Peladang Ulung dari Lereng Gunung

Foto; KOMPAS
MANUSIA diduga telah mendiami lembah dataran tinggi Nugini sekitar 30.000 tahun (Ekologi Papua, Sri Nurani Kartikasari et al, 2012). Pulau Nugini seluas 786.000 kilometer persegi adalah pulau terbesar kedua di dunia setelah Pulau Greenland dengan kondisi lingkungan yang mendekati kondisi ekologis Australia. Sejak ratusan tahun silam, kawasan pegunungan tengah Nugini menjadi kawasan berpenduduk terbanyak. Mereka hidup ditopang kepiawaian bertani.

Matahari nyaris seubun-ubun, tetapi Tina Matuan belum selesai dengan pekerjaannya. Ia berjongkok. Tangan kirinya menjambak setiap rumput gulma di gundukan tanah, menyibak daun ubi jalar yang jarang-jarang. Tangan kanannya menancapkan tongkat kecil untuk mencongkeli gulma dari ladang tumpang sari ubi jalar, bayam, dan jagungnya. Tiap kali menemukan dedaunan ubi jalar yang merimbun, tongkatnya mencongkel tanah untuk mengintip ukuran ubi jalarnya. Ia menemukan ubi jalar seukuran kepalan tangan. Dicabutnya ubi itu kemudian dilemparkan ke sudut ladang, tempat puluhan ubi jalar lain terserak.

”Kami memanen hipere secukupnya untuk makan hari ini. Besok kami bisa ambil lagi,” tutur Matuan sambil terus menyisir ladang di kaki bukit landai di Muai, Distrik Hubikosi, Kabupaten Jayawijaya. ”Pagi makan hipere, sore makan hipere,” tuturnya. ”Makan beras…? Ya, kalau punya uang…,” Matuan terkekeh.

Ladang ubi jalar, pisang, jagung, dan bayam terserak di tiap sudut Kabupaten Jayawijaya. Tak hanya di tanah datar seperti ladang Matuan, guludan-guludan ladang sambung menyambung seperti kain perca yang menyelimuti bentang alam lereng dan lembah di Jayawijaya. Antropolog dan Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben menyebut peladang seperti Matuan adalah ahli waris tradisi berladang di kawasan pegunungan tengah Papua. ”Hipere atau hupuru itu menjadi tanaman terpenting bagi para peladang di Papua. Gara-gara bertanam hipere, peladang talas yang berpindah-pindah menjadi petani kebun hipere yang menetap,” kata Mansoben.

Tanah Papua—sebutan bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—memiliki beratus-ratus suku dengan 269 bahasa yang berbeda. Suku-suku itu hidup di wilayah seluas 422.000 kilometer yang terdiri dari kepulauan, pesisir, tanah datar, dan pegunungan. Populasi penduduk di pegunungan lebih besar. Dan, sejak lama kehidupan mereka ditopang ladang-ladang ubi jalar yang entah kapan masuk ke Papua dari habitat pertamanya di Benua Amerika. Faktanya, kini ada lebih dari 100 varietas ubi jalar, dengan beragam warna, ukuran, dan rasa.

Lembah Baliem memang teristimewa. Dibandingkan daerah pesisir Papua yang panas, iklimnya lebih lembab dan lebih sering diterpa hujan deras. Di Baliem, suhu begitu sejuk, rata-rata hanya 15,2 derajat celsius dengan kelembaban berkisar 78 persen. Mungkin faktor alam yang melenakan itu membuat daerah itu menjadi pilihan tempat tinggal banyak orang.

Populasi penduduk yang besar membuat kebutuhan pangan terus meningkat. Hal itu sekaligus merangsang munculnya inovasi teknologi pertanian tradisional dan menuntun evolusi pertanian menjadi kian canggih. Sebagaimana para peladang menetap di kawasan pegunungan tengah lainnya, para peladang di Lembah Baliem piawai menaklukkan tiap jengkal lereng yang mendominasi 75 persen bentang alam Jayawijaya. Suku Yali di bagian timur Lembah Baliem, misalnya, memiliki lima teknik menanam hipere, bergantung pada kemiringan tanah ladangnya.

Petani di lembah ini juga selalu menumpangsarikan ubi jalar, ubi kayu (Manihot esculenta), uwi (Dioscorea sp), dan keladi/talas (Colocasia esculenta) di satu ladang. Tanaman seperti pisang (Musa sp), buah merah (Pandanus conoideus), pandan kacang (Pandanus julianettii), dan beberapa tanaman sayuran juga selalu ada di ladang guludan.

Budidaya dengan cara ladang guludan (membuat gundukan tanah memanjang demi mempertahankan suhu dan kelembaban mikro tanah) telah ada sejak 7.000 sampai 6.400 tahun lalu. Teknik itu kian maju oleh teknologi pengairan dan drainase yang tumbuh sejak 4.400 sampai 4.000 tahun lalu.

Ladang-ladang guludan itu sekaligus menyangga pakan ternak babi—komoditas tradisional terpenting karena menjadi mas kawin dan hewan persembahan yang harus ada di setiap acara bakar batu. Karena itu, mereka juga menjelma menjadi peternak babi yang andal. Di samping itu, mereka berburu dan meramu. Hasilnya buruan mereka olah dengan teknik memasak bakar batu. ”Mereka tidak mengenal periuk atau belanga sehingga bakar batu menjadi satu-satunya cara memasak,” kata Mansoben.

Masyarakat di pesisir juga bercocok tanam ubi jalar dan aneka tanaman, seperti keladi/talas, ubi kayu, ataupun uwi. Namun, hasil pertanian di pesisir Papua tidak seintensif peladangan di pegungungan tengah. Alam mengonversi kekurangan hasil ladang orang pesisir dengan menyediakan sagu yang melimpah. Setiap kampung atau marga di pesisir dan dataran rendah lazimnya memiliki hutan ulayat penuh dengan pohon sagu nan rapat. Orang pesisir biasa menyebut hutan sagu sebagai ”dusun sagu.

”Belum lagi binatang buruan, ikan sungai, ikan danau, ataupun ikan laut yang melimpah. Masyarakat adat di pesisir kaya bahan makanan sehingga tidak ada desakan untuk melakukan inovasi teknologi pertanian seperti yang dialami masyarakat adat di pegunungan tengah,” kata Mansoben. (Aryo Wisanggeni, Budi Suwarna, Wisnu Widiantoro)