Peta Bahasa di Papua; www.papuaweb.org |
Willem Burung | University of Oxford | Mei 2015
Dalam artikel Saflesa dan Oetomo/Levi berjudul ‘Akar yang
tercerabut’ yang dimuat dalam Suara
Perempuan Papua (No. 30 Tahun 3, 19-25 Maret 2007, halaman 4-5), dikemukakan
bahwa “Jika bahasa daerah atau bahasa sebuah suku bangsa hilang, maka budayanya
pun bakal musnah” ... yang diikuti dengan pertanyaan mereka: “Apakah di tanah
Papua hal ini telah terjadi?” Berikut ini tanggapan saya. Memang benar,
punahnya bahasa akan mengekor pada hilangnya budaya penutur bahasa tersebut.
Apakah hal itu telah terjadi di tanah Papua, sebaiknya kita jangan dulu terlalu
cepat mengatakan ‘ya’ tanpa bukti otentik yang dapat dipertanggung-jawabkan,
sekali pun kemungkinan itu ada. Bantahan Supriyanto Widodo, Kepala Balai Bahasa
Jayapura, sangat tepat mengenai kesembilan bahasa yang menurut kabar dari
Jakarta telah hilang (Baca alinea pertama dan kedua dari Saflesa dan
Oetomo/Levi). Uraian dalam artikel ini tidak bermaksud membantah pernyataan
Jakarta, tetapi memberikan suatu gambaran ringkas mengenai faktor-faktor
penyebab hilangnya sesuatu bahasa dan menawarkan langkah-langkah apa saja yang
perlu diambil untuk menghindari hilangnya bahasa tersebut. Untuk tidak membingungkan
para pembaca, artikel ini sengaja mengesampingkan bahasan mengenai ‘keterkaitan
bahasa dan budaya’, hal mana perlu diuraikan dalam rubrik tersendiri.
Salah satu faktor penyebab suatu bahasa dapat dikatakan
‘telah punah’ atau ‘sedang dalam ancaman kepunahan’, adalah: eksistensi penutur bahasa. Hilangnya
suatu (suku) bangsa akan menyebabkan hilangnya bahasa yang dimiliki oleh (suku)
bangsa tersebut apabila bahasa mereka bukanlah bahasa tertulis. Kenyataan ini
merujuk pada pemakai bahasa yang memang sudah tidak ada lagi, sedangkan bahasa
mereka tidak pernah memiliki sistem tulis (aksara) yang ditinggalkan. Di tanah
Papua banyak terdapat suku bangsa yang berjumlah di bawah 500 penutur,
sedangkan bahasa mereka adalah bahasa yang tak beraksara. Hal ini sangat memprihatinkan.
Apabila kelanjutan hidup suku bangsa ini tidak bertahan (artinya: tingkat
kematian penduduk suku bangsa ini lebih tinggi dari tingkat kelahirannya)
sehingga mengancam kelanjutan eksistensi suku bangsa ini, maka bahasa suku
bangsa tersebut akan berada dalam keadaan terancam punah dalam jangka waktu
yang relatif singkat. Hilangnya suatu suku bangsa semacam ini berarti kepunahan
suatu bahasa (dan budaya), yang juga berarti sirnahnya suatu warisan bangsa
yang tak ternilai harganya. Di satu pihak, eksistensi suku bangsa tersebut
bersama nilai-nilai luhur bahasa (dan budaya)nya hilang tak berbekas, di lain
pihak, sumber informasi bagi ilmu pengetahuan yang sangat berharga terutama
bagi dunia linguistis (dan antropologis) pun bakal hilang tanpa meninggalkan
jejak.
