JAKARTA, KOMPAS.com -- Film dokumenter Tanah Mama
memberi warna baru pada dunia perfilman Tanah Air. Meminjam kisah hidup
sehari-hari Mama Halosina, film ini bertutur sederhana, tetapi menohok
ke jantung masalah kemiskinan di Papua.
Dari awal hingga akhir, film Tanah Mama
terfokus pada kisah Mama Halosina. Setiap pagi selama proses pembuatan
film, Mama Halosina memakai klip mikrofon di balik bajunya. Empat juru
kamera yang semuanya perempuan mengikuti kehidupan sehari-hari si mama.
Sutradara
dan penulis film, Asrida Elisabeth, telah lima tahun mengenal Mama
Halosina. Asrida menjadi bagian dari masyarakat Yahukimo sejak aktif
ikut pelayanan seorang pastor yang peduli isu hak asasi manusia.
Kedekatan Asrida dengan Mama Halosina menjiwai film dokumenter yang
jujur, apa adanya.
Keindahan Kampung Anjelma, lima jam jalan kaki
dari Wamena, menjadi latar yang memikat mata. Bukan lanskap turistik,
melainkan panorama sinematik. Bukit-bukit hijau dengan langit biru dan
sungai nan jernih. Sementara itu, tampak wajah anak-anak berambut
keriting dengan ingus yang mengalir dari hidung dan perut membuncit
karena cacingan. Namun, senyum cerah menghiasi wajah mereka.
Menelusup
masuk pada keseharian Mama Halosina, penonton diajak bersentuhan dengan
kehidupan Papua yang sulit dan keras. Mama Halosina memilih berpisah
dari suaminya, Hosea, yang telah punya istri kedua. Dengan empat anak
yang masih kecil, hidup Mama Halosina jauh dari kata sejahtera. Tak
punya suami yang membukakan lahan pertanian baginya, Mama Halosina hanya
bisa memandang sambil meneteskan air mata ketika orang-orang di desanya
berpesta pora merayakan panen ubi.
Ubi, makanan pokok masyarakat
Papua, ditanam di lereng-lereng bukit terjal. Butuh tangan kuat kaum
pria untuk membuka lahan. Biasanya pria-pria ini membabat hutan,
membersihkan ilalang, lalu para ibu akan menanaminya dengan umbi-umbian
hingga sayuran.
Lagu-lagu tentang perempuan Wamena yang biasa
bekerja menjadi latar yang pas untuk film ini. Semua lagu direkam
langsung pada saat riset dan pengambilan gambar ketika para perempuan
berkumpul di Honai dan bernyanyi bersama para lelaki. Dengan begitu,
lagu tidak terasa sebagai penghias gambar, tetapi bagian dari narasi
kehidupan.
Kehidupan bagi Halosina semakin berat karena ia
terkena sanksi adat. Anak-anaknya yang kelaparan mendorongnya mengambil
ubi dari ladang adik iparnya. Halosina pun terancam dilaporkan ke
polisi.
Sumber penghiburan
Menyanyikan
lagu-lagu rohani sambil bercocok tanam di ladang milik keluarga adiknya,
Halosina hidup tak pernah jauh dari anak-anaknya. Ke ladang,
menyeberang sungai, hingga berjualan di pasar yang berjarak dua jam
berjalan kaki, empat anak kecil ini selalu turut serta.
Anak-anak
pulalah yang menjadikannya kuat. Anaknya yang terkecil selalu penuh
canda. Ke mana pun, celoteh lucunya menjadi penghiburan tersendiri. Film
ini juga menggambarkan kehidupan keluarga Halosina kala malam tiba. Di
loteng rumah tradisional Papua beralas jerami, mereka tidur berdesakan
dalam kehangatan kasih.
Tanpa mengenal tempat, si anak bungsu
Halosina selalu minta menyusu. Dengan kasih seorang ibu, Halosina
menyusui anaknya sembari meminta pengampunan ke tetua adat, tetap
menyusui di angkutan pedesaan, bahkan berhenti di tengah bukit demi si
anak.
Hal yang tersaji di depan mata itu bukan fiksi, melainkan
realitas di negeri ini yang memang dramatik. Nia Dinata, produser film Tanah Mama,
yang beberapa kali mengunjungi Yahukimo, mengaku jatuh cinta pada
keindahan dan kekayaan alamnya. Akan tetapi, ia juga melihat drama
kemiskinan rakyat.
Anak-anak yang tak bersekolah. Sekolah
terdekat berjarak dua jam jalan kaki. Bekal masa depan bagi mereka
hanyalah cara membuka lahan dan menggali ubi. Kesehatan menjadi
keprihatinan lain. Nia hanya menemukan satu puskesmas yang tak pernah
buka karena tanpa penjaga.
Jalan keluar
Tanah Mama
merupakan film pertama yang disutradarai Asrida. Ia tertarik mengikuti
workshop pembuatan film yang diadakan oleh Yayasan Kalyana Shira
Foundation yang didirikan oleh Nia Dinata. Dengan pendanaan bantuan dari
Ford Foundation, Tanah Mama dibuat setelah riset lebih dari satu tahun.
Asrida
tak habis berpikir, di tanah yang subur, di mana rakyat bisa tanam
tanpa pupuk kimia, kehidupan Papua sangat jauh dari sejahtera. Fasilitas
kesehatan dan pendidikan minim.
"Yang kita nikmati di Jakarta,
kita keruk dari tambang Papua. Harus dari perspektif mereka kalau mau
bantu," ujar Nia seusai nonton bareng Tanah Mama, Sabtu (10/1/2015).
Alur
cerita dibiarkan mengalir, tanpa ada sisipan wawancara layaknya film
dokumenter, yang kadang justru membosankan. Mama Halosina menjalani
hidup kesehariannya seolah tanpa diikuti kamera film. Keluguan hidup
Mama Halosina pula yang membuat film ini memikat.
"Perempuan
kunci perubahan. Kalau bertekad menggunakan film sebagai media
komunikasi untuk perubahan positif, bisa diperlihatkan dengan
memberdayakan perempuan atau mengangkat problemnya secara jujur," tambah
Nia.
Film ini menyodorkan pergumulan pemikiran dan pertanyaan.
Apa yang bisa kita buat bagi tanah indah di ujung timur Nusantara itu?
Film ini mengingatkan, Papua adalah bagian dari Indonesia. Penderitaan
Mama Halosina adalah tanggung jawab Indonesia. (Mawar Kusuma)
Sumber; http://entertainment.kompas.com