seni dan budayanya sendiri. Kelompok musik Papua bermunculan di mana-mana. Pemakaian pita kaset untuk penyebaran lagu-lagu Papua menjadi semacam revolusi komunikasi tersendiri. Dari sumber yang sama, musik dan lagu tradisi Papua, berbagai kelompok musik mencoba menawarkan bermacam ragam bentuk kepada masyarakat. “Yang satu ingin me-Papua-kan musik populer, sedang yang lain ingin mempopulerkan musik lagu Papua,” kata Sam Kapissa, salah satu tokoh Mambesak yang kemudian mengembangkan aksinya sendiri di luar Mambesak. Revolusi pita kaset mulai terasa menjelang pertengahan 1980an. Bulan-bulan menjelang natal kaset lagu-lagu natal dan gerejani bernapas Papua membanjiri toko-toko kaset. Lagu-lagu natal dan gerejani dari kaset yang senada mulai terdengar di berbagai tempat umum seperti lingkungan kampus, bandara Abepura dan tempat-tempat umum lain. Masyarakat Papua seperti menemukan kembali kepercayaan diri yang selama ini direnggut oleh kekuatan asing.
Sejalan dengan perkembangan gerakan kebudayaan yang dipelopori Arnold Ap dan teman-temannya di Mambesak, tentara pun semakin khawatir akan kemungkinan menguatnya gerakan pembangkangan dan perlawanan masyarakat Papua terhadap kekuasaan rezim. Memang sejak awal orang Papua bisa memperkirakan bahwa kegiatan Arnold yang begitu berpengaruh akan dilihat sebagai ancaman oleh rezim.
Berkembangnya kebudayaan dan kesadaran di kalangan rakyat, adalah ancaman besar karena sulit diukur dan dikendalikan. Aparat intelijen bersusah payah mencari hubungan Arnold dan kelompok Mambesak dengan OPM atau gerakan perlawanan lainnya. Arnold berulangkali ditahan dan diinterogasi, tapi karena posisinya dalam masyarakat dan perhatian luas dari berbagai pihak, ia pun dilepas kembali. Upaya menemukan “bukti-bukti keterlibatan” pun kandas.
Keputusan pun akhirnya datang, Arnold Ap harus disingkirkan. Bukti, alasan dan sebagainya bisa ditentukan belakangan. Aparat bergerak, menangkap, menyiksa lalu membunuh, dan membuat laporannya sendiri. Jerit menagih keadilan dan kemanusiaan pun hilang ditelan perintah-perintah tegas, suara handie-talkie dan letusan senapan yang membunuh Arnold.
Arnold Ap meninggal sebagai pejuang kebudayaan Papua. Rakyat menghormatinya sebagai konor yang berarti filsuf atau orang suci yang dipercaya memiliki kharisma dan kekuatan. Sekitar 500 orang hadir dalam pemakamannya yang dijaga ketat oleh aparat. Tubuhnya sudah ditanam, tapi semangatnya meluap-luap ke segala penjuru, beranak-pinak melanjutkan apa yang pernah diperjuangkannya.
IBE Karyanto, pekerja pada Jaringan Kerja Budaya dan Rektor pada Universitas Sanggar 'Akar'
(Tulisan ini diterbitkan pada MEDIA KERJA BUDAYA Edisi 07/2001)
0 Komentar