Petikan Rindu Terpisah di Raja Ampat - scene OPSPEK (Haru biru jika jadi film kelak) AMIN YRA
Edisi OPSPEK, orientasi program
studi pengenalan kampus yang diperuntukkan mahasiswa baru untuk lebih mengenal
sekolah dengan ilmu yang harus dicintainya dengan penuh sungguh, bukan sekedar
formalitas agar bergelar mahasiswa mahasiswi saja.
Pagi berembun, napas
terengah-engah, dada terasa begitu sesak. Rindu setengah berlari dengan rambut
dikuncir dua, berpita tali rafia biru, berseragam rok sedengkul, atasan putih
polos yang sudah berbunga-bunga coklat karena debu, pasir dan sedikit lumpur.
Dengan sepatu kets putih merk
Bata, dia berlari-lari kecil menuju lapangan di belakang kampus. Dia terlambat
lima menit, tepat pukul 5.05 WIB, baru langkahnya sampai di depan senior yang
telah menunggunya dengan wajah-wajah garang, siap menyerang.
Hari itu, hari ketiga dia bersama
ribuan mahasiswa di sebuah kampus negeri terkenal di kota apel menjalani masa
OPSPEK.
Senior dingin angkuh yang
terkenal sebagai“singa kampus” bersorot mata tajam menghujam, mendekati Rindu
yang menunduk kesal.
Perutnya terasa begitu mual karena
bau menyengat dari sesuatu yang menggantung di lehernya, sebuah liontin kalung
ikan asin jambal roti yang panjangnya 25 sentimeter, sungguh tak
berperikemanusiaan.
“Berani-beraninya kamu telad lagi
ya! Mau jadi apa hah? Hmm, sok pakai nama Rindu? Rindu dihukum lagi? Iya!
Bagus!”
Rindu merasa difitnah, dia
melirik tajam ke senior itu, sebab baru kali itu dia telad, sudah dibilang
rindu dihukum, seolah-olah dia sering telad. Apalagi senior yang terkenal
‘killer’ itu memainkan namanya, Rindu tersinggung luar biasa. Rindu nama yang
baik dari kedua orang tuanya nun jauh di Sidoarjo sana, tentu itu nama yang
punya makna baik, tidak sembarangan dilecehkan! Rindu tidak terima, namun apa
daya.
"Heh! Melirik! Nantang kamu
ya! Nantang senior kamu! Pilihan berapa Perikanan Kelautan?!"
Diam sebenarnya ingin dia pilih,
karena memang dia telah salah pilih tempat kuliah. Dulu dia sama sekali tak
ingin masuk fakultas dengan jurusan IPA, cita-citanya ingin ke sastra.
“Mau jadi apa sekolah di sastra
Indonesia?” Masih begitu jelas terngiang kalimat sang ibu yang keukeuh anak
sulungnya ingin menjadi seorang sarjana perikanan, memaksakan kehendak,hal yang
sulit diterima.
“Tambak Bapakmu besar, siapa yang
mau urus? Bapak sudah sakit-sakitan.” Sebuah alasan yang sangat klise.
Rindu ingin berontak. Bapak itu
nggak kuliah di perikanan, orang sejarah, tapi kok bisa jadi petambak? Semua
bisa dipelajari Bu! Sanggah Rindu dalam hati.
“Heh! Bisu kamu? Tuli kamu? Nggak
bisa ngomong kamu?”
Rindu tersadar, kini dirinya
telah terdaftar, nyata masuk sebagai mahasiswi Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Brawijaya Malang dan sedang berhadapan dengan senior super galak
dan dapat mematikan rasanya setiap saat, karena detak jantungnya bisa berhenti
dengan bentakan dan kata-kata yang menyengat.
“Jawab! Pilihan berapa?”
"Hmm, huweeek!” Rindu
menelan ludah, mau muntah,membuat si singa kampus itu semakin naik darah.
