Ilustras; spookygreekstory.blogspot.com |
Berbeda dengan pagi
saat-saat sebelumnya. Pagi ini sa berkaca lebih lama. Sa perhatikan sa pu
lekat-lekat bayangan di cermin. Memang. Tampak tidak ada yang spesial. Sa pu
hidung pesek, mata sipit, bibir kering, noda bekas jerawat ada dimana-mana.
Lebih jauh lagi, sa perhatikan sa pu badan. Pendek, kurus, kulit hitam, badan
tidak berbentuk dan tidak fotogenic.
Mungkin ini
alasannya. To kawan? Yang bikin ko tidak pernah mau simpan sa pu foto, tidak
pernah pajang sa pu foto, tidak pernah cetak sa pu foto, tidak pernah foto
dekat-dekat dengan sa dan biasa menolak waktu sa minta selfie dengan ko.
Sa mau tanya.
Tinggal
sama-sama dengan sa itu bikin ko malu? Pajang sa pu foto sama ko itu bikin ko
pu harga diri terluka? Bagi ko, sa pu wajah ini tidak begitu berharga kah?
Minggu lalu
Pastor dalam Khotbahnya bilang, kalau kita ini sama kodratnya dimata Tuhan. Dan
saat itu sa lihat ko, ko ada angguk ko pu kepala, pertanda itu benar.
Lalu kenapa ko
masih bersikap begitu sama sa?
Makin lama sa
berkaca makin lama sa bertanya. Apa sebenarnya kategori cantik? Siapa
sebenarnya yang pertama kali bikin standar kecantikan? Apakah wanita tinggi
semampai, berkulit putih, berhidung mancung, berambut indah dan bertubuh
langsing itu cantik? Apa ia masih akan cantik kalau ternyata ia tunarungu?
Semua orang mengenal kata cantik karena sejarah mencatatkannya seperti itu.
Sepertinya ini
salah kaprah.
Apakah yang
badannya pendek, berkulit hitam, berbadan gemuk dan berambut keriting itu tidak
cantik? Padahal ia merupakan seorang ilmuwan yang berprestasi.
Sa sangat
tersentuh sekali dengan dua ungkapan yang tertera pada salah satu foto Oprah
Gill Winfrey yang bahwa, Pertama; “Semua perempuan harus punya kecerdasan.
Karena dunia terlalu keras jika hanya mengandalkan kecantikan.” Kedua; “Dipuji
karena cantik memang menyenangkan. Tetapi dikagumi karena prestasi jauh lebih
menyenangkan.”
Kadang hidup ini
terlalu tidak adil. Benar.
Tapi, apa itu
cantik? Sementara sa punya dua tangan dan dua kaki, sa punya 10 jari tangan dan
10 jari kaki. Sa punya dua lubang hidung, dua telinga, dua mata, sepasang
bibir, kaki dan tangan. Sa pu fungsi tubuh masih bekerja normal.
Memang, semua
perempuan ingin terlihat baik untuk belahan jiwanya. Mereka akan
berdandang dan berpenampilan sedemikian rupa agar pasangannya bangga berjalan
bersamanya, berfoto dengannya dan kemudian memperlihatkan pada teman-temannya.
"Ko
cantik!" dua kata itu saja sudah bisa melambungkan perasaan perempuan
sekarang.
Tapi buat sa,
tidak perlu ada kata seperti itu. Tapi cukup untuk tidak mengatakan sa jelek.
Toh sa juga tidak pernah mau tau dengan penampilan atau fisik orang lain.
Cantik, ganteng, semuanya sama saja. Dibuat dari tanah, dan nanti akan kembali
ke tanah. Bukan?
Sa cuma ingin ko
tau, bahwa bukan sa pu salah kalau sa tidak secantik Diana atau Shanty.
Seandainya sa bisa memilih, sa pasti memilih untuk berparas secantik kaka
Elicia Keys.
Tidak apa-apa ko
biasa anggap sa begini. Tapi setidaknya jangan bilang di depan sa pu muka,
bahwa kalau ko lebih bangga, lebih merasa terhormat, lebih merasa berkelas,
kalau pasang foto yang menunjukkan ko pu kedekatan dengan ko pu wanita-wanita
cantik pilihan.
Di masa
Prapaskah ini sa ingin sepenuhnya mengsyukuri apa yang Tuhan su berikan buat
sa. Sa berusaha melihat ke bawah setiap kali ada yang mengatakan sa tra
laku. Ko juga pasti tau banyak yang tidak seberuntung dengan sa secara
fisik.
Sa pu fisik yang
sempurna dan lengkap. Lalu apa yang harus sa tangisi. Sementara ada orang lain
yang harus merangkak karena tidak punya sepasang kaki, ada orang lain yang
harus meraba karena tidak punya mata yang mampu melihat dan lain-lain.
Ini sudah saya.
Perempuan Melanesia yang Tuhan ciptakan lewat sa pu orangtua. Tidak mengapa
orang lain bahkan ko bilang sa "tra laku". Asal jangan bilang bahwa
bersama orang ‘CANTIK’ lebih bisa membuat ko terhormat. Sementara sa yang jelek
inilah yang selalu ada disamping ko.
Satu hal lagi
yang sa mau supaya ko tau. Yaitu bahwa kalau memang selama ini waktu ko
disamping sa ko rasa malu, biar saja ko kasih lepas sa. Dan satu kali ko kasih
lepas sa, sa tidak akan kembali lagi. Karena sa ini perempuan yang
memang "tra laku". Semoga!
Yogyakarta, 29 Februari 2016
* Herman E Degei; mahasiswa Papua yang saat ini sedang kuliah di Yogyakarta
0 Komentar