Tuhan, Benar Sa Tidak Cantik

Oleh; Herman E Degei*
Ilustras; spookygreekstory.blogspot.com

Berbeda dengan pagi saat-saat sebelumnya. Pagi ini sa berkaca lebih lama. Sa perhatikan sa pu lekat-lekat bayangan di cermin. Memang. Tampak tidak ada yang spesial. Sa pu hidung pesek, mata sipit, bibir kering, noda bekas jerawat ada dimana-mana. Lebih jauh lagi, sa perhatikan sa pu badan. Pendek, kurus, kulit hitam, badan tidak berbentuk dan tidak fotogenic.

Mungkin ini alasannya. To kawan? Yang bikin ko tidak pernah mau simpan sa pu foto, tidak pernah pajang sa pu foto, tidak pernah cetak sa pu foto, tidak pernah foto dekat-dekat dengan sa dan biasa menolak waktu sa minta selfie dengan ko.

Sa mau tanya.

Tinggal sama-sama dengan sa itu bikin ko malu? Pajang sa pu foto sama ko itu bikin ko pu harga diri terluka? Bagi ko, sa pu wajah ini tidak begitu berharga kah?

Minggu lalu Pastor dalam Khotbahnya bilang, kalau kita ini sama kodratnya dimata Tuhan. Dan saat itu sa lihat ko, ko ada angguk ko pu kepala, pertanda itu benar.

Lalu kenapa ko masih bersikap begitu sama sa?

Makin lama sa berkaca makin lama sa bertanya. Apa sebenarnya kategori cantik? Siapa sebenarnya yang pertama kali bikin standar kecantikan? Apakah wanita tinggi semampai, berkulit putih, berhidung mancung, berambut indah dan bertubuh langsing itu cantik? Apa ia masih akan cantik kalau ternyata ia tunarungu? Semua orang mengenal kata cantik karena sejarah mencatatkannya seperti itu.

Sepertinya ini salah kaprah.

Apakah yang badannya pendek, berkulit hitam, berbadan gemuk dan berambut keriting itu tidak cantik? Padahal ia merupakan seorang ilmuwan yang berprestasi.

Sa sangat tersentuh sekali dengan dua ungkapan yang tertera pada salah satu foto Oprah Gill Winfrey yang bahwa, Pertama; “Semua perempuan harus punya kecerdasan. Karena dunia terlalu keras jika hanya mengandalkan kecantikan.” Kedua; “Dipuji karena cantik memang menyenangkan. Tetapi dikagumi karena prestasi jauh lebih menyenangkan.”

Kadang hidup ini terlalu tidak adil. Benar.

Tapi, apa itu cantik? Sementara sa punya dua tangan dan dua kaki, sa punya 10 jari tangan dan 10 jari kaki. Sa punya dua lubang hidung, dua telinga, dua mata, sepasang bibir, kaki dan tangan. Sa pu fungsi tubuh masih bekerja normal.

Memang, semua perempuan  ingin terlihat baik untuk belahan jiwanya. Mereka akan berdandang dan berpenampilan sedemikian rupa agar pasangannya bangga berjalan bersamanya, berfoto dengannya dan kemudian memperlihatkan pada teman-temannya.

"Ko cantik!" dua kata itu saja sudah bisa melambungkan perasaan perempuan sekarang.

Tapi buat sa, tidak perlu ada kata seperti itu. Tapi cukup untuk tidak mengatakan sa jelek. Toh sa juga tidak pernah mau tau dengan penampilan atau fisik orang lain. Cantik, ganteng, semuanya sama saja. Dibuat dari tanah, dan nanti akan kembali ke tanah. Bukan?

Sa cuma ingin ko tau, bahwa bukan sa pu salah kalau sa tidak secantik Diana atau Shanty. Seandainya sa bisa memilih, sa pasti memilih untuk berparas secantik kaka Elicia Keys.

Tidak apa-apa ko biasa anggap sa begini. Tapi setidaknya jangan bilang di depan sa pu muka, bahwa kalau ko lebih bangga, lebih merasa terhormat, lebih merasa berkelas, kalau pasang foto yang menunjukkan ko pu kedekatan dengan ko pu wanita-wanita cantik pilihan.

Di masa Prapaskah ini sa ingin sepenuhnya mengsyukuri apa yang Tuhan su berikan buat sa. Sa berusaha melihat ke bawah setiap kali ada yang mengatakan sa tra laku. Ko juga pasti tau banyak yang tidak seberuntung dengan sa secara fisik.

Sa pu fisik yang sempurna dan lengkap. Lalu apa yang harus sa tangisi. Sementara ada orang lain yang harus merangkak karena tidak punya sepasang kaki, ada orang lain yang harus meraba karena tidak punya mata yang mampu melihat dan lain-lain.

Ini sudah saya. Perempuan Melanesia yang Tuhan ciptakan lewat sa pu orangtua. Tidak mengapa orang lain bahkan ko bilang sa "tra laku". Asal jangan bilang bahwa bersama orang ‘CANTIK’ lebih bisa membuat ko terhormat. Sementara sa yang jelek inilah yang selalu ada disamping ko.

Satu hal lagi yang sa mau supaya ko tau. Yaitu bahwa kalau memang selama ini waktu ko disamping sa ko rasa malu, biar saja ko kasih lepas sa. Dan satu kali ko kasih lepas sa, sa tidak akan kembali lagi. Karena sa ini perempuan yang memang "tra laku". Semoga!

Yogyakarta, 29 Februari 2016

Herman E Degei;  mahasiswa Papua yang saat ini sedang kuliah di Yogyakarta

Posting Komentar

0 Komentar