![]() |
Perempuan Papua. Foto: Ist. |
Penulis: Marselina Mote
Malam itu langit bertaburan bintang terangi bumi. Tepat di bawahnya, tampak tiga insan saling beradu argument.
Angin sepoi-poi memberikan kesejukan tersendiri buat tiga hati yang gersang,
hampa, rindu akan pembebasan. Pembebasan yang selalu diimpikan, yakni keadilan bagi kaum hawa. Keadilan tuk
dapatkan hidup setara sebagai seorang manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa di dunia.
Mereka adalah Lina, Cinta dan Mia, tentu saja bukan nama sebenarnya.
Lina baru turun dari atas motor, diantar seorang sahabat
sebelum bertemu dengan dua orang perempuan yang sudah dianggap sebagai teman
atau konco, dalam bahasa jawa. Walaupun
usia mereka sudah dua dan tujuh tahun melebihi Lina. Namun kecocokan yang dirasakan melalui kenyamanan dalam
berpendapat membuatnya nyaman tuk saling berikan argument tentang berbagai hal.
“Bebz, sudah lama ka?,” begitu sapa Lina ketika melihat
seorang gadis berkulit hitam, berbadan besar dan berambut keriting ombak itu. Cinta namanya. Perempuan Papua asal bibir danau Sentani, Jayapura, yang sedang kuliah di UGM.
Seperti biasa, dia membalas dengan nada tinggi tapi berisi.
"Iyoo... kebiasaan, terlambat lagi, urus keluarga kecil dulu too, Lina?”
Seperti biasa juga, Lina menjawab dengan gelak tawa.
Mia cuma menambahkan dengan nasehatnya agar tidak terulang,
“Lain kali kalau mau ikut diskusi itu nyalakan alarm, Nona”, katanya datar
menasehati. Mia adalah perempuan Tambrau yang telah selesai dari salah satu
kampus, jurusan sastra inggris.
Mendengar kata-katanya, Lina langsung mangut-mangut. Perbincangan
mereka pun bermula ketika Cinta melemparkan satu pertanyaan kepada Mia, yang
menurutnya adalah ahli seksisme.
"Kaka Mia, kaka kan ahli seksisme too, kaka tolong
jelaskan seksisme itu seperti apa dulu, supaya saya dan Lina tahu".
Mia adalah salah satu perempuan Papua yang juga sering mengikuti
Komunitas Perjuangan Perempuan (KPP) yogyakarta, yang banyak mempelajari tentang
seksisme. Menurut Mia, seksisme biasa disebut dengan ketidakadilan
gender, yaitu perlakuan tidak adil pada seseorang, terutama perempuan karena
jenis kelaminnya.
“Seksisme itu adalah perilaku dimana laki-laki memperlakukan
dan memberi bahasa pada perempuan secara kurang baik, atau sebaliknya,” jelas Mia, sambil menambahkan, umumnya dari laki-laki terhadap perempuan.
“Ada berbagai kategori seksisme atau ketidakadilan gender tersebut,
diantaranya adalah stereotip bahasa yang diberikan oleh kaum laki-laki ataupun
perempuan," tambah Mia.
“Berarti saat laki-laki kasi keluar kata-kata rayuan pada seorang
perempuan, sampe memohon-mohon karna tahu bahwa perempuan adalah makhluk
perasa. Itu seksisme too, kaka?," tanya Lina.
“Iyo, itu adalah bagian dari seksisme yang diturunkan dalam
bentuk bahasa yang mendiskriminasikan perempuan secara gender. Padahal kalau dilihat, pilihan menerima dan menolak itu kembali pada pribadi perempuan
sendiri. Tapi kalau perempuan menerima walaupun tahu bahwa laki-laki itu sudah
pernah merayu dan meninggalkan beberapa cewek sebelumnya, berarti itu namanya
cinta ambisi atau nafsu," jelas Mia.
“Baru
pemaksaan, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan itu bagaimana
kaka?”, tanya Cinta.
“Oh... itu namanya kriminalitas dalam seksisme. Kebanyakan
laki-laki yang melakukan itu karna masih berada dalam kungkungan budaya patrarki
yang kuat. Mereka menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar," jawab Mia.
Jika ada laki-laki atau
perempuan yang melakukan perilaku kasar terhadap pasangan maka itu adalah
tanda-tanda ia psikopat cinta. Psikopat tidak sama dengan gila,
karena seorang psikopat tidak hilang ingatan tapi bisa membuat seolah-olah
orang lain yang gila. Orang-orang seperti itu ciri-cirinya adalah berposesif
berlebihan, melarang bergaul, menjauhkan pasangan dari keluarganya, pandai
berbohong, merasa selalu benar, senang membuat dan menceritakan masa lalu,
tidak punya empati dan melakukan kekerasan verbal dan fisik.
Semua hening sejenak mencerna kata-kata yang barusan
dikeluarkan masing-masing.
Entah terekam dalam memori otak atau keluar lagi
melalui telinga sebelah, masing-masing yang mengerti. Saat itu yang mereka tahu dan rasa adalah 'pemberontakan kampung tengah' alias lapar yang semakin menjadi-jadi.
"Lapar!"
...dan ketiganya saling berpandangan! Tersenyum.
"Siapa yang akan pergi beli roti bakar?”
Saling memandang dan kali ini pun, sepi. Saling senyum, dan kemudian saling menunjuk.
Akhirnya Lina dan Cinta yang jadi pergi beli makan.
Singkat cerita, mereka sudah berada di depan tempat
penjualan roti bakar di perempatan rel kereta api. Cinta pun menawarkan diri
tuk memesan dua roti bakar.
“Pak, roti bakar keju-coklatnya satu sama yang rasa coklat
satu ya."
“Iya Mba, ditunggu aja yaa."
Sambil menunggu roti bakarnya jadi, mereka mencari tempat di
sekitar itu tuk melanjutkan perbincangan hangat mereka. Lagi-lagi Cinta memecah
kebisungan yang ada dengan memberikan contoh kasus tentang psikopat cinta.
“Ada sa pu teman perempuan satu, de dilarang bergaul dengan
orang lain, apalagi dengan laki-laki. Perempuan ini tidak biasa diikutsertakan
dalam kegiatan-kegiatan, seminar dan pelatihan begitu”, jelas Cinta.
Cinta menjelaskan, dalam gerakan-gerakan keadilan dan
gerakan revolusioner besar sekalipun banyak yang masih memperlakukan perempuan
secara tidak adil. Di banyak tempat, misalnya di Papua, masih ada saja praktek-praktek budaya patriarki dalam kehidupan
gerakan mereka. Perempuan hanya ditugaskan untuk menyiapkan dan memberi
makan-minum. Sementara laki-laki berwenang tuk menyampaikan argument dan
memutuskan sesuatu di atas podium dan publik. Padahal dalam sebuah gerakan,
peran perempuan sangatlah penting, dalam melakukan sebuah perlawanan yang
sejati, karena penindasan yang sejati itu sedang ditanggung oleh
perempuan-perempuan Papua.
Setelah sepakat bahwa seksisme yang ditururunkan
melalui stereotip bahasa itu harus mulai diperbaiki oleh perempuan dan
laki-laki, mereka mulai bergegas meninggalkan tempat diskusi.
Namun karena steorotip bahasa yang ditujukan kepada perempuan yang lebih
mendominasi dibandingkan laki-laki karena dilegitimasi dengan berbagai aspek
lain, ketiga perempuan Papua ini mulai memantapkan tekad untuk mulai melawannya dari diri mereka sendiri, sambil terus menyadarkan perempuan-perempuan lainnya.
END.
0 Komentar