“Sok mual kamu! Sok mau muntah
kamu? Kalau kamu nggak suka bau ikan! Gimana kamu akan cinta perikanan
kelautan!”
Mata senior yang memerah menatap
liontin ikan, membuat Rindu semakin menundukkan kepala.
“Oh! Liontin ikan asinmu over
tall! Lihat!”
Liontin ikan asin itu dipegang
erat senior ‘mabok’ yang membuat Rindu ingin pura-pura pingsan saja.
“Ini lebih 5 sentimeter
panjangnya! Oh! Sok kaya kamu? Merasa punya uang banyak kamu? Disuruh pakai
ukuran 20 sentimeter malah pamer pakai yang 25! Sombong kamu ya! Pamer kamu
ya!”
“Eh, nggak Kak…”
Rindu menahan sakit rasa mual di
perutnya, agar tidak naik sampai ke mulut hingga bisa membuatnya benar-benar
muntah.
“Jawab! Pilihan berapa perikanan
kelautan? Hah?”
“Hmm, dua Kak..." Rindu
menunduk begitu dalam.
“Apa? Pilihan dua? Melecehkan,
menghina perikanan kelautan kamu!"
Rindu mencoba membela diri, dia
menatap senior kalap itu.
"Eh! Pilihan pertama
Kak…"
"Apa? Pilihan pertama? Sok
pinter kamu! Merasa yakin diterima? Iya! Sok jagoan kamu!"
Huh! Begini salah begitu salah!
Nyatanya aku diterima Kak! Rindu merutuk kesal dan semakin nerveous,keringat
dingin bercucuran menggetarkan sekujur tubuhnya.
"Kamu salah! Salah besar!”
“Nggak Kak!”
“Heh! Bantah kamu!”
“Maaf.”
“Maaf! Maaf! Memang aku Ibumu?
Mudah sekali memaafkanmu?”
“Iya Kak.”
“Apa? Heh! Aku ini senior-mu!
Bukan Ibumu!”
“Iya Kak, bukan.”
“Bukan apa?”
“Ibu saya.”
“Bagus! Sekarang buktikan kalau
kamu cinta kampus!”
Rindu diam seribu basa, banyak
bicara bisa makin salah rasanya.
“Tahu caranya?”
Rindu menggelengkan kepala, tetap
menunduk, sementara bau ikan asin terkena angin pagi, semakin menyengat,
kepalanya terasa berat, begitu pening.
“Hei! Kenapa diam? Tanya dong!
Malu bertanya sesat di jalan!Tahu? Mau kamu tersesat?”
“Nggak Kak.”
“Ok! Bukti cintamu ke kampus!
Sekarang nyanyi Mars Perikanan dengan keras-keras, penuh semangat,tangan kanan
mengepal ke atas sambil kaki kanan menghentak-hentak!"
Rindu semakin pusing, rasanya
ingin pingsan saja, terusterang dia belum begitu hapal lagu yang wajib
dihapalkan, dan dinyanyikan setiap akhir kegiatan OPSPEK itu.
“Heh! Ayo nyanyi sekarang!”
Wajah senior itu hanya berjarak
10 sentimeter dari pipi kanan Rindu yang semakin memerah.
“Ayo nyanyi! Nggak hapal kamu?
Mau tambah hukuman kami?”
“Nggak Kak.”
“Apa? Nggak hapalkamu?”
“Nggak, maksud saya nggak tambah
hukuman Kak. Bukan nggak hapal.”
“Ngeyel kamu ya!”
“Nggak Kak.”
“Buruan!”
Daripada semakin runyam urusan,
hapal tidak hapal, Rindu nekad menyanyikannya dengan pasrah, nadanya sangat
lemah.
“Perikanan buana hidupku…”
“Heh! Yang semangat! Semangat!
Lembek begini bagaimana kamu bisa merawat ikan? Bisa mati semua! Tangannya
mengepal, hentakan kakinya mana! Ulang!”
