Papua, negeri yang elok sebagaimana dikisahkan oleh
para pemusik dari kelompok Black Brother. Hengki MS, vokalis Black
Brother senantiasanya mengatakan negeri Papua sebagai negeri yang
indah. Memang legam, tetapi amat soft terasa bagi yang bisa menyentuh dengan humanitas mendalam.
Hengki MS, pentolan kelompok musik legendaris Black Brother itu
mencintai tanah Papua lebih daripada mencintai kampung halamannya
sendiri di Desa Watulambot Inobonto, Tondano Sulawesi Utara. Sehingga
ia ikut hijrah meninggalkan Indonesia dengan kawan-kawannya anggota
Black Brother ke Belanda. Ia pun meninggal di Belanda, meskipun
jenazahnya dibawa kembali ke Inoboto untuk dimakamkan di sana.
Pada masa lalu, pandangan terhadap Hengki dkk tentu merupakan
pandangan kelompok mayoritas terhadap minoritas. Perlawanan yang
dilakukan Henki dan kawan-kawannya adalah perlawanan untuk kecintaan
mereka pada tanah Papua yang dulu disebut Irian Jaya.
Sisa perselisihan 1963 saat pasukan Komando Mandala pimpinan
Soeharto membebaskan Irian Jaya dari Belanda masih menimbulkan silang
sengketa diantara rakyat Indonesia. Hengki dan kawan-kawan yang
menggerek bendera separatis, kita yakin melihat konflik di Papua itu
karena merasa tidak puasa kepada Jakarta yang terkesan mengekploitasi
tanah Papua tanpa keadilan.
Tapi sudahlah, apa yang disuarakan Henki di luar negeri sudah
didengar oleh dunia. Bahwa ada yang tidak beres di wilayah paling timur
Indonesia ini. Sekarang sudah mesti kita melakukan kontemplasi,
perenungan tentang cara-cara kita melihat dan memperlakukan Papua.
Semangat separtisme memang sudah lama ada di sana. Tapi kemudian
berhasil didinginkan oleh pemerintahan reformasi dengan cara membagi
dua Papua. Yakni Papua dan Papua Barat. Pemekaran provinsi menjadi dua
itu diharapkan dapat mempercepat laju pembangunan di sana.
Pemerintahan orde reformasi juga sudah dengan sadar membentuk
kementrian yang mengurusi daerah tertinggal. Tentu saja termasuk Papua
dan Papua Barat.
Sejak 1963 itu konflik sudah bermula, sekelompok orang di Papua
membentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menyuarakan bahwa orang
Papua tidak ada hubungan ‘badunsanak’ dengan Republik Indonesia. Mereka
mengusung isu bahwa Papua harus dilihat dengan latar belakang Resolusi
PBB 1541 yang menjadikan PBB sebagai wali wilayah Papua sambil orang
Papua menentukan nasibnya sendiri.
Tapi Tumpah Darah Indonesia sudah dinyatakan jauh sebelum itu
berulayat dari Sabang hingga Merauke. Merauke adalah wilayah paling
timur Republik Indonesia dan itu berada di Papua atau di pulau Irian.
Meskipun demikian Pemerintah Republik Indonesia member keleluasaan
kepada Papua dengan mengadakan referendum. Hasilnya, mayoritas rakyat
Papua memilih bersatu dengan Indonesia. Hanya mereka yang tak puas,
sejak 1969 terus saja melancarkan perlawanan.
Irian Barat, lalu pada 1973 Presiden Soeharto mengganti nama
Provinsi itu menjadi Irian Jaya. Pada permulaan reformasi, namanya
berganti lagi jadi Papua. Padahal di masa orde lama, nama Papua menjadi
nama yang dianggap berbau separatis. Tapi apa boleh buat, negeri ini
berubah, apa yang dalam masa orde baru dianggap tabu, pada masa
pascaorde baru jadi tidak tabu lagi.
Tetapi resistensi Papua terhadap pemerintah RI tidak bisa hanya
dilihat dari sisi sejarah yang multitafsir tadi (tafsiran Resolusi PBB
1541) tetapi juga harus dilihat cara kita —orang yang diluar
Papua—memperlakukan Papua.
Kurang lebih hal ini juga dialami oleh saudara-saudara kita di Aceh.
Ada perlakuan tidak adil dalam pembangunan di Aceh dan Papua.
Kesenjangan percepatan pembangunan di tengah-tengah pesatnya
ekspoloitasi sumber daya alam wilayah itu, sangat nyata.
Ambil contoh Aceh, sering dalam joke-joke yang nakal dikatakan orang
Aceh marah melihat di Jakarta banyak jembatan tapi sedikit sekali
sungai, sedang di Aceh banyak sungai sedikit jembatan. Nyelekit sekali joke itu. Tapi kenyataan seperti itu.
