Mengorek Luka Perempuan Tanah Papua

Judul : Isinga: Roman Papua
Penulis : Dorothea Rosa Herliany
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Januari, 2015
Tebal : 210 hlm
ISBN : 978-602-03-1262-0


Buku ini merupakan  novel berlatar Papua yang masih berbicara tentang  ketertindasan perempuan. Wanita  mengalami apes lantaran kepercayaan adat ikut melanggengkan dogma patriarki dan diskriminasi. Imajinasi para pengarang Indonesia menganggap Papua belum selesai mengurai benang kusut persoalan perempuan.

Dorothea Rosa Herliany menghadirkan panggung imajinasi Papua lewat penerbitan novel Isinga: Roman Papua (2015). Novel ini mengajak pembaca  menjelajahi semesta Papua lewat tragedi percintaan Meage dan Irewa yang berlatar konflik social kultural, isu gender, dan aktivisme. Novel  menyajikan  kisah percintaan sebagai siasat menampilkan uraian etnografis-sosiologis  tanah Papua.

Pengisahan bermula saat Meage dan Irewa, dua anak muda di kampung Aitubu, menjalin  cinta. Meage berhasrat meminang Irewa. Berbagai ritual adat sudah dilakoni Meage demi mendapat restu  calon mertua.

Namun tak disangka, Malom, seorang pemuda dari kampung Hobone, terpikat juga pada Irewa. Tali kasih telanjur tertambat pada Meage, Irewa pun menolak pinangan Malom. Tak terima pinangannya ditolak, Malom nekat menculik Irewa. Ini memicu perang tak berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone.

Perang berkepanjangan pada akhirnya sampai di titik terjenuh. Pihak Hobone berinisiatif mengajukan tawaran perdamaian agar warga Aitubu merestui Irewa dipersunting  Malom. Irewa dipilih untuk “ditumbalkan” sebagai yonime: juru damai dari dua adat yang bertikai.

“Perempuan bisa menolak laki-laki saat dilamar. Tapi dia tak bisa menolak saat diminta seluruh penghuni perkampungan untuk kepentingan perdamaian (hal 52).” Irewa tak kuasa melawan kehendak adat. Sejak pertunangan itu Irewa menapaki babak baru dalam hidupnya: hari-hari yang panjang sebagai pesakitan.

Menjadi jurudamai berarti mendermakan diri pada kepentingan adat. Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan penguasaan otoritas suami atas istri. Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak berakibat fatal pada Irewa.

Tugas Irewa sebagai istri  bekerja di ladang, hamil, dan melahirkan. Tak peduli tubuh lungkrah dan lemah. Hampir separuh buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa di bawah jeratan kekerasan dan penindasan Malom.

“Makin banyak anak laki-laki, tambah  berharga dan bermartabat. Tanah luas dan keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan” (hal 91). Keinginan Malom punya banyak anak berdalih warisan dan kekuasaan. Anak laki-laki jadi tumpuan saat perang.

Nestapa Irewa kian lengkap berkat ulah Malom yang gemar berkunjung ke pelacuran. Banyak perempuan terjangkit penyakit kelamin lantaran suaminya kerap “jajan.” Dari Malom inilah Irewa menemui sial karena terjangkit penyakit sifilis. Demikian juga dengan banyak wanita.

 Sejak  itu, Irewa merasa terpanggil  memasuki dunia aktivisme  untuk mengentaskan perempuan Papua dari penderitaan dan ketidaktahuan. Secara kekayaan data dan referensi, novel ini berhasil menyajikan pengetahuan etnografis dan imajinasi  kondisi sosial-kultural masyarakat  Papua secara meyakinkan. Sayang,  tidak diiringi kesanggupan bercerita yang lentur dan memikat. Cerita berjalan lurus, tanpa basa-basi. Tak ada leburan  data dan referensi dalam olahan gaya penceritaan.

Banyak data etnografis terdeskripsikan secara ensiklopedis. Penceritaan model tersebut tentu mengganggu kenikmatan pembacaan saat menapaki jalan cerita dan imajinasi. Selain terasa “kaku”, novel  juga tak berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca.

Tetapi di antara sedikit novel yang memberi perhatian besar pada isu-isu  Papua, kehadiran  Isinga layak mendapat respons. Papua memang mesti dikisahkan dan diwartakan agar tak terus-menerus menyimpan luka serta penindasan. 


Diresensi Widyanuari Eko Putra,  SI Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas PGRI Semarang


Sumber; www.koran-jakarta.com