Guna menuangkan kekesalannya,
melontarkan kebenciannya, akhirnya Rindu bernyanyi sangat keras, melebihi
batas.
“Perikanan buana hidupku! Sasana
citra jiwaku! Bergema dalampalung kalbu menuju satya cinta!”
“Stop!”
Hening, Rindu bingung lagi, ada
lagi yang salah, rasanya semua baik-baik saja, sesuai perintah.
“Apa cinta?”
“Eh, maksud saya…”
“Oh! Bagus! Ke sini bukan buat
belajar! Iya! Buat pacaran? Siapa pacar kamu? Siapa?”
Rindu jengkel sekali, kenapa
mesti lidahnya terpeleset menyebut ‘cita’ menjadi ‘cinta’ Nasibnya apes sekali
pagi itu. Tatapan seluruh mahasiswa baru menuju ke arahnya, malunya terasa
tujuh turunan.
“Nggak ada Kak…”
Rindu hampir menangis, rasa
benci, sedih, kecewa, malu,dungu, konyol, bercampur menjadi satu, mengaduk
hatinya yang semakin kelu.
"Kamu salah!Salah besar!
Sekarang lari! Lari! Keliling lapangan lima kali, sambil teriak aku cinta
perikanan kelautan! Cepat!"
“Kak…” Wajah Rindu memelas,
meminta keringanan, namun sekali perintah senior tetap perintah.
“Pantang menolak tugas! Tabah
sampai akhir! Cepat!Laksanakan! Jangan membantah senior!”
Wajah dingin itu seperti “singa
drakula” yang siap menghisap darah, benar-benar mematikan rasa, menanamkan
dendam.
Sejak itu Rindu sering menerima
hukuman dari sang senior yang selalu mencari-cari kesalahannya.
Hingga tak disangka, ada sebuah
hukuman di hari terakhir OPSPEK yang begitu memalukannya.
Kebiasaannya tidak bisa bangun
pagi memperparah keadaan. Lagi-lagi dia terlambat lima menit dari jadwal yang
telah ditentukan. Nelangsa-nya, hanya dia seorang yang menjadi pesakitan dari
sekian ratus mahasiswa. Malang tak dapat ditolak, untungpun tak bisa diraih,
peribahasa yang tepat mendarat dipundaknya pagi itu.
“Kamu lagi?”
Mata arema, arek Malang itu
memerah, “singo edan” mulai marah kembali dengan terdakwa yang sama.
Rindu menunduk lemas, pasrah
saja, pikirnya tinggal hari itusaja. Ya sudah, jalani saja dengan ikhlas, toh
besok malam sudah ada acara balas dendam. Dan tumpukan rencana untuk membalas
si senior kalap itupun sudah ada, melekat di depan mata.
“Heh! Tahu nggak salahmu?”
“Nggak Kak…”
“Heh! Anak TK saja tahu kalau
kamu itu telad!”
“Oh! Ya ya! Kak…”
“Apa iya! Iya!”
“Tahu Kak.”
“Minta hukuman?”
“Nggak minta Kak.”
“Apa? Enak sekali kamu! Memang
kamu siapa? Merasa hebat?”
“Nggak Ka…”
“Merasa anaknya pejabat?”
“Nggak Kak…”
“Di sini sama! Tak ada pangkat,
martabat, derajat yang beda!Jangan pernah kamu merasa tinggi kasta kalau mau
kuliah di sini!”
“Nggak Kak…”
“Sudah-sudah! Aku bosan lihat
kamu!”
Huh! Aku lebih bosan juga
lihatkamu! Muak! Mau muntah! Rindu menjerit, namun hanya bisa di dalam hati
tentu saja, dengan menggigit bibirnya, menahan geram.
“Heh! Atau kamu memang cari-cari
perhatian biar bisa ketemu aku terus? Memangnya kamu siapa? Merasa cantik? Iya?
Ngaca sana!”
Rindu menatap marah pada si
senior, dia benar-benar tersinggung.