Dalam permulaan 1990an saya ditugasi oleh kantor saya untuk meliput
kunjungan anggota DPRD Aceh Barat ke Tanah Datar. Sepanjang perjalanan
dari Batusangkar ke Sungayang, saya dihujani tanda tanya: “Apakah ini
benar jalan Kabupaten?” tanya anggota DPRD itu. Saya jelaskan bahwa
jalan beraspal beton itu memang jalan Kabupaten. Saya heran juga
mereka bertanya penuh keheranan. Setelah saya balik bertanya, rupanya
di tempat mereka jalan Batusangkar – Sungayang itu adalah sekelas jalan
negara, bukan jalan Kabupaten. Saya memang belum pernah ke Aceh Barat
itu, tapi tak dapat saya bayangkan kondisi pembangunan infrastruktur di
sana kalau memang anggota DPRD nya terkagum-kagum melihat jalan
Batusangkar-Sungayang.
Di Aceh, ada minyak dan gas yang melimpah. Di Papua selain minyak dan
gas, ada batubara, emas dan tembaga. Tembagapura yang digarap oleh PT
Freeport boleh dibilang menjadi landmark Papua.
Lihatlah di televisi, wajah saudara-saudara kita di Papua jauh dari
keberserian. Ada kesan murung, tidak sebergairah kita yang berada di
wilayah Barat. Kehidupan yang sederhana dan miskin sebenarnya tidak akan
menumbuhkan rasa pembangkangan di hati mereka. Akan tetapi ada
sejumlah saudara dari Papua yang berkesempatan mengenyam pendidikan di
liar Papua menjadi paham, bahwa daerahnya telah diperlakukan tak adil.
Dari sisi kesempatan menikmati pemerataan kesempatan kerja saja
misalnya, masih jauh lebih sedikit orang Papua bekerja di
instansi-instansi vital di Papua. Apalagi di luar Papua. Di Sumatera
Barat ini saja kita cari satu orang Papua untuk obat rindu, tak akan
bersua. Tapi coba cari orang Minang di Tembagapura, di Fak Fak, di
Sorong, di Raja Ampat, di Jayapura, pasti ada. Orang Jawa, Bugis,
Menado jangan disebut lagi sangat banyak di sana.
Bolehlah kita beri kesimpulan humanis tentang konflik panjang Papua,
bahwa itu semua disebabkan karena mereka kehilangan cinta kita.
Cita-cita Bung Karno dan Hatta ketika diasingkan ke Digul belum
kesampaian, membuat wajah Papua berseri-seri dan bangga meneriakkan
kata “Indonesia!”
Maka tidaklah berlebihan kalau kita sebut bahwa Hengki MS jauh
lebih tahu tentang bagaimana mencintai Papua daripada kita yang
jumlahnya ratusan juta di wilayah Barat ini.
Sejarawan UNP, Mestika Zed satu hari mengungkapkan kepada saya
tentang kerisauannya. Menurut Mestika, sudah diperlukan kampus-kampus
di Sumatera ini membuat lembaga-lembaga studi Papua, atau setidaknya
forum akademisi yang memberi perhatian dan simpati pada Papua.
Menurut saya, cukup beralasan gagasan Mestika itu. Rasa jadi bangsa
Indonesia itu mesti bisa dirasakan oleh saudara-saudara kita di Papua.
Maksud saya, selama ini kita hanya memandang dari jauh sambil terus
menghisap isi buminya. Sedangkan mereka yang di Papua tak kunjung bisa
keluar dari kemiskinan dan ketertinggalannya.
Asimiliasi jangan hanya dirasakan mereka di Papua saja, dimana
kita-kita datang ke sana untuk bekerja dan bergaul dengan mereka.
Tetapi mestinya semua kementerian dan Pemerintah Provinsi di luar
Papua mesti memberi kesempatan juga kepada putra-putri Papua untuk
berbakti kepada Republik Indonesia ini di berbagai provinsi di luar
Papua.
Semakin banyak saudara-saudara dari Papua itu bersosialisasi dan
berbaur dengan saudara-saudaranya di provinsi lain, semakin tumbuh rasa
cinta mereka kepada Republik Indonesia. Dengan demikian, seperti
istilah orang Jawa, mereka merasa ‘diwongke’.
Saat ini para mahasiswa dari Papua paling banter hanya ada di
Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Belum sampai mereka kuliah di Padang,
di Medan, di Pekanbaru, di Aceh atau di Bengkulu.
Jika itu tidak dilakukan secara bertahap, besar kemungkinan
saudara-saudara di Papua akan selalu merasa diasingkan, dijauhi dan
tidak dianggap penting.
Semangat separatisme yang muncul di sebagian wilayah negeri ini lebih
banyak disebabkan oleh adanya perasaan dikesampingkan, disisihkan
dan dimarginalkan. Maka obat separatisme itu adalah bagaimana
menumbuhkan rasa cinta pada tanah air, bagaimana mananamkan persamaan
kepada mereka yang terjangkit separatisme.
Kita harus bisa mengirim pesan ke saudara-suadara di Papua itu bahwa
mereka punya saudara di Padang, di Takengon, di Pontianak, di Kalianda,
di Banjarnegara dan sebagainya. Bahwa kita semua mencintai mereka, bukan
melupakan mereka. Marilah belajar mencintai Papua, seperti Hengki MS.(EKO YANCHE EDRIE)
Sumber; www.harianhaluan.com