Seperti bunga
Oleh; Yuventus Opki*
Seperti
bunga, layu tak bernada
Seperti
panasnya mentari membakar sukma
Masih
duka dalam tanda tanya
Kepada
siapa berkata
Kenapa
diam seribu kata
Seperti
bunga, layu, patah dan tak bernyawa
Nada
mengiring arwah kepada-Nya
(2017)
Berkalung Bintang
Lehermu
berkalung bintang
Berkalunglah
sayang
Sudah
titik
(2017)
Cinta Topeng
Cintamu,
kepadaku palsu
Cintamu,
kepadaku sandiwara dalam bibirmu. Atas pengakuan cintamu, aku bermandikan
hujan, menurutmu, aku tak harus bersamamu.
Waktu
itu, kau katakan aku mencintaimu
Tapi
kini, kau menyangkal dan menghakimiku dan kau lenyapkan aku satu persatu dengan
pedangmu
Di
pihakku, menuntut kebenaran cintamu dalam darah yang besar.
Namun
dipihakmu, kau berwajah topeng sembunyikan wajah aslinya yang menewaskan
cenderawasih kecil di tamanku.
(2017)
Cinta Kita
Cintamu
dan cintaku, tumbuh dalam satu pondok
Dasarnya
adalah cinta kasih
Cinta
yang aku dambakan sebelum kau, ia telah berlalu
Sekarang,
cintaku dan cintamu menjadi satu
Dalam
pandanganku, cintaku tumbuh seperti emas berlian
Atas
dasar itulah, kau mencintaiku, sampai kau memilihku jadi pacarmu
Di
sisi sayap kananmu, cintamu padaku terlihat buta
Cinta
kasih yang kita satukan, kita masih bertanya
Entalah.
Ya, tapi itu benar-benar buta
Dan
aku bilang, cintaku dan cintamu, cinta kita adalah cinta dusta antara kau dan
si pencinta dunia
Kemudian,
cinta kita berdebat, sambil menjatuhkan satu dengan lain.
Yang
satu jadi korban, karena cinta atas dirinya
Dan
yang lain, bersorak karena ingin menikmati napsu dunia
(2017)
Seperti Bunga Matahari
dan Seekor Burung
Seperti
bunga matahari,
kami
dirontohkan di atas bumi kami sendiri
Para
penguasalah yang merontohkan di bumi kami sendiri,
Seperti
burung, kami ditembak tima panas di atas bumi kami sendiri,
satu
demi satu, kami tumbang
Dan
penguasa hengkang bermain hakim sendiri
Demikian,
kami dirontohkan dengan tima panas
Kami
seperti bunga matahari, bangun ingin bersinar
tapi
diredupkan kembali oleh para penguasa
Seperti
burung, kami terbang, ingin bersaksi kepada dunia
Namun
kami dijatuhkan dengan tima panas bukan peluru karet
Begitu
kami berdiri mengatakan niat kami di depan penguasa,
kami
diburu seperti binatang di bumi kami sendiri
Di
tenga penguasa, di depan matanya, kami tumbang
Para
penguasa pura-pura menjadi buta
dan
tak mau melihat atas kematian kami di bumi kami sendiri
(2017)
Bagai Sungai
Aku
bagaikan sungai yang mengalir di setiap waktu
Itu
abadi, takkan habis begitu saja
Yang
aku kejar, takkan kau hentikan dengan cara apa pun
Kau
bagai harimau , sering menerkamku
Kau
bagaikan api, ingin membakar niatku
Boleh
saja kau membakar tubuhku
Tapi
jiwaku-jiwaku bagaikan sungai, setiap saat, akan terus tumbuh, penuhi bumi
Dan
mereka akan terus melawan setiap penguasa sampai titik darah yang penghabisan
One
day, I will be winner
(2017)
Gugupmu
Dengan
gugupmu menerjemahkan
dalam
pikiran sang mentari, bahwa semua peristiwa itu, berasal dari padamu
Meskipun
kau menutup wajahmu dengan selembar kain hitam di wajahmu
Gugupmu,
aku tahu,
kalau
setiap peristiwa yang menimpa sahabat mentariku
Kau
adalah dalang dari setiap kematian sahabat mentariku
di
negeri kecil itu
(2017)
Suratku Untuk
Sayangku
Sayangku,
dengan
ini aku datang padamu,
dalam
jiwa yang masih pedih sujud memanggilmu
di
atas tanganmu, aku bermesrahan denganmu,
kalau
aku duduk bersamanya, aku tumbang, walau dalam pelukanmu, sayangku
Sayangku,
dengan
hati yang pilu, aku menatapmu
bahwa
aku terlena dalam lubang singa
yang
takkan perna puas karena ia berkuasa
Sayangku,
di
bawah telapak kaki dan tanganmu,
mengalir
darah seperti yang telah mengalir dari pintumu
di
sini, sahabat doma disembeli dengan pisau
Sayangku,
dari
lubuk hati yang paling dalam, aku sampaikan padamu
lewat
sepucuk surat ini, bahwa sampai saat ini, aku masih terasa dihina oleh
saudaraku
Sayangku,
aku kekasihmu
dengan
surat ini, aku sampaikan kepadamu
beperkaralah
padaku, peluklah aku,
beri
daku air kedamaian padaku
berakhirlah
sudah atas korban-korbanku
Sayangku,
demikian
suratku, aku buat dengan sunguh-sungguh kepadamu
Aku
berharap, kau dapat membaca suratku
Ku
ucapkan terima kasih, sayangku
Salam
sayang dariku, untukmu
(2017)
BUAYA
Buaya
terasa hamil. Sesak dalam perut. Matahari yang silam kembali lahir. Bulan yang
silam, juga kembali terlahir. Sebentar lagi, embun-embun menyosong
kelahirannya. Tadi pagi, buaya itu telah muntahkan kehamilannya. Kulihat, itu
muntah darah. Kupikir, ia ingin melahirkan bayinya. Namun bukan bayi. Tapi
buaya itu muntahkan amarah pada sahabatnya. Kulihat, itu barusan ia menembak
burung-burung itu jatuh dari pohon, mereka terbaring tenang bersama daun-daun
yang telah berlalu. Yang ada, tangisan meratap sang sabda.
Buaya
besar itu, masih menelan buaya kecil hingga kini, di negeri itu.
(2017)
Foto; dok pri Yuventus Opki |
*Yuventus Opki; Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta dan pada tahun 2017 menerbitkan buku puisi "Aku Melawan Lupa"
0 Komentar