Kalau aku cantik memang mau apa?
Jangan ge er kalau aku naksir kamu hei drakula kampus! Siapa elooooo! Rindu
berteriak dalam hati.
“Sekarang, ambil sapu lidi ‘nenek
sihir’ di depan sekretariat itu! Kamu harus menyapu jalan depan pintu gerbang
sana! Kalau ada mobil angkot lewat, beri hormat, tangan kanan diangkat, nempel
di dahi kanan! Lalu mempersilakan angkutan kota itu lewat! Mengerti?”
“Lho Kak?” Rindu protes, karena
hukuman itu sama sekali tidak mendidik, hanya mempermalukannya saja, tidak
lebih dari itu.
“Apa protes-protes!”
“Hukumannya nggak sesuai Kak.”
“Heh! Kamu itu terdakwa! Jangan
nawar-nawar! Memang aku penjual ikan di pasar? Laksanakan cepat! Jangan
bermental tempe!"
Rindu menarik napasnya yang
sesak, mau marah benar-benar percuma, sia-sia melawan senior.Tetap pada
akhirnya, dia terpaksa menuruti perintah si senior yang kedua matanya seakan
mau melompat keluar. Langkahnya diikuti si senior yang begitu kerasderap
kakinya, karena bersepatu boots ala tentara.
Sungguh menjengkelkan, rasanya
Rindu ingin memilih terjungkal, pingsan dan melewati acara ‘penyiksaan’ itu.
Namun nyatanya dia menurut saja perintah senior yang duduk santai di bangku
beton samping gerbang, enak-enak berteduh di bawah pohon trembesi, sambil
mengawasi. Sementara Rindu di sampingnya harus menyapu daun-daun pohon raksasa
tua yangmulai kering, seperti sengaja berguguran semakin banyak tiap detiknya,
ikutmenyengsarakannya.
Tak ayal, sekian mata
memandangnya dengan sekian rasa, ada yang tertawa, iba, kasian, namun ada juga
yang mencemooh.
Bisa dibayangkan, sebuah sajian
pemandangan yang mengundanggelak tawa sekaligus prihatin. Terlihat sosok gadis
berumur 17 tahun dengan baju putih kecoklatan penuh bercak coklat hitam, rambut
dikuncir dua dengan pita tali rafia biru, berkalung ikan asin, membawa sapu
lidi seperti yang sering dibawa nenek-nenek sihir, menyapu daun-daun trembesi
yang tak ada habisnya. Lalu dia harus memberi hormat setiap ada mobil angkutan
kota yang lewat, dan mempersilakannya lewat dengan tatapan aneh seluruh
penumpangnya.
Ini hukuman gila, bila tak
dijalani si senior itu akan semakin menggila. Maka Rindu memilih setia, tetap
menjalani hukuman yang benar-benar tak setimpal itu dengan gunungan luka. Hari
itu hari penuh kesialan baginya, terrekam hebat di memori otaknya, tertanam
kuat di lubuk sanubarinya, yang begitu terusik, tersayat, teriris.
Dendam memang tak baik, saat kita
terus dilindungi-Nya, makatak akan pernah ada dendam yang bisa terbalaskan.
Akhirnya, untuk sementara, Rindu
harus memupus dendamnya. Karena saat yang dia nanti, malam acara keakraban
senior junior, malam balas dendam selepas OPSPEK, “si singa kampus” menghilang
dari peredaran. Rindu sangat kecewa, selama mengikuti acara, dia memilih diam
seribu basa, karena hingga acara selesai pada pukul dua belas malam, sasaran
yang ingin dia tembak, nyatanya tidak datang.
Rindu mendengar, “senior vampire”
itu mahasiswa veteran, aktifis kampus yang sedang melakukan penelitian, jadi
intinya dia sudah tidak banyak berada di kampus. Kuliah teorinya telah selesai,
dia tinggal menyelesaikan skripsinya yang tertunda sekian lama.
