Sambil menggendong Lobeka, anaknya, Agustina mengumpulkan sagu yang telah dipangkurnya di hutan di pinggir Sungai Welderman, Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Foto; |
AYUNAN alat pangkur itu berayun secepat tarikan dua
lengan kuat. Dalam satu tarikan napas, pangkur itu mengacung tinggi.
Ketika ia menghela napas, seluruh badan bagian atas Agustina berayun
cepat menghujamkan pangkurnya ke daging batang pohon amos atau sagu
berduri (Metroxylon rumphii). Di punggung Agustina, Lobeka (3),
putrinya, menempel rapat dalam gendongan. Sudah dua hari Lobeka menjadi
bagian dari ribuan ayunan kuat tubuh ibunya. Dan, ia tidak jera.
Daging
amos berwarna krem hancur terserak di antara kedua kaki Agustina. Yang
tersisa tinggal semeteran batang sagu sepelukan orang dewasa itu. Saat
daging sagu menggunduk, Agustina memindahnya ke dalam sebuah tas
berbahan karung beras ukuran 10 kilogram. Begitu tas itu penuh, Agustina
menyungginya menuju pinggir Sungai Siratz di Distrik Kaibar, Asmat,
Papua. Ketika Agustina datang, Ruben—suaminya—belum selesai menapis sari
pati sagu yang dipangkur Agustina sebelumnya. Dalam sebuntalan kain
yang ada di pangkal pelepah sagu, tangan Ruben meremas kuat-kuat sabut
daging sagu. Perasan putih mengaliri pelepah sagu menuju pelepah lain
yang menjadi ”kolam pengendapan” sagu.
Kegiatan menangkur sagu
telah dilakukan suami istri itu selama dua hari terakhir. Keduanya pergi
meninggalkan Kampung Pinerbis di Distrik Kaibar dengan membawa dua anak
balitanya, Lokeba dan Yosekin (1). Setelah mendayung perahu
berkilo-kilometer, mereka tiba di hutan sagu ulayat sukunya. ”Kami akan
memangkur sagu hingga cukup persediaan selama dua bulan ke depan.
Setelah itu barulah kami pulang ke Pinerbis,” kata Ruben.
Itu
berarti dua-tiga pekan Ruben, Agustina, Lobeka, dan Yoseakin bakal tidur
dalam bivak berdinding dan beratap daun sagu. Musim pangkur sagu juga
diiringi perburuan singkat aneka satwa dan ikan di hutan dataran rendah
yang lebat dan basah, tempat berbagai burung, reptil, dan mamalia,
seperti tikus hutan, posum, kuskus, ataupun kelelawar, bisa ditemukan.
Dari
sagu yang dipangkur dengan segenap keringat dan entakan napas itulah,
lempeng-lempeng sagu bakar dihasilkan. Parutan endapan pati sagu yang
menggumpal keras melumer perlahan, menebar bau terbakar yang khas. Aroma
gosong itu mengimbuhi rasa tawar sagu bakar. Sagu bakar selalu
menyodorkan sensasi rasa mengunyah karet kenyal yang hangat dan
berbulir-bulir kasar. Setiap otot geraham serasa bekerja ekstra melumat
bola dan lempeng sagu. Sensasi itu bisa ditemukan di hampir setiap
tempat di Asmat dan pesisir selatan Papua lainnya.
Ratusan
kilometer dari bivak Ruben, di dapur Martina Bateh yang ada di tepian
dusun sagu, Kampung Workwana, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, sagu yang
tersuguhkan sama sekali berbeda. Tangan Bateh meremas kuat gumpalan pati
sagu dalam baskom, lantas melarutkannya dengan air bercampur perasan
jeruk nipis. Setelah ditapis, air seputih susu itu dituangi air
mendidih. Dua tongkat seukuran sumpit di tangan Bateh berputar cepat
mengaduk adonan pati sagu yang segera mengental menjadi jenang. ”Inilah
papeda,” ujar Bateh sambil mengangkat baskom itu ke meja dapurnya.
Dari
meja itu tercium aroma lezat sepanci sajian ikan kuah kuning yang
menjadi teman menyantap papeda. Sup ikan berkuah kuning itu lebih dahulu
dituangkan ke piring kosong, mengalasi papeda agar tak lengket di
piring. Beramai-ramai kami menyantapnya di kebun di belakang dapur
Bateh. Bateh dan para kerabatnya tertawa melihat kami kelabakan
menggulung gumpalan sagu dan menumpahkannya ke atas piring. Segala
kepanikan itu langsung terbayar ketika sesuap sagu yang basah kuyup oleh
kuah kuning menggelontor ke tenggorokan sambil meninggalkan jejak pedas
cabai dan harum serai.
Dari antropolog Mansoben, barulah kami tahu betapa istimewanya sajian
papeda dari dapur Bateh. ”Masyarakat adat di Sentani dan Arso mengenal
belanga yang dibuat dari tanah liat yang mudah didapati di kawasan Danau
Sentani. Belanga membuat mereka piawai mengolah sagu menjadi papeda
atau jenang sagu yang membutuhkan air mendidih. Berbeda dengan di Asmat,
karena tak mengenal belanga, mereka menyantap sagu lempeng dan sagu
bola yang dibakar dan diparut,” kata Mansoben.