Hal lain yang merupakan faktor penyebab kepunahan suatu
bahasa adalah sikap penutur bahasa
terhadap bahasanya sendiri. Ada penutur bahasa yang bangga akan bahasa (dan budaya)nya,
tetapi ada juga penutur bahasa yang bergengsi apabila dia harus memakai
bahasanya sendiri, terutama pada masa ia berinteraksi dalam suatu lingkup
sosial dari suatu masyarakat majemuk. Rasa gengsi memakai bahasa sendiri
biasanya didalangi oleh pandangan bahwa bahasanya itu tidak moderen
dibandingkan dengan bahasa orang lain. Pada hal tidak ada satu bahasa pun yang
dapat dikategorikan sebagai bahasa moderen mau pun bahasa primitif. Semua
bahasa memiliki status yang sama, masing-masing dengan ciri fonologis dan
gramatikanya yang unik dan menarik. Suatu bahasa akan bertahan malah akan
berkembang sebagai suatu bahasa yang kuat dan berpengaruh dalam suatu kalangan
sosial tertentu apabila pemakainya adalah tipe penutur bahasa yang pertama,
yaitu: ‘mereka bangga akan bahasanya sendiri’. Sebaliknya suatu bahasa tidak
akan bertahan lama apabila penuturnya tidak berbangga akan bahasa mereka
sendiri.
Alasan lain yang menyebabkan suatu bahasa terancam
kepunahan adalah unsur-unsur
sosiolinguistis yang berkaitan dengan status
sosial, pekerjaan, pendidikan, perdagangan, modernisasi
dan globalisasi. Tanpa disadari, dalam
hidup masyarakat majemuk seseorang akan memilih menggunakan bahasa P dari pada
bahasa Q, misalnya, untuk menaikkan derajat status sosialnya. Mengapa calon
ratu Papua harus trampil berbahasa Inggris, misalnya, ketimbang mahir berbahasa
daerahnya sendiri. Memang ada unsur pendidikan, modernisasi dan globalisasi di
sini, tetapi memodernisasikan seseorang supaya ia dapat menempatkan dirinya
dengan baik dalam era globalisasi, bukan berarti kita harus mengesampingkan dan
melupakan warisan berharga leluhur kita sendiri, yaitu bahasa (dan budaya)
sendiri. Apalagi tidak ada satu bahasa pun yang primitif di dunia ini.
Demikian juga, untuk mempromosikan diri memperoleh suatu
pekerjaan yang lebih menguntungkan, seseorang akan berusaha memakai suatu
bahasa yang sebenarnya bukan bahasanya sendiri. Di tanah Papua, kita cenderung
menggunakan bahasa Indonesia, sekali pun tidak dengan baik dan benar, dari pada
berbicara bahasa Melayu-Papua (Papuan-Malay) dalam suatu interaksi sosial. Pada
hal rasanya janggal bagi seseorang, misalnya, yang pulang dari kantor dalam
keadaan capai dan lapar berbicara kepada anaknya: ‘Saya merasa sangat lapar,
sedang ke manakah ibumu?’ sedangkan percakapan yang biasanya kita dengar setiap
hari adalah: ‘Nee, bapa lapar ini ... ko pu mama de ada pi mana?’ Menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar bukan berarti kita harus memandang
rendah bahasa Melayu-Papua dan dengan sengaja mengesampingkannya dalam
interaksi sosial kita sehari-hari, sekali pun itu dalam lingkup perkantoran
maupun pendidikan. Seseorang yang berpendidikan biasanya cenderung sangat
selektif dalam berbahasa. Ia umumnya lebih cenderung memakai bahasa yang dapat
mencerminkan jati dirinya sebagai seorang yang berpendidikan. Sayangnya
kebanyakan aplikasi penggunaan ujaran-ujaran ilmiah tidak disesuaikan dengan
kontek sosialnya.
Faktor lain yang ikut berperan dalam menentukan baik
kepunahan mau pun kelanjutan eksistensi suatu bahasa adalah: status sosial bahasa itu sendiri.
Bahasa-bahasa minoritas akan sangat mudah punah. Hal mana tidak ditemui dalam
bahasa-bahasa mayoritas yang biasa berdominan dalam interaksi sosial suatu
masyarakat majemuk. Ciri khas bahasa-bahasa minoritas adalah (1) jumlah
penuturnya (sangat) sedikit, (2) status sosial dan tingkat pendidikan pemakainya
pun dianggap tidak maju menurut pandangan umum era modernisasi dan globalisasi,
dan (3) penuturnya mudah mengadaptasi bahasa orang lain.