Rindu sejak OPSPEK hanya bertemu
lima kali saja di kampus, itupun sekilas, karena sang senior hanya melirik,
mencoba tersenyum sinis, semakin membuat Rindu emosi dankesalnya bukan
kepalang.
Meski banyak mahasiswi yang
mengidolakan sang senior, namun bagi Rindu, dia adalah “penjagal kejam” yang
menciptakan dendam.
Ingin rasanya dia membalas semua
kekesalannya, sakit hatinya, namun apa daya lagi?
Sudah tak ada ruang, media, acara
yang bisa mewujudkan keinginannya itu. Mau langsung melabrak, itu tak lazim.
Mau marah-marah jelas nggak tepat, dan bukan tempatnya. Semua telah selesai.
OPSPEK sudah usai!
Tutup buku.
Dan kini, akankah dia berhadapan
dengan sang senior kejam, musuh bebuyutannya itu?
No! No! And No!
Rindu ingin menangis, meratapi
nasibnya yang nggak jelas, terapung-apung di lautan lepas tanpa tujuan dan
pertolongan.
Wajah yang sangat dia benci itu
ada di dekatnya, dan akan terus bersamanya selama empat hari di Raja Ampat.
Menyelam, saling berinteraksi, memahami, mengerti kelana air mereka dengan
segera. Tak bisa dihindari karena dia telah masuk dalam sebuah system.
*****************
Back Cover RTDR4
“Omnevivum ex oceanic. Kehidupan berasal dari laut. Jagalah laut seperti kamu menjaga hidupmu. Sebagian besar bumi dan tubuh adalah air…” Kata-kata itu terus menguatkan langkah, membulatkan tekad, hingga aku merasa pada satu titik, bahwa, akulah laut. Badai gelombang kuterjang, bahkan aku berusaha menjadi sahabatnya, merangkul mereka yang menggulung. Dengan begitu aku menjadi akrab, dan tahu seperti apa memperlakukannya.”
Mereka sama-sama pernah kuliah di ‘kampus biru’. Sang senior, yang tersebut sebagai “singa kampus” terus ingin mengabdi bagi negeri bahari dengan cara menyelami, memahami, menjaga laut yang telah menjadi hidupnya. Dan sang junior, Rindu Eidelweis, seorang Sarjana Perikanan yang khilaf, mengagungkan passion menulisnya, terjebak di Raja Ampat, sialnya, dia belum bisa berdamai dengan dendam pada sang senior, Karang Biru Jalesveva.
“Laut sumber kehidupan, jalanidhitah sarva jivitam. Penyelamanku semakin dalam, bertemu 5 ekor eagle ray, pari elang yang terbang begitu elok, bermanuver naik turun dengan gerakan lembut, namun terkadang penuh hentakan, seperti manuver-manuver indah melukisi langit Tim Aerobatik “Elang Biru” dengan penerbang pilihan bersama pesawat F-16 sebagai “Duta Langit NKRI.”
Blue Magic, Manta Sandy Point, Arborek, dan Wayag telah melempar mantra ‘cinta’. Ada yang terkikis, ada yang tumbuh, dua rasa yang berlawanan, menggantung di dinding, lalu tenggelam ke dasar palung hati terdalam.
Kita sesekali memang butuh berhenti untuk mengerti, mengendap, tiarap, mengintai agar bisa berperang secara lihai. Sebab hidup ini adalah medan peperangan. Menang kalah sama saja, yang penting kita sudah berani menghadapi musuh besar… yaitu ego yang ada dalam diri kita.
Jangan menjura cinta yang hanya akan membuat rengsa. Cinta yang menjunta dari hilir kenisbian akan bermuara pada ketiadaan.
(RINDU TERPISAH DI RAJA AMPATterbit akhir Maret 2015)
Grup FB; https://www.facebook.com/groups/1551516995116616/
Grup FB; https://www.facebook.com/groups/1551516995116616/