Serupa dengan
bakar batu, sagu bakar dan papeda juga terkait dengan kisah leluhur dan
alam roh. Setiap manusia adat Papua pastilah menghormati sagu lebih
daripada sekadar santapan. Banyak suku di Papua mengenal mitologi sagu
yang dikisahkan sebagai penjelmaan manusia dengan beragam kisah dan
nama. Manusia mengorbankan dirinya demi memberi makan anak-keturunannya.
”Sagu adalah inti dari berbagai ritual masyarakat adat di pesisir dan
dataran rendah Papua,” kata Mansoben.
Dalam budaya patriarkat
masyarakat adat Asmat, misalnya, setiap tahun digelar pesta ulat sagu.
Pesta ulat sagu menjadi satu-satunya hari ketika perempuan Asmat boleh
memasuki jew atau rumah komunal tempat setiap lelaki dewasa bertempat
tinggal di kampung tradisional Asmat. Para perempuan berpesta dilayani
para suami yang memasak untuk mereka. Di hadapan beratus orang di dalam
jew, setiap istri berkesempatan mengutarakan segenap isi hati,
kemarahan, kekecewaan, juga cercaan. Sebaliknya, setiap suami harus
mendengar dan meminta maaf kepada istrinya. Pesta yang kerap diakhiri
isak tangis haru.
”Ritual ulat sagu adalah ritus memuliakan
perempuan Asmat, dan pesta ulat sagu selalu menebar energi baru bagi
tiap kampung Asmat untuk melanjutkan kehidupan mereka sebagai manusia.
Ada banyak ritus suku lain yang juga menjadikan sagu sebagai persembahan
utama,” kata Mansoben.
Karena itulah, generasi tua mulai gusar
melihat cucu-cucu mereka tak lagi mau menyantap sagu dan lebih memilih
nasi. ”Anak-anak belasan tahun tidak mau lagi makan sagu. Mereka tidak
tahu cara membuat sagu. Hanya orang berumurlah yang masih menokok sagu
dan menyantapnya. Rasanya sagu bakal segera hilang dari sajian di meja
makan kami,” tutur Bateh dengan nada sedih.
Di pegunungan tengah,
nasi juga mulai menggeser ubi, keladi, dan jagung. Tengoklah suguhan
pesta kecil menyambut Natal di hunila keluarga Wes Togotli di Bolakme,
Jayawijaya. Menunya adalah seketel besar nasi, sewajan rica babi,
sepanci besar mi instan dengan beberapa helai kubis, dan sepiring kecil
ikan sarden. ”Silakan, mari kita bersantap,” ajak Togotli kepada para
tamunya.
Kami pun segera menyerbu suguhan itu. Keriangan suasana
santap siang di hunila Wes Togotli adalah keriangan yang sama seperti
yang kami temukan di hunila Iriana di Hepuba, Distrik Asolokobal. Yang
berbeda hanya pada masakannya. Di hunila Iriani, kami menemukan sajian
otentik masyarakat pegunungan Papua, yakni ubi bakar batu. Sementara
itu, di hunila Wes Tigotli kami menyantap masakan yang hampir semua
bahannya didatangkan dari luar.
Ini keseharian santapan di honai,
santapan yang semua bahannya pabrikan dari luar Wamena,” tutur
Sekretaris Distrik Bolakme Cyrillus Willem seperti membaca pikiran kami.
Mau
tahu berapa harga sebungkus mi instan di Pasar Bolakme yang berjarak
500 meter dari hunila Wes Togotli? Rp 10.000! Mau tahu harga segenggam
beras yang hanya akan cukup untuk memasak sepiring nasi? Rp 10.000!
Harga-harga ajaib itu muncul lantaran semua ”makanan asing” itu harus
diangkut dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dengan mobil
bergandan ganda ke distrik-distrik nan jauh, termasuk Bolakme.
Kacaunya, harga barang di Wamena sudah jauh dari normal. Intiplah harga
barang di UD Usaha Baru, salah satu toko kelontong di Wamena. ”Beras Rp
19.000 per kilogram, gula Rp 20.000 per kilogram, kopi Rp 15.000 per 165
gram, minyak goreng kemasan Rp 25.000 per liter. Sekali berbelanja,
uang belanja tidak mungkin kurang dari Rp 100.000. Semua komoditas
selalu diburu warga. Stok 2,5 ton beras pasti tandas dalam dua-tiga
hari,” kata Udin, penjaga toko kelontong itu.
Udin punya
penjelasan sederhana soal harga serba mahal itu. ”Semua barang memang
mahal karena didatangkan dari Jayapura dengan pesawat. Harga satu
kilogram garam di Jayapura Rp 3.500, diangkut dengan biaya Rp 8.000 per
kilogram. Silakan dijumlah sendiri harga jualnya, lebih mahal ongkos
angkut ketimbang nilai barangnya. Itu belum menghitung kelangkaan yang
kerap terjadi karena kami gagal mengangkut barang jualan dari Jayapura
ke Wamena. Sudah dua pekan ini, stok mi instan kami kosong,” keluh Udin,
awal Desember lalu. (Sonya Hellen Sinombor/Pingkan Elita Dundu/Budi Suwarna)
Sumber; http://travel.kompas.com