Politik berbahasa pun berperan penting dalam
menentukan kepunahan atau pun kelanjutan eksistensi suatu bahasa. Pada dasarnya
seseorang yang multilingual dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu kelompok
masyarakat majemuk. Artinya: selain bahasa nasional, ada paling kurang satu
bahasa daerah (bukan logat) yang dimiliki oleh setiap orang yang bertumbuh
dalam kelompok masyarakat majemuk tersebut. Tidaklah salah apabila
program-program pemerintah menggalakkan penggunaan bahasa nasional dengan baik
dan benar. Namun usaha luhur ini perlu diimbangi dengan usaha membangkitkan
kesadaran akan berbahasa daerah sebagai warisan kita semua.
Apakah di tanah Papua, ada banyak bahasa yang sedang diancam
atau telah terancam kepunahannya? Jawabannya saya tinggalkan bagi pembaca.
Berikut ini langkah-langkah apa saja yang perlu diambil untuk melindungi suatu
bahasa, sekali gus melestarikannya, dari ancaman kepunahan.
Studi
linguistik
atau ilmu bahasa. Alangkah baiknya
apabila linguistik diprogramkan sebagai salah satu mata-pelajaran di media-media
pendidikan dimulai dari tingkat Sekolah Menengah. Melalui studi linguistis
seseorang dikenalkan kepada berbagai nuansa berbahasa. Melalui pemahaman
linguistis seseorang akan lebih terbuka menerima dan menghargai orang lain yang
datang dari latar-belakang bahasa (dan budaya) yang berbeda. Ungkapan seperti:
‘Iiii orang ini de bodo sampe ... bicara bahasa Indonesia saja sabarang-sabarang
... bikin malu-malu saja ...’, misalnya, akan jarang terdengar. Melalui studi
linguistis pun seseorang akan lebih menghargai dan mencintai bahasa (dan
budaya)nya sendiri. Dengan menguasai pengetahuan akan linguistik, metode dan
tehnik penelitian linguistis akan sangat membantu para linguis lapangan untuk
meneliti, mempelajari, merekam dan mendokumentasikan bahasa-bahasa di tanah
Papua (terutama mereka yang sedang terancam kepunahannya) sebagai usaha
pelestarian dan pemulihan bahasa-bahasa tersebut.
Kebanggaan
berbahasa.
Seseorang tidak mungkin memakai sesuatu bahasa (apalagi bahasanya sendiri)
tanpa ada perasaan bangga di dalam hatinya terhadap bahasa tersebut sebagai warisan
yang diterimanya sejak ia dilahirkan dan dibesarkan. Apakah seseorang itu
‘berbangga’ atau ‘bergengsi’ memilih memakai suatu bahasa biasanya ditentukan
oleh motifasinya dalam usahanya untuk berinteraksi dalam suatu ruang lingkup
sosial tertentu, agar dirinya dapat diterima sebagaimana yang diharapkannya.
Kita perlu berbangga akan bahasa kita sendiri. Menolak memakai bahasa sendiri,
sama saja dengan menyangkal jati diri sendiri sekali gus menyangkal suku bangsa
di mana kita dilahirkan dan dibesarkan. Memilih tidak memakai bahasa sendiri
tidaklah jauh berbeda dengan memilih menolak budaya sendiri dan mengangkat
budaya orang lain dalam kehidupan pergaulan kita sehari-hari, atau sama saja
dengan memilih mematikan budaya kita sendiri. Pemakaian bahasa Indonesia dengan
baik dan benar haruslah sejalan dengan kebanggaan penggunaan bahasa daerah.
Tanpa pengetahuan akan linguistik dan kebanggaan dalam
memakai bahasa sendiri, maka usaha kita untuk menghindari kepunahan bahasa (dan
budaya) di tanah Papua hanya akan menjadi impian belaka.
0